SERANGAN itu datang bagai kilat. Selasa dua pekan lalu, sekelompok orang berkaus hitam menyergap dan mementungi Gunawan Djalil, 24 tahun, seusai mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu mengikuti acara diskusi di kampusnya. Serbuan tersebut tak diduga oleh takmir masjid kampus itu dan dua rekannya, sehingga ia tak berdaya. Hingga akhir pekan lalu, guru Taman Pendidikan Alqur'an itu masih terbaring di rumahnya karena gegar otak. "Gunawan dirawat di rumah karena dikhawatirkan, kalau dirawat di rumah sakit, diserang lagi oleh gerombolan itu," ujar seorang aktivis mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga, yang menungguinya.
Penyerangan terhadap Gunawan dan aktivis mahasiswa lainnya merupakan rentetan aksi dari kelompok yang menamai dirinya ekstrem kanan Yogya menumpas aktivis kiri. Rupanya, aksi penumpasan itu dilakukan secara simultan. Buktinya, sejam setelah masuk ke Kampus UMY, massa yang menggunakan kaus hitam itu menyerang Sekretariat Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi di kompleks gedung bekas Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia. Sambil mengacungkan pedang dan pentungan, mereka merusak pintu, kaca, lukisan, dan televisi. Beberapa orang yang berada di sana juga menjadi sasaran. Para pemuda berkaus hitam yang di antaranya bertuliskan Gerakan Pemuda Ka'bah (GPK) itu menuduh Taring Padi sarang komunis.
Dua hari kemudian, kelompok yang sama menyerang Kampus Akademi Bahasa Asing Yogyakarta. Saat itu, mahasiswa tengah melakukan aksi menentang kenaikan uang kuliah. Mimbar bebas yang semula tertib berubah jadi kacau. Para pemuda berpakaian GPK, sambil mengacungkan pentungan dari kayu dan besi, berteriak-teriak mencari seorang aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD). Saat ketemu, Dimarto Manik, mahasiswa kampus itu, digebuk ramai-ramai. Alhasil, selama tiga hari aksi kelompok itu melukai belasan orang.
Apa ini sebuah gerakan teror yang menyerang siapa saja? Menurut Ketua GPK Yogyakarta, Muhammad Lutfi, mereka punya sasaran yang jelas, yaitu para aktivis "kiri". "Kami punya daftar orang yang memang perlu untuk diserang. Jadi, kami ini tidak sembarangan menyerang," katanya. Ia menyebut aktivis PRD sasaran utamanya. "PRD itu asasnya sosialis. Nah, GPK, bila berhadapan dengan PRD, harus keras. Jadi, setiap ada aktivis PRD, ya, langsung disikat," ujar Lutfi, yang kepada TEMPO mengaku sudah menyerang PRD tujuh kali. Serangan terhadap aktivis yang dicap "kiri" bermula pada Agustus tahun lalu, saat mereka melabrak ruang redaksi majalah mahasiswa IAIN Yogyakarta, Arena.
Aksi yang sudah berjalan beberapa bulan ini tak pernah ditindak oleh aparat. Akibatnya, kelompok itu sering bertindak main hakim sendiri, bahkan tak jarang salah sasaran. Ini dialami oleh Supriyadi, Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Yogyakarta, yang sedang bersama Gunawan saat Gunawan dipukuli. Ketika hal ini ditanyakan kepada Lutfi, ia menjawab enteng, "Salahnya dia kenapa keluar bersama Gunawan."
Benarkah? Bagi para aktivis Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), ucapan itu hanya mengada-ada. Mereka menuduh serangan GPK belakangan ini lebih berkaitan dengan pendampingan mereka dalam kasus tanah Tegalburet, Kulonprogo (lihat TEMPO Edisi 12-18 Februari 2001, halaman 123). Dalam kasus tanah seluas 1,8 hektare itu, masyarakat berhadapan dengan Komando Daerah Militer Diponegoro. Pejabat militer setempat menuduh aktivis kiri dari FPPI menunggangi kasus ini sehingga penduduk setempat berani melawan institusi militer. Nah, Gunawan saat ini menjabat Sekretaris Jenderal FPPI. Klop.
Tapi tuduhan bahwa aktivitas GPK itu karena pesanan dari pejabat militer setempat dibantah Lutfi: "Enggak benar itu. Kami tidak pernah menerima pesanan dari siapa pun. Kami murni gerakan pemuda yang peduli terhadap keadaan lingkungan sosial masyarakat Yogya."
Manado
BUKAN gempa yang bisa memorak-porandakan Gedung DPRD Bitung, Sulawesi Utara, melainkan Wali Kota Bitung, Milton Kansil. Rabu pekan lalu, meja sidang di gedung wakil rakyat itu terjungkir balik, gelas-gelas pecah berhamburan di lantai. Ini adalah aksi para anggota DPRD dari Fraksi PDI Perjuangan yang tak setuju diadakannya rapat paripurna untuk menyidang Milton Kansil.
Sementara itu, di luar gedung, ratusan pendukung Wali Kota berteriak-teriak minta sidang yang tanpa dihadiri si tertuduh dibatalkan. Suara mereka berbaur dengan teriakan massa anti-Milton yang mendukung sidang itu. Ratusan polisi dari Brimob Polda Sul-Ut berjaga-jaga dengan senjata lengkap.
Rapat paripurna ini merupakan babak lanjutan dari upaya mendongkel Milton sejak ia terpilih menjadi Wali Kota Bitung pada Juni tahun lalu. Waktu itu, menjelang pelantikannya, Milton digoyang dengan berita soal penyelundupan kaset video yang dilakukannya 20 tahun lalu. Milton lolos menjadi wali kota, tapi unjuk rasa para pendukung dan penentangnya terus berlanjut. Karena itu, Ketua PDI Perjuangan Cabang Bitung itu masih bertahan.
Puncaknya adalah diadakannya sidang paripurna DPRD Bitung yang memutuskan meminta Presiden melalui Menteri Dalam Negeri mencopot Milton. Sidang itu dipimpin Wakil Ketua DPRD Robert Lahindo. Ketua DPRD Jantje Takasihaeng dan anggota dari Fraksi PDI-P yang mendukung Milton walkout. Putusan itu mengundang perpecahan di antara wakil rakyat Bitung. "Keputusan itu terburu-buru. Mestinya Wali Kota hadir," ujar anggota dewan dari Fraksi Serikat Solidaritas Nasional, F. Dengah.
Milton juga menolak keputusan itu. Menurut dia, sidang paripurna yang digelar DPRD Kota Bitung itu menyalahi prosedur. "Mestinya, sebelum sidang, minimal sepertiga anggota dewan menyetujui paripurna itu. Jadinya, sidang ini terkesan direkayasa," tuturnya.
Makassar
KETIMPANGAN dalam rencana anggaran pendapatan dan belanja daerah (RAPBD) kini menuai protes. Setelah di DKI Jakarta, kali ini hal itu terjadi di Sulawesi Selatan. Senin pekan lalu, 13 lembaga swadaya masyarakat di Sul-Sel meminta DPRD merevisi RAPBD 2001 yang diajukan pemerintah daerah. Menurut juru bicara koalisi organisasi itu, M. Ishak, telah terjadi ketidakseimbangan dalam RAPBD itu. "Harusnya anggaran pembangunan lebih banyak dari anggaran rutin," katanya.
Menurut Ishak, dari Rp 394,9 miliar RAPBD, anggaran rutin untuk DPRD, pemda, dan sekretariat wilayah mencapai Rp 305,94 miliar, sedangkan anggaran untuk pembangunan hanya sisanya, Rp 88,94 miliar. Penyusunan seperti itu dianggap tidak tepat sasaran. Belum lagi dugaan penggelembungan dalam pembelian peralatan kantor. "Masa, beli dua mesin ketik Rp 10 juta dan satu komputer Rp 29 juta? Harga mesin ketik yang paling bagus tidak sampai Rp 3 juta. Dan harga komputer di-markup empat kali lipat," ujarnya.
Dari pos tunjangan pun, menurut Ishak, juga tampak terjadi tumpang tindih. Untuk alokasi anggaran DPRD, misalnya, tunjangan dan biaya operasional yang diberikan mencapai Rp 8 miliar, sedangkan untuk anggaran lain-lain eksekutif mencapai Rp 2 miliar. Baginya, terjadi tumpang tindih antara istilah tunjangan dan lain-lain, sehingga timbul pembengkakan pengeluaran.
Karena itulah ke-13 organisasi nonpemerintah itu sepakat menolak RAPBD sebelum direvisi. Rupanya, tuntutan itu tak bertepuk sebelah tangan. Pihak DPRD pun merasa perlu menunda pengesahannya, yang semula direncanakan pada 28 Februari lalu. Alasannya, menurut Ketua DPRD Sul-Sel Amin Syam, "Masih banyak tahapan yang harus dilalui dan dirasionalisasi lagi. Kami juga akan melibatkan teman-teman dari LSM sebelum dewan menyatakan menerima RAPBD ini, agar semuanya transparan." Klop.
Kupang
GAGAL jadi wakil gubernur, lalu menuntut pers. Darius Fattu, calon Wakil Gubernur Nusatenggara Timur, Rabu pekan lalu melaporkan Harian Independen NTT Ekspres dan Harian Umum Radar Timor ke Kepolisian Resor Kupang. Menurut Darius, kedua koran itu menyebabkan dirinya gagal dalam bersaing menjadi Wakil Gubernur NTT.
Penyebabnya, koran tersebut mengungkapkan "dosa-dosanya" tepat pada hari pemilihan, Kamis dua pekan lalu. Ketua PDI Perjuangan Cabang Kupang itu diberitakan lebih memilih tinggal bersama istri selir di Kupang daripada tinggal dengan istri sah dan anak-anaknya di Pulau Rote. Wakil Ketua DPRD Kupang itu juga dituduh menerima uang dari dua calon lain, Matheos Lay dan Alex Djari, untuk memuluskan jalan kedua calon dari Fraksi PDI Perjuangan itu.
Darius membantah semua tuduhan itu. "Itu fitnah yang sangat keji dan semua yang diberitakan kedua harian itu tidak benar," katanya. Untuk membuktikan dirinya tidak seperti yang digambarkan kedua harian itu, Darius melaporkan kepada polisi, "Lebih baik diproses secara hukum daripada difitnah begitu. Nanti akan kita lihat di pengadilan."
Pemimpin kedua harian di atas tak gentar dengan laporan polisi. Menurut Pemimpin Redaksi Radar Timor, Fredy Wahon, pihaknya siap melayani kalau dipanggil polisi. "Apa yang diberitakan sesuai dengan apa yang diperoleh wartawan kami dari sumber berita. Sumber kami jelas," ujarnya. Pemimpin Redaksi NTT Ekspres, Hans Louk, tak mau kalah: "Kami siap menghadapi pengaduan Pak Darius."
Gresik
SENIN pekan lalu, penduduk Desa Telogopojok, Lumpur, dan Romo Meduran di Kabupaten Gresik dikejutkan dengan meruaknya bau tak sedap menyengat hidung. Begitu kerasnya bau itu sampai mereka jadi terbatuk-batuk, kepala pusing, mual ingin muntah, dan akhirnya badan lemas, lalu pingsan. Ratusan warga panik dan sibuk lari menutup pintu serta jendela rumahnya. Ratusan lainnya lari ke luar desa untuk menghindar. Namun, bau itu ternyata masih terasa sampai radius 10 kilometer. Akibatnya, 300 orang, yang terdiri atas bayi, anak-anak, dan orang tua, masuk rumah sakit.
Setelah ditelusuri, pusat bau datang dari pabrik PT Petrokimia Gresik. Pabrik yang memproduksi beragam jenis pupuk dengan bahan baku utama berbagai unsur kimia itu sejak beroperasi pada 1972 memang sering bikin susah penduduk. Mereka, misalnya, beberapa kali menebarkan berbagai macam limbah, seperti buangan cair, padat, dan emisi gas. Nah, bau yang datang pada Senin itu ternyata berasal dari bocornya tangki amoniak pabrik tersebut.
Tak pelak lagi, kejadian itu mengundang kemarahan. Ratusan warga melampiaskan emosinya dengan menimpuki dua pos keamanan, menjungkirbalikkan mobil perusahaan, dan melempari kantor dengan batu. Untung saja, polisi dibantu pasukan Banser NU bisa mencegah massa yang kalap.
Namun, ancaman pun terlontar dari mulut penduduk. Bila produsen pupuk berskala besar itu mengulangi kesalahannya, sebaiknya pabrik itu ditutup saja. "PT Petrokimia telah bertahun-tahun menebarkan penderitaan kepada warga akibat polusi dari limbah yang dibuangnya," ujar Sarjono, yang tampil menyampaikan tuntutan penduduk setempat.
PT Petrokimia jelas tak bisa memenuhi permintaan menutup pabrik. Namun, mereka menyanggupi untuk meminimalisasi polusi, menjamin kesehatan warga, dan memberikan uang pengganti bagi penduduk yang terkena musibah itu. Buktinya, "Kami langsung mendirikan posko logistik dan kesehatan untuk membantu langsung warga yang terkena dampaknya," ujar Kepala Bagian Penerangan PT Petrokimia, Arif Rachman.
Namun, solusi ini, bagi pakar kesehatan lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Doktor Fuad Amsyari, tak akan memecahkan masalah. Industri sejenis PT Petrokimia akan senantiasa memunculkan ancaman bagi penduduk sekitarnya. Kebocoran amoniak hanyalah salah satu ancaman yang mungkin terjadi. Jadi? "Dari dulu saya sarankan agar dilakukan relokasi ke kawasan yang relatif aman," katanya.
Ahmad Taufik dan laporan dari daerah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini