Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Misi yang rampung seorang penggagas

ABRI di bawah LB Moerdani telah mengalami banyak kemajuan. Diantaranya dia berhasil melakukan gerakan penghematan dan reorganisasi ABRI, peningkatan mutu personel dan penyiapan regenerasi.

20 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEONARDUS Benyamin Moerdani -- rambutnya makin banyak memutih selama jadi Pangab -- kini mungkin bisa lebih lega hari-harinya. Sebuah beban tugas telah dipindah dari bahunya. Perintah Presiden Soeharto, waktu melantik perwira baru lulusan Akabri, 1972, agar regenerasi kepemimpinan ABRI sudah tuntas pada 1987, sekarang sudah terlaksana. Juga dengan contoh yang diberikannya sendiri. Lima tahun silam ia menerima tongkat komando dari Pangab yang digantikannya, Jenderal M. Jusuf. Benny, sebagai perwira dari generasi peralihan, memang dianggap penyambung yang tepat antara ABRI dari generasi 45 dan generasi setelah itu. Waktu itu ia menjanjikan akan menyelesaikan proses peremajaan di kalangan ABRI secara tuntas dalam masa jabatahnya. Dan ia tampaknya selalu siap bahwa masa jabatannya tak akan diperpanjang. Karena itu, bila akhir Februari ini Benny menyerahterimakan jabatan Pangab kepada' Jenderal Try Sutrisno, yang termasuk bocah waktu revolusi dahulu, itu berarti juga suatu misi yang rampung. Tugas yang selesai baik bukan soal baru bagi orang kelahiran Cepu, Jawa Tengah, di tahun 1932 ini. Ia umumnya dikenal sebagai orang yang dapat cepat menyerap, mencerna, dan menganalisa data yang banyak di kepalanya. Ia, yang juga berbahasa Inggris dan Belanda dengan fasih ini, bisa bicara mendalam tentang perkembangan terakhir politik di Malaysia, atau tentang detail teknologi militer terakhir dan kaitannya dengan politik industri. Panglima yang datang dari kalangan blret merah ini juga tegas, tapi tak suka mendramatisasi soal. Ia lama dikenal sebagai perwira intel, tapi analisanya yang waspada tidak menampakkan sikap asal curiga. Dari luar ia bahkan tampak dingin, meskipun mereka yang pernah dekat dapat mengatakan bahwa Benny, ayah yang sangat sayang kepada putrinya ini, juga bisa merumuskan kata-kata yang lucu, tidak klise, segar, cerdas. Selalu tampak tenang, ia termasuk perwira tinggi yang bisa disebut sebagai "penggagas": jernih dalam mengonseptualisasikan idenya. Cara kerjanya juga sistematis. Berada dalam suatu masa ketika anggaran pertahanan terbatas oleh keadaan keuangan negara, Jenderal Benny merancangkan beberapa langkah yang tampak dan kurang tampak keluar untuk memotong pengeluaran. Seorang teknokrat terkemuka pemerintah pernah mengatakan, "Dilihat dari posisi ABRI dalam politik Indonesia, pengendaliandiri mereka di bidang pembelanjaan sungguh mengagumkan." Yang ditinggalkan, misalnya, berbagai upacara seremonial - termasuk peringatan Hari ABRI secara besar-besaran tiap tahun. "Selama ini kita kurang memperhatikan pengeluaran uang untuk meningkatkan efisiensi. Pengeluaran yang hanya untuk kelihatan kaya atau gagah harus dikasih rem yang agak lebih kencang," ujarnya pada TEMPO waktu itu. Terungkap kemudian bahwa biaya personel ternyata memakan sebagian besar anggaran ABRI, bahkan pernah sampai 70%. Pada suatu penelitian, gelembung biaya rutin itu disebabkan oleh struktur organisasi ABRI, yang setelah dikaji memang tidak sesuai lagi dengan situasi masa kini. Diputuskanlah untuk menata kembali organisasi ABRI ini hingga, misalnya, tak terlalu berat ke atas. Yang ada waktu itu, menurut seorang perwira tinggi, "Terlalu banyak jenderal dan pimpinannya." Reorganisasi ABRI ini sekaligus juga penyesuaian din dengan Undang-Undang Nomor 20/1982 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI. Di Mabes ABRI, tiga kepala staf dikurangi hingga tinggal dua: kepala staf sospol dan kepala staf umum. Sistem Kowilhan dihapus, begitu juga Kostranas. Yang dirombak juga jumlah Kodam di Indonesia, dari 17 menjadi 10. Ikut terpangkas, sistem Kodau dan Kodaeral. Ujar Benny tentang gerakan penghematan yang dilakukannya, "Dalam masa ke-pangab-an saya, mungkin saya tak akan mendapat biaya terlalu banyak. Dengan biaya yang ada itu, saya harus menyisihkan suatu persentase tertentu untuk memenuhi harapan rakyat pada tentara. Jadi, pengeluaran yang menurut penelitlan tidak ada gunanya atau menghambur-hamburkan uang akan dihapus". ABRI, kata Jenderal Benny, bukan suatu money-making business. "Kita tidak menghasilkan uang. Kita malah memakan uang rakyat terus, dan tak pernah mengembalikan sesuatu. Mengembalikannya, ya, dalam bentuk perang kalau kita membela rakyat. Tapi perangnya masih seratus tahun lagi, kok," tambahnya, dengan humornya yang khas. Akibat pandangan itu, ditinggalkanlah rencana untuk melatih 100 batalyon tempur, karena sampai tahun 2000 diperkirakan tak akan ada ancaman dari luar. Dengan berbagai cara pen- hematan itu, ABRI masih bisa menyisihkan dana untuk membeli alat besar, meskipun dipilih yang bukan baru. Antara lain, tiga kapal eks Malvinas dari Inggris dari kelas Tribal. Meski organisasi ABRI lebih kecil, jumlah personel tidak dikurangi, hanya diefisienkan dah ditingkatkan profesionalismenya. Jumlah anggota Polri malah ditambah, sebab kebutuhan pelayanan bagi masyarakat sehari-hari, sedang kualitasnya ditingkat kan, buat menjaga polisi pada masa pendidi kan membaik kini: yang diterima hanya tamatan SMA. Dampak reorganisasi ABRI memang luas. Kesempatan promosi menjadi jenderal, misalnya, sangat menyempit. TNI-AD, yang sebelumnya memiliki 200-an perwlra tinggl, setelah reorganisasi tinggal punya sekitar 70. Di sisi lain adalah peningkatan kualitas dan peranan Fraksi ABRI di lembaga perwakilan. Banyak tokoh berbobot dan masih aktif yang diterjunkan di sini. Akibatnya bisa dilihat dalam penampilan F-ABRI di DPR, yang menurut banyak pengamat kini lebih lantang - suatu sisi semangat Dwifungsi yang tak sering dilihat orang luar. Yang menarik, dalam peningkatan mutu personel itu, orientasi militer model Amerika juga ditinggalkan. Agaknya Benny dan stafnya menganggap metode itu tak sesuai dengan kondisi Indonesia. Menurut sebuah sumber, yang menggantikan adalah suatu sistem yang lebih mendekati model Inggris - yang menekankan pada unsur manusia, bukan peralatan canggih. Indonesia memang masih mengirimkan para perwiranya ke AS dan Australia (dengan catatan hubungan dengan negeri yang terakhir itu banyak terganggu selama ini), tapi untuk mempelajari bidang-bidang yang praktis, seperti perhubungan dan logistik. "Yang dilakukan Jenderal Benny pada langkah itu sebenarnya adalah mengangkat kembali martabat ABRI dan kebanggaan Indonesia," kata seorang perwira tinggi. Sebagai Pangab, Benny juga mendorong para Pangdam untuk tak selalu harus berkonsultasi dengan pusat dalam semua hal. Bila perlu, mereka segera memutuskan suatu tindakan sendiri. "Dengan cara itu para perwira generasi muda akan bisa lebih cepat matang," ujarnya. Semua itu tampaknya sejalan dengan tugasnya menyiapkan regenerasi. Penyusun konsep reorganisasi ABRI juga suatu tim yang terdiri atas sejumlah perwira generasi muda. Ini memang disengaja, sebab merekalah yang kemudian akan memegang kendali kepemimpinan ABRI. Tak semua rencana Benny terlaksana. Niat membuat pakaian seragam yang sama untuk semua angkatan, misalnya, meski akan sangat membantu mengurangi pengeluaran, belum bisa dilaksanakan. Keputusan salah satu Rapim ABRI, yang menyepakati bahwa jumlah perwira tinggi berbintang empat hanya satu (yaitu Pangab), sedangkan para kepala staf hanya berbintang tiga, juga tak jadi diwujudkan. Periode kepemimpinan Pangab Jenderal Benny juga mencatat sejumlah peristiwa penting di bidang keamanan. Peristiwa Tanjungpriok dan pengeboman BCA di tahun 1985, misalnya. Kemudian heboh protes helm yang meluas di Ujungpandang di tahun yang lalu. Cara Benny menangani peristiwa itu tegas, malah keras. Tapi analisanya tentang kejadian itu dikenal jernih: ada soal-soal sosial yang laten yang tak bisa dipecahkan hanya dengan senjata. Setelah berbagai peristiwa berdarah itu Jenderal Benny mengunjungi sejumlah pesantren di Jawa dan luar Jawa. Ia, yang beragama Katolik, tampak disambut hangat di sana. Beberapa Pangdam juga melakukan hal yang sama. Pendekatan itu ternyata membuahkan hasil positif: kecurigaan dan ketegangan di kalangan Islam terasa mereda. Benny, Pangab yang merangkap sebagai Pangkopkamtib, memang selalu menyatakan sikapnya: lembaga Kopkamtib - yang dahulu sangat tampak menonjol itu - tak seharusnya mengambil alih tugas lembaga lain. Ia membiarkan lembaga lain membereskan tugasnya dahulu. Agaknya itulah salah satu manifestasi sikapnya yang tenang - dan percaya kepada kekuatan sendlrn Tak mengherankan bila garis kebijaksanaanya dalam menjaga Pemilu 1987 disambut senang politikus sipil dan masyarakat ramai: tak ada lagi petugas yang overacting memihak Golkar. Juga tak mengherankan ketika berbicara tentang perlunya masyarakat berhati-hati menggunakan kebebasan bersuara, Benny juga tak menutup kemungkinan akan bertambah lebarnya "koridor" kebebasan itu. Seraya menunggu tugas baru Jenderal Benny yang belum diumumkan, agaknya bisa dicatat prestasi panjang itu. S.P.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus