Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

"Ambil Hukum Islam yang Hidup di Indonesia"

29 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENYUSUNAN kembali hukum Islam ramai diperbincangkan pada awal Oktober lalu. Siti Musdah Mulia dan tim pengarusutamaan gender Departemen Agama, penggagas counter-legal draft (draf awal) Kompilasi Hukum Islam itu, "diserang" habis kelompok yang menganggap draf awal itu melenceng dari syariat Islam. "Serangan", misalnya, datang dari Majelis Ulama Indonesia dan bahkan Menteri Agama Said Agil al-Munawar. Yang paling mendatangkan debat adalah pelarangan poligami, wanita boleh menjadi wali nikah bagi anaknya, dan "kawin kontrak" dengan batas waktu tertentu.

Ternyata seorang ahli mengamati bahwa pertentangan tersebut hampir selalu terjadi dalam setiap penyusunan draf kompilasi hukum Islam.

Kesaksian ini diberikan Dr. Thoralf Hainstein, peneliti muda dari Orientalischen Institut der Universitaet Leipzig, Jerman. Peneliti 34 tahun itu berhasil mengumpulkan 70 naskah asli yang berisi kompilasi hukum Islam di Indonesia. Berbagai catatan penting sejarah itu ditemukannya terserak di perpustakaan-perpustakaan di Eropa hingga di sebuah kantor pengadilan agama di Pontianak, Kalimantan Barat.

Koleksi tertua yang dikumpulkan Hanstein berasal dari abad ke-18, seperti Kitab Mogharder yang dibuat pada 1750. "Saya tidak mau mengutip sumber kedua, saya mau melihat naskah aslinya," kata pria kelahiran Sonderhausen, Jerman itu. Namun sejumlah naskah penting belum dapat ditemukannya. Salah satunya yang masih belum ditemukan adalah RUU Perkawinan yang kabarnya disusun pada 1959.

Ayah dua anak yang menguasai lima bahasa asing ini meraih gelar doktor setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Islamisches Recht und Nationales Recht Teil 1/ Teil 2 (Hukum Islam dan Hukum Nasional jilid 1 dan 2), penelitian tentang pengaruh hukum Islam pada perkembangan hu-kum keluarga modern di Indonesia.

Bersama rekannya Silvia Tellenbach, Hanstein menyusun beberapa buku tentang hukum Islam. Salah satunya berjudul Beitraege zum Islamischen Recht (Artikel tentang Hukum Islam). Hanstein mengaku sudah memberikan sekitar 15 bukunya kepada para pejabat di Indonesia. Namun dia belum pernah mendapat respons. "Mungkin, setelah diterima, buku itu disimpan di rak dan dilupakan," kata suami dari Esie, wanita asal Yogyakarta ini. Hanstein mengaku kagum pada tulisan-tulisan mantan Ketua Muda MA Bidang Peradilan Agama, Prof. Bustanul Arifin, S.H. Menurut dia, Bustanul merupakan bapak Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Koresponden Tempo Sri Pudyastuti Baumeister mewawancarai Dr. Thoralf Hanstein di rumahnya di lantai tiga sebuah apartemen di kawasan Gustav-Freytag, Jerman, tiga pekan lalu. Petikannya:

Apa yang mendorong Anda mempelajari hukum Islam Indonesia?

Saya kuliah di institut Orientalis jurusan Arabistik, yang salah satu program studinya hukum Islam. Saya menerima tawaran belajar bahasa di Indonesia. Saya kemudian memilih Fakultas Sastra Indonesia di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 1996. Ketika itulah saya mulai mencari data tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) untuk skripsi saya.

Mengapa Anda memilih Indonesia?

Saya membaca tulisan-tulisan Prof. Bustanul Arifin. Indonesia paling progresif dalam KHI. Sedangkan di Barat KHI tidak dikenal sama sekali. Bahkan sampai 1996 tidak ada satu pun tulisan dalam bahasa Inggris tentang KHI.

Bagaimana Anda mulai mengumpulkan naskah lama itu?

Pada saat saya menyusun skripsi, hukum Islam yang saya temukan bersifat umum. Kemudian saya coba melihat tu-lisan aslinya, supaya bisa tahu apa isinya. Ternyata susah sekali. Disertasi doktor saya buat selama tiga tahun, dua tahun di antaranya saya mencari rancangan undang-undang dan undang-undang lama yang asli.

Di mana saja Anda memburu naskah asli itu?

Ke mana-mana. Selain di Universitas Leipzig, saya ke Universitas Halle dan Universitas Berlin. Saya juga berkali-kali ke Belanda, ke Universitas Leiden, Universitas Amsterdam, dan Universitas Utrecht. Saat itu banyak buku mengutip dari buku lama tetapi tidak mengutip dari sumber aslinya. Ketika membaca sumber aslinya, saya jadi tertawa, karena isinya berbeda dengan yang selama ini ditulis.

Anda juga memburunya di Indonesia?

Saya memburu naskah asli yang lumayan bagus sampai ke pengadilan agama di Pontianak. Kitab von Bone und Goa yang ditulis pada 1759 saya dapatkan di sana. Kitab ini selalu disebut-sebut sebagai salah satu buku Hukum Islam pertama di Indonesia. Ternyata isinya hukum acara pidana dan perdata, dan hanya sedikit sekali menyinggung ihwal hukum Islam. Dan yang lebih lucu lagi, banyak buku menyebut Pepakem Cirebon yang ditulis pada 1768 sebagai buku hukum Islam. Ternyata isinya tentang Jawa kuno dan Hindu.

Naskah hukum Islam seperti apa yang Anda kumpulkan?

Saya mengumpulkan rancangan atau peraturan yang akan menjadi undang-undang. Misalnya pernyataan tentang Nyonya Hartini, ketika Presiden Sukarno akan mengambilnya sebagai istri kedua. Organisasi-organisasi wanita Indonesia membuat pernyataan resmi di depan pers tentang kekecewaan mereka. Yang paling menarik jika bisa menemukan rancangan undang-undang yang kemudian saya bandingkan dengan teks undang-undang. Seperti UU Perkawinan Tahun 1973. Pada rancangan pertama disebutkan tidak ada masalah dalam perkawinan beda agama. Tapi pasal itu kemudian dibuang karena banyak protes dari organisasi Islam.

Ada pengalaman unik saat proses pengumpulan itu?

Saya pernah mendapat sebuah rancangan undang-undang melalui jalur tidak resmi. Di situ ada tulisan ''sangat rahasia''. Repot juga. Toh saya kutip juga dalam buku yang saya susun dan menjadi tidak rahasia lagi. Misalnya tentang hukum yang mengatur hak waris antara laki-laki dan perempuan. Dulu sudah diatur 50 persen-50 persen. Belakangan masalah kesetaraan hak waris seperti itu muncul lagi.

Di dalam Rantjangan Peratoeran Mentjatat Perkawinan Didalam Daftar Burgerlijke Stand tahun 1937, tampak kesetaraan gender sudah diperhatikan. Anda tahu latar belakangnya?

Saya membahas itu dalam disertasi saya. Pada 1937, setelah Belanda memasukkan Rantjangan tadi ke dalam undang-undang, kelompok Islam dan organisasi massa Islam baru mulai bereaksi. Organisasi nasional Indonesia membuat RUU sendiri. Menurut saya ini starting point gerakan nasional untuk membuat RUU Perkawinan Islam sendiri, tetapi hal ini tidak banyak dibahas.

Apa latar belakang Belanda membuat Rantjangan itu?

Maksud Belanda sebenarnya hanya untuk menghindari perkawinan antara wanita Belanda dan laki-laki pribumi. Tapi saya melihat sebenarnya mereka cuma mau mengatur pendaftaran. Mereka tidak mau ada perkawinan di bawah tangan. Kala itu organisasi wanita Indonesia bisa menerima RUU ini, karena di situ juga diatur bahwa laki-laki tidak bisa sembarangan memberikan talak.

Apa yang paling menonjol dari hukum Islam yang Anda kumpulkan?

Yang paling menonjol adalah perkawinan beda agama yang belum diatur seratus persen. Bisa saja orang melakukannya cuma proforma, pura-pura masuk ke agama Islam lalu setelah menikah kembali ke agama asalnya. Mereka terpaksa bohong karena ingin menikah. Padahal perkawinan itu sakral, dan jika perkawinan dimulai dengan satu kebohongan besar, jelas tidak baik. Toh orang masih tetap bisa pergi ke Singapura dan menikah di sana. Perkawinan seperti ini diterima pula di Indonesia.

Anda melihat perbedaan hukum Islam di Indonesia dan negara lain?

Harta bersama dalam perkawinan atau harta gono-gini hanya ada di Kompilasi Hukum Islam Indonesia. Masyarakat melihat tradisi lama di Jawa ini sebagai hukum yang hidup, maka masuklah ini ke dalam Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan di negara Islam lainnya dipisahkan antara harta suami dan harta istri. Juga larangan perkawinan beda agama. Di banyak negara Islam, laki-laki muslim boleh menikahi wanita nonmuslim. Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dilarang seratus persen. Sebenarnya pasal itu tidak hidup dalam masyarakat, tapi itu juga khas Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Apa harapan Anda dalam penyusunan KHI saat ini?

Saya berharap yang menyusun UU Hukum Islam bukan dari kalangan fundamentalis. Mereka harus mengambil hukum Islam yang hidup di Indonesia. Misalnya saja hukum pidana dengan memotong tangan, jelas tidak cocok di Indonesia. Yang dilibatkan dalam RUU Hukum Islam haruslah orang yang toleran dan mengerti kebutuhan dan situasi masyarakat Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus