Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELEMBAR surat dilayangkan dari penjara Pokok Sena, Kedah, awal bulan lalu. Ditujukan ke kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh di Lamlagang, Banda Aceh, pengirimnya Bustaman bin Bukhari. Ia terjerat hukuman mati di Malaysia bersama temannya, Tarmizi bin Yacob.
Kepada para aktivis di organisasi itu, Bustaman meminta menyampaikan perkaranya kepada Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Ia juga berharap Gubernur datang ke Malaysia. ”Sekaligus membuat permohonan ampun secara lisan atau tulisan kepada Kerajaan Malaysia,” ia menulis.
Bustaman rupanya menagih janji Irwandi, tiga tahun silam. Setelah terpilih menjadi gubernur, ia mengirim tim ke Malaysia. Soalnya, banyak penduduk Aceh terancam hukuman gantung di negeri itu. Tim ditugasi meninjau dan mendata para tahanan, lalu menyiapkan bantuan.
Dalam suratnya, Bustaman menceritakan pengalamannya pada masa persidangan bersama Tarmizi. Dituduh melanggar Akta Dadah Berbahaya—undang-undang antinarkotik—keduanya tidak memperoleh bantuan dari pemerintah, kecuali bantuan pengadaan pengacara.
Saifuddin A. Gani, pengacara yang menjadi anggota tim ke Malaysia, membenarkan isi surat Bustaman. ”Saat itu masalah yang mendapat perhatian serius adalah yang terancam hukuman mati,” katanya. Menurut dia, tim lalu bekerja sama dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia buat menyediakan pengacara.
Lama tak ada kabar, Saifuddin menerima kabar dari Kantor Pengacara Ratfizi dan Rao di Serembam, Negeri Sembilan. Pengacara menyampaikan informasi, permohonan kasasi Bustaman dan Tarmizi ditolak. ”Hukuman gantung yang diputuskan Mahkamah Tinggi dan Mahkamah Rayuan Malaysia dikekalkan,” demikian bagian dari surat itu.
Saifuddin pun menyatakan pemerintah Aceh berusaha membantu Bustaman dan Tarmizi. Tapi, menurut dia, perlu uluran tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ”Tidak bisa permohonan ampun untuk mereka hanya diajukan pemerintah Aceh saja,” ujarnya.
Bustaman dan Tarmizi hanya dua dari ribuan warga Indonesia yang kini menghuni berbagai penjara di Malaysia. Sebanyak 177 orang di antaranya terancam hukuman mati. Dari mereka yang terancam gantungan, 142 dituduh terlibat kasus narkotik, termasuk Bustaman dan Tarmizi. Sisanya kasus pembunuhan dan kekerasan dengan menggunakan senjata api.
Ketua satuan tugas perlindungan warga negara Kedutaan Besar Indonesia Amiruddin Pandjaitan mengatakan sekitar 95 persen kasus narkotik di negeri itu dilakukan oleh warga Indonesia. Tapi mereka tidak sedang bekerja di sana. ”Alias non-TKI,” ujarnya.
Menurut Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia M. Jumhur Hidayat, sebagian besar dari mereka yang terjerat hukum adalah penduduk asal Aceh. ”Sekitar 90 persen,” katanya. Tak mengherankan bila tim khusus dari Aceh diutus pergi ke negeri seberang.
Dari catatan Kedutaan Indonesia yang diperoleh Tempo, 338 warga Indonesia terancam hukuman berat, termasuk hukuman mati. Sebanyak 294 di antaranya dituduh terlibat kasus narkoba. Dari angka tersebut, 263 adalah warga asal Aceh.
Menurut Jumhur, kebanyakan kasus terjadi sebelum perjanjian damai di Aceh ditandatangani. ”Jadi, kasus-kasus lama,” ujarnya, ”setelah damai tidak banyak.”
Dari semua yang terancam hukuman mati, menurut Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri, Teguh Wardoyo, 54 kasus dalam proses banding. Lima kasus dalam proses kasasi. Adapun tiga kasus telah dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Persekutuan. Mereka kini menunggu proses pengampunan dari Badan Pengampunan Negara.
Para pesakitan tersebar di penjara berbagai daerah seperti Alor Setar dan Pokok Senan di Kedah, Kluang (Johor), Pulai Pinang dan Seberang Perai (Penang), Kajang dan Sungai Buloh (Selangor), Tapah dan Taiping (Perak), dan Tawau (Sabah). Teguh menyatakan semua warga Indonesia yang terancam hukuman mati di Malaysia telah mendapat bantuan. ”Termasuk Tarmizi dan Bustaman, mereka didampingi terus,” katanya.
Menurut Teguh, pemerintah mengupayakan akses konsuler, pendampingan dan advokasi hukum. Selain itu, ia menambahkan, pemerintah melakukan pendekatan dengan pemerintah setempat, termasuk mengupayakan keringanan hukuman atau pengampunan.
Satu yang biasa dilakukan adalah mencari celah hukum. Misalnya membuktikan seseorang bukan pedagang narkoba dan hanya ”dititipi tanpa sepengetahuannya”. Ini kerap terjadi pada awak kapal yang tidak tahu di kapalnya ada barang haram. Menurut Teguh, sebagian besar penangkapan kasus narkotik yang melibatkan warga Indonesia dilakukan di kapal.
Itu pula yang dikisahkan keluarga Tarmizi. Ia mengaku dijebak seseorang yang menitipkan tas kepadanya. Belum sempat menyampaikan ke orang yang dituju, Tarmizi dan Bustaman ditangkap Polisi Diraja Malaysia. Keluarga yakin dengan cerita Tarmizi. ”Kalau jualan ganja, dia pasti sudah kaya dari dulu,” kata Umar bin Bukhari, adik Tarmizi, yang berasal dari Simpang Maplam, Bireuen.
Direktur Eksekutif Migrant Care Malaysia Alex Ong mendukung pernyataan Teguh. Bantuan akan lebih optimal bagi mereka yang menjadi korban dalam perdagangan narkoba ini. Menurut dia, banyak orang yang ditangkap dalam kasus narkoba adalah korban sindikat. ”Makanya kami memantau betul proses hukum mereka,” katanya.
Meski demikian, kendala dihadapi pemerintah Indonesia. Menurut Amiruddin, kedutaan kesulitan mengetahui data warga Indonesia yang diancam hukuman mati. ”Terkadang hakim memutuskan terdakwa bebas, dan langsung dilepaskan begitu saja, tanpa dipulangkan ke negeri asal,” katanya. ”Akibatnya, dia melakukan perbuatannya lagi.”
Ia mengisahkan kasus seorang warga Indonesia yang diadili gara-gara membawa ganja lebih dari 500 gram. Pengadilan memutuskan bebas karena bukti yang diajukan jaksa dianggap tidak cukup kuat. ”Seminggu setelah itu, pengacaranya menelepon saya bahwa dia kembali ditangkap polisi karena dengan tuduhan mengedarkan ganja,” tuturnya.
Jumhur menambahkan, warga Indonesia yang tak berdokumen lebih rentan. ”Banyak laporan mereka dikriminalisasi,” katanya. Karena itu, kata Teguh, pemerintah akan mencari tahu warga Indonesia yang mendapat masalah hukum.
Jumhur mengajukan usul lain. Karena mereka yang terancam hukuman mati kebanyakan warga Aceh, dan kasusnya terjadi sebelum perdamaian, katanya, argumentasi khusus bisa diajukan. ”Mereka harus diperlakukan berbeda, karena keadaan waktu itu tidak normal,” katanya.
Purwani Diyah Prabandari (Jakarta), Adi Warsidi (Banda Aceh), Masrur (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo