HIDUP Try Sutrisno adalah impian yang jadi kenyataan. Impian itu tidak amat muluk. Cita-cita masa kecilnya: pakai seragam. Si bocah berangan-angan, keras: "Kapan saya cepat besar, kapan saya dapat membantu berjuang. Saya tertarik ingin menjadi tentara," tulisnya dalam sebuah kenangan. Ia kemudian memang menjadi tentara. Malah menjadi jenderal, dengan empat bintang kuning emas di bahunya. Akhir Februari ini ia akan dilantik untuk menduduki jabatan puncak dalam jajaran ABRI: Pangab. Mungkin hal ini yang tak pernah diimpikannya sewaktu ia, sebagai bocah umur 10 tahun, ikut-ikutan memekikkan "Merdeka" sewaktu proklamasi kemerdekaan 17 Agustus dicetuskan. Tulis Try dalam Warta Jayakarta Nomor 1/1983 (terbitan Dinas Sejarah Kodam V/ Jaya), sewaktu ia menjabat Pangdam V/Jaya: "Waktu itu saya baru berumur 10 tahun, duduk di bangku Sekolah Rakyat kelas IV Taman Siswa Jalan Kedungdoro di kota Surabaya. Saya teringat, biarpun saya belum mengerti secara mendalam apa artinya kemerdekaan, tapi saya sudah dapat merasakan betapa nikmat, bangga serta semangat di kala upacara di sekolah menyanyikan lagu Indonesia Raya." Bisa dimengerti bila Try kecil ingin jadi prajurit. Ia tumbuh di Kota Surabaya, di saat-saat ledakan bom dan bunyi desing peluru menjadi suara keseharian: zaman revolusi, zaman "siap". Ia melihat para pemuda menghambur, dengan senjata di tangan dan cita-cita di hati. Segera setelah proklamasi kemerdekaan tentara Inggris mendarat di Surabaya. Pertempuran terjadi. Brigjen Mallaby tewas. Pasukan Inggris pun mengultimatum rakyat Surabaya untuk menyerah. Surabaya menolak. Surabaya pun jadi ajang pertempuran. Suara Bung Tomo, lewat radio, yang menggelegar, mennyeru. "Saya masih ingat hari itu, hari Sabtu, 10 November 1945. Di tengah kota mulai terdengar ledakan-ledakan senjata, baik dari artileri berat, mortir sampai serangan bom oleh Angkatan Udara Inggris. Perang mulai berkobar .... Orang tua saya sendiri bersama para pemuda (arek-arek Surabaya) tidak tinggal diam. Dengan peralatan yang ada mereka siap melawan musuh: takeari (bambu runcing), kelewang, badik, keris, tombak, bahkan ketepel pun ikut ambil bagian . . . ". Try bukan lahir di suatu keluarga yang punya tradisi militer Tapi itulah saat semua orang, tak peduli asal dan tingkatnya, terpanggil untuk menunjukkan bahwa sekali merdeka, tetap merdeka. "Saya memang dilahirkan dari kalangan rakyat biasa. Ayah saya hanyalah pensiunan pegawai Dinas Kesehatan Kota (DKK) di Surabaya. Sejak daerah Kedung Klentir, tempat di mana keluarga kami tinggal, dibumihanguskan- tahun 1945 Ayah masuk BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia) pimpinan Bung Tomo. Saya, saudara-saudara, dan Ibu mengungsi ke daerah Sidoarjo - 17 km dan Surabaya". Try ikut menyaksikan peristiwa heroik itu: penurunan bendera merah-putih-biru dari Hotel Yamato oleh arek-arek Surabaya - Saya pun tak ketinggalan ikut ramai-ramai memecah kaca-kaca hotel. Hal ini mungkin - sebab waktu itu saya tinggal bersama nenek yang rumahnya di Genteng Bandar Lor, persis di belakang Hotel Yamato." Try, menurut penuturannya, kemudian sering ditugasi orangtuanya untuk mengirim perbekalan bagi neneknya itu, melintas daerah-daerah pertempuran. Semua itu menumbuhkan tekad Try kecil. "Pernah saya mendapat sebuah kop radio. Kemungkinan milik crew tank, berserta sebuah sangkur: Kedua benda itulah yang merupakan awal kebanggaan saya mengenakan barang perlengkapan militer. Lebih-lebih kalau dapat kuda di jalan, kuda-kuda tak bertuan yang berkeliaran akibat pergolakan dalam kancah peperangan". Praktis 1945 sampai 1948 Try tidak bersekolah. Sementara itu, keinginannya makin menggebu untuk "ikut perang"."Menjelang Clash II umur saya telah mencapai 13 tahun. Keinginan menjadi prajurit sudah meletup-letup di sanubari. Ke mana saja saya mendaftarkan, saya ditolak dan ditertawakan. Saya masih terlalu keciL Tapi saya tidak putus asa. Saya rintis masuk arena prajurit dengan menjadi 'tobang'. Tobang ialah seorang pesuruh militer yang tugasnya membeli rokok sampai menyiapkan makan dan membersihkan perlengkapan militer". Berangsur-angsur peranan Try meningkat. "Kepercayaan pada diri saya mulai mereka akui. Akhirnya saya naik pangkat menjadi anggota PD atau Penyelidik Dalam. Tugas utama PD adalah membawa dokumen menyusup ke daerah musuh. Selain itu juga membawa perbekalan serta obat-obatan dari daerah pendudukan. Adapun rute yang telah biasa saya jalani ialah dari Kediri menuju Surabaya, berjalan kaki atau naik kendaraan apa saja yang ada, melewati Jombang, Mojoagung, Trowulan, Mojokerto, sampai ke Surabaya. " Perang kemederkaan usai. Try kembali ke bangku sekolah. Ia kembali tinggal di rumahnya di Genteng Bandar Lor, Surabaya. Di rumah berukuran 6 x 11,5 meter inilah 53 tahun lalu ia lahir dan dibesarkan. Ibunya, Mardiyah, memang asli warga kampung itu. Ayahnya, Soebandi, berasal dari Garut, Jawa Barat. Kehidupan Soebandi yang pernah tercatat sebagai pengemudi di DKK Surabaya - beserta keenam anaknya (Try anak nomor tiga, dua di antara enam anak itu kini telah meninggal) sangat sederhana. Try membantu hidup keluarganya dengan menjual air putih dalam kendi di stasiun Surabaya. Pernah pula ia menjual rokok, koran, dan makanan. Tapi di antara teman-teman remajanya, Cak Su begitu Try biasa dipanggil sangat menonjol. Ia selalu memimpin dalam kegiatan olah raga sampai "tawuran" berkelahi melawan kelompok remaja lain. Hampir tiap sore, bersama sejumlah temannya, Try berlatih angkat besi di halaman sebelah rumahnya. "Alat latihannya sederhana, buatan sendiri, termasuk besi rel kereta api," kata Minin, 55 tahun, teman remaja Try yang kini jadi makelar kendaraan bermotor di Surabaya. Sejak SMP, Try berlatih pencak silat. Gurunya sering dipanggil dengan nama Abah Duwan. Keberanian Try makin menonjol, sampai-sampai ia pernah ditunjuk sebagai penanggung jawab keamanan pasar malam yang biasa diadakan di Kampung Genteng untuk menyambut Maulud Nabi. Meski sering berkelahi, Try tidak asal berantem. "Kami dulu sportif. Kalau berkelahi tidak asal keroyok saja. Kami selalu satu lawan satu. Tapi jangan salah sangka. Kami hukan kelompok yang suka cari musuh. Kami selalu mambantu yang lemah, juga sering mendamaikan kelompok yang bermusuhan," cerita Abdul Madjid, 55 tahun, teman Try sewaktu kecil. Selain olah raga, Try juga menyukai kesenian. Di Kampung Genteng Bandar Lor ia ikut perkumpulan keroncong remaja kampung. "Cak Su pegang bas, yang waktu itu berupa batangan bambu yang ditiup," kata Chamimah, adik kandung Try. Try juga senang melewatkan waktunya di langgar, ikut menabuh beduk, bahkan mengepel lantai. "Kalau sembahyang, Cak Su selalu khusyuk," tambah Chamimah. Setelah Try lulus SMP, ayahnya pensiun. Ia lalu ikut kakaknya Siti Asmah. Markoat, suami Siti Asmah, bekerja sebagai penyembelih dan penjual ayam potong. Yang dikenang Try: "Di sinilah saya dididik keuletan, ketabahan, serta kejujuran. Andai kata saya tidak dapat mencapai cita-cita setelah lulus SMA, saya telah siap diterjunkan hidup di masyarakat dengan "mandireng pribadi" atau berdiri di atas kaki sendiri.... Pengalaman menjual rokok, koran, bahan makanan sampai menjadi tobang, bukanlah menjadikan saya berkecil hati, tapi justru malah merupakan kenyataan hidup dalam perjuangan bangsa." "Saya percaya akan pepatah Barat "Experience is the best teacher", bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik. Dan saya percaya, lebih-lebih setelah saya lulus SMA, bahwa motivasi hidup adalah tidak ragu-ragu, ulet, kuat iman, dan takwa ketlada Tuhan Yang Maha Esa. Tahun 1956 Try lulus SMA. Meski diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Try memutuskan untuk memilih masuk Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad) di Bandung, guna mewujudkan impian masa kecilnya itu jadi prajurit. "Kesan yang mendalam waktu saya mengikuti testing untuk menjadi calon taruna di Bandung, saya ditelanjangi (hanya memakai celana dalam) di depan Bapak Djatikusumo.... Waktu interpiu, saya terus terang mengaku anak rakyat biasa, bukan dari golongan ningrat atau priyayi .... ". Postur tubuh Try yang tinggi tegap rupanya mengesankan Jenderal Djatikusumo, bekas Kasad yang kemudian menjabat sebagai Direktur Zeni Angkatan Darat, dan pemrakarsa berdirinya Atekad.Sekitar 120 pendaftar, setelah diperiksa kesehatannya, diinterpiu sendiri oleh Djatikusumo. Yang diterima dan dipanggil 56 orang."Waktu mereka dibaris, saya yang pertama kali inspeksi. Saya lihat, lho kok ndak ada itu, si Try. Rupa-rupanya, yang mendaftar lupa memanggil Try," kata Djatikusumo. Try yang waktu itu ada di Surabaya segera dipanggil untuk bergabung. Jadilah Try Sutrisno taruna Atekad. "Di sini saya digembleng bagaikan cerita wayang: Raden Gatotkaca dimasukkan kawah Candradimuka. Rasa bangga, haru, serta syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, bahwa saya dari keluarga sederhana boleh mempersiapkan diri menjadi calon perwira pertama pada Atekad". Tahun-tahun dilewati Try. Tidak cuma di depan guru, di sekolah. Sekitar 500 meter dari Atekad, di Jalan Setiabudi, Bandung, adalah rumah keluarga Sukarna Prawira. Rumah ini waktu itu sangat populer di kalangan taruna Atekad. Selain Pak Sukarnanya suka mengobrol dan memberi nasihat, ia juga punya anak gadis. Si putri sulung ini bernama Tuti Setyawati. Seperti yang lain, Try juga sering datang ke rumah itu. Ia, menurut Ny. Hasanah ibu Tuti Setyawati - termasuk yang paling akhir muncul dibandingkan teman-temannya. "Try kalau datang ke rumah ini paling suka diskusi tentang agama dengan ayah saya. Juga suka memberikan nasihat pada adik-adik Tuti, terutama tentang agama dan kepahlawanan," kata Ny. Hasanah. Jika datang apel, kata Ny. Hasanah, Try Jarang sendlrian. la suka membawa temannya. -ika datang dan waktu salat tiba, Try suka mengajak anggota keluarga Sukarna salat berjamaah. "Dia selalu ingat saat salat," kata Wawan Gustiwak, putra keenam Ny. Hasanah. Lalu datanglah hari itu, 1 Oktober 1959. Try dilantik oleh Presiden menjadi perwira Zeni dengan pangkat letnan dua. Setahun kemudian, untuk pertama kali ia ditugaskan menjabat Dan Ton Zipur 2 di Palembang. "Di sini saya diceburkan pertama kali ke arah kedewasaan yang menyeluruh. Sebagai seorang perwira yang berumur relatif muda, saya sudah harus berpikir secara perwira, ya perwira AD, juga perwira dalam keluarga yang saya bina ...." (Try menikah dengan Tuti Setyawati pada 1961). Try melihat tugas rangkapnya itu sebagai tantangan. Ia ingin membuktikan bahwa ia mampu menjalankan tugasnya itu. "Negara telah mempercayakan tanggung jawab penuh di pundak saya, tanggung jawab ke atasan maupun ke anak buah. Di sini saya harus bertindak terhadap anak buah sebagai bapak, sebagai kawan, bahkan sebagai guru yang baik dalam menjalankan tugas sehari-hari. Harus tegas sebagai pimpinan, bijaksana dalam tindakan, dan kalau perlu dapat lemah lembut seperti seorang yang akan menghadapi seorang kekasih....". Sebagai perwira, Try populer di antara teman dan bawahannya. "Dia itu taat beribadat. Dia juga pandai menari ngremo (tarian Jawa Timuran). Kalau di kesatuan ada acara hiburan, dia pasti ditarik teman-teman untuk ngremo," kata seorang rekannya di Palembang. "Sebagai atasan beliau bisa menyelami hati anak buah. Soal kesejahteraan anak buah, misalnya, beliau mau langsung mengurusnya ke atasan," kata Saleh, 56 tahun, bekas anak buah Try di Palembang yang kini sudah pensiun. Try ingat betul pada suatu kenangan yang dianggapnya indah. Suatu hari datanglah Brigjen Djatikusumo ke Palembang. Dalam pertemuannya dengan Pangdam Sriwijaya waktu itu, Kolonel Harun Sohar, Djatikusumo berpesan pada Harun Sohar. "Kutitipkan Letda. Try Sutrisno kepadamu. Arahkanlah ia sebagai kader untuk pengganti kita yang sudah tua." Ucapan Djatikusumo itu seakan suatu ramalan. Try kemudian memang tumbuh menjadi kader pimpinan ABRI. Pangkat dan tugasnya berjalan seiring, semakin tinggi dan semakin berbobot. Pada 1972 Try tampil mewakili generasi muda TNI-AD pada Seminar Pewarisan Nilai-Nilai 45 di Seskoad. Banyak yang terkesan pada penampilan Try, yang waktu itu menyajikan makalah "Masalah Pewarisan dalam TNI AD dan Integrasi TNI-Rakyat". Pada 1974, Try yang bertugas sebagai Kepala Biro di SUAD II diajukan untuk menjadi ajudan Presiden Soeharto. "Dia itu kami ajukan karena human relationship-nya. Itu memang kekuatannya. Latar belakang intelektualnya cukup. Kenyataannya, lulusnya dari Seskoad baik. Pekerjaan kepala bironya juga baik," kata Letjen Sayidiman Suryohadiprojo yang antara 1973 dan 1974 menjabat Deputi KASAD. Try terpilih. Mulailah suatu masa empat tahun, yang disebut Try sebagai "masa belajar tersendiri yang menambah mantapnya proses pematangan sebagai seorang perwira TNI/ABRI". Tugas itu dianggapnya berat tapi mulia dan membanggakan hati karena menyangkut keamanan negara serta keamanan dan ketenteraman pribadi Presiden dan keluarganya. Setelah itu pangkat dan kariernya makin melesat. Kasdam Udayana dengan pangkat kolonel pada 1978-1979. Pangdam Sriwijaya (1979-1982). Mayjen. Try ditugaskan menjabat Pangdam V/Jaya pada 1982-1985. Setelah itu Wakil Kasad (1985-1986), Kasad (1986-1988). Pangkat jenderal penuh berbintang empat diperolehnya pada 1987. Ia juga dipercayai untuk memimpin PBSI sebagai ketua umum sejak 1985. Jenderal Try tampaknya memang telah lama disiapkan untuk memegang pucuk pimpinan ABRI. Berbagai pos dan jabatan yang didudukinya agaknya memang dijadikan Jenjang untuk mematangkannya. Ia memang belum pernah memegang jabatan di Mabes ABRI, tapi wawasannya rupanya dinilai cukup. Di saat menjabat Pangdam V Jaya, misalnya, ia mengalami berbasai ujian, antara lain Penstlwa Tanjungpriok dan pengeboman BCA. Dan Try, menurut Kasad Rudini, "lulus dengan sangat baik". Semasa menjabat Panglima di Jakarta, Try telah memikat masyarakat ketika ia melakukan serangkaian kunjungan ke masjid-masjid. Ia mencengangkan orang tatkala ia dengan fasihnya mengutip ayat-ayat Quran. "Lafaz serta bacaannya baik," puji Nurcholish Madjid. Di kalangan prajurit - yang selalu dipanggilnya "Dik" - ia juga populer. Selain taat beribadat, Try juga dikenal jujur dan tidak pernah memanfaatkan kedudukannya. Sumantri, adik kandung Try, pernah dimarahi karena minta tolong agar dibantu supaya lulus masuk Akademi Minyak dan Gas di Cepu. "Waktu itu saya tidak lulus tes. Maksud saya datang ke Jakarta pada Cak Su, ya minta tolonglah, 'kan namanya kakak, ya bagaimanalah," cerita Sumantri. Ternyata, Try marah. "Kalau tidak lulus, ya sudah. Jika semua pegawai seperti kamu, tidak lulus minta diluluskan, apa nanti perusahaan tidak miring?" kata Sumantri mengulangi ucapan Try, yang waktu itu menjadi ajudan Presiden. Pernah adik Try yang lain, Chamimah, kehilangan kartu pegawainya sewaktu di Jakarta. Waktu minta tolong Try, ia ditolak. "Kartu hilang ya urus sendiri," ujar Try waktu itu. "Pokoknya, Cak Su itu orangnya 'streng'", kata Sumantri. Kesederhanaan hidup Try juga terlihat pada kehidupan saudara-saudaranya. Rumah Charnimah yang guru SD dan STK di Surabaya itu sangat sederhana. Jika mengajar ia naik bemo. "Gaji saya itu habis untuk naik bemo," katanya. Sumantri merasa lebih beruntung. Pegawai rendakan Pertamina yang tinggal di rumah tembok berukuran 4 x 6 meter itu memiliki sepeda motor Kawasaki tahun 1976. Pengangkatan Try menjadi Pangab diterima saudara-saudaranya dengan ucapan syukur alhamdulillah. Syukuran? "Tidak. Yang dilantik ada di Jakarta. Jadi, biar yang di Jakarta saja yang selamatan," ujar Siti Asmah, kakak Try yang juga tinggal di Surabaya. "Kami tidak akan memanfaatkan nama besar Cak Su. Anda bisa melihat sendiri keluarga di sini--bagaimana?" sambung Chamimah. Anak-anak Try tampaknya juga menyambut promosi ayahnya secara biasa-biasa saja. Taufik Dwicahyono, 23 tahun, anak Try yang kini kuliah di Delft, Belanda, mendengar berita itu justru dari teman-temannya. Sikapnya biasa-biasa saja. "Semua yang dikerjakan Bapak selalu dikembalikan ke Tuhan. Dia tak merasa bahwa hasil yang dikerjakan itu adalah dari tangannya sendiri. Semua itu, musibah atau kegembiraan, adalah pemberian Allah," kata Taufik, yang biasa dipanggil Cheppy. Dicegat wartawan di Surabaya Senin pekan ini, Try mengungkapkan perasaannya ditunjuk menjabat Pangab. Ya, kita harus bersyukur pada Tuhan." Susanto Pudjomartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini