Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GELISAH melanda Amrun Salmon. Perajin batik tabir asli Riau ini menuding Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) setempat mencuri motif batik kreasinya. Tahun lalu, perajin batik berpola tirai pembatas ruang ini mengaku telah menyerahkan 16 jenis motif dasar dan 20 jenis motif hasil ciptaannya ke Dekranasda Riau, untuk pendaftaran hak cipta ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Belakangan, hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dari hasil kreasinya keluar tanpa menyertakan namanya sebagai pencipta.
Masalah ini agaknya bakal ruwet. Sebab, tak mudah mengakui Amrun sebagai pencipta motif batik tabir Riau, apalagi modal utamanya hanya gambar sketsa batik. Pihak Dekranasda Riau pun tak mau berkomentar, siapa sesungguhnya pencipta motif batik tabir itu.
Persoalan pendaftaran hak cipta menjadi penting saat ini, karena sering terjadi saling klaim. Ingat kasus lagu Rasa Sayange yang diklaim Malaysia. Untuk menghindari itu, pada 23 Oktober lalu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Kebudayaan dan Pariwisata menandatangani perjanjian untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan kekayaan intelektual budaya warisan tradisional Indonesia. Dalam kerja sama itu, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata akan menginventarisasi kekayaan intelektual budaya, termasuk lagu, cerita rakyat, musik, desain industri, batik, arca, dan makanan.
Pemerintah daerah pun diimbau agar mengumpulkan warisan budaya setempat. Selanjutnya, Departemen Kebudayaan akan mencatat warisan budaya itu. Menurut Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film Departemen Kebudayaan, Mukhlis PaEni, urusan folklore atau kesenian rakyat memang rentan menimbulkan persoalan. Masalahnya, lintas budaya di Indonesia memungkinkan daerah yang berbeda memiliki tradisi sama. ”Ini bukan pekerjaan buru-buru,” ujarnya.
Ini diakui budayawan Lembaga Adat Melayu Riau, Nizami Jamil. Dia mencontohkan tari serampang dua belas yang populer di Riau, yang sebetulnya berasal dari Sumatera Utara. Nizami pun menyarankan Pemerintah Provinsi Riau tidak melaporkan tarian yang namanya dari kata ”serampangan” atau asal-asalan ini. ”Jika mau, daftarkanlah tarian serampang delapan dan serampang laut,” ujarnya sambil menyebut dua tarian yang berasal dari daerah pesisir Riau. Pendapat ini diamini Kepala Dinas Kebudayaan Kesenian dan Pariwisata Riau, Joni Irwan.
Pemerintah Kota Medan justru tak tahu-menahu soal inventarisasi ini. Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Kota Medan, Arlan Nasution, mengaku tak ambil pusing jika Pemerintah Daerah lain melaporkan tari serampang dua belas lebih dulu. ”Yang penting sama-sama dari tanah Melayu,” ujarnya.
Namun urusan pendaftaran ini bisa jadi memicu konflik antarpemerintah daerah. Pemerintah Kabupaten Banyumas, misalnya, tengah bergiat mengembangkan budaya batik khas yang berwarna kalem. Batik khas itu pun didaftarkan sebagai merek dagang oleh pengusaha batik Banyumas.
Ternyata batik khas Banyumas ini sekarang sudah ”dijiplak” oleh pengusaha dari kabupaten lain. ”Batik printing Pekalongan, Solo, dan Yogya dengan motif Banyumasan ditawarkan dengan harga lebih murah,” kata Ahmad Dawahis, Sekretaris Koperasi Persatuan Pengusaha Batik Indonesia (Perbain) Kabupaten Banyumas. Akibat serbuan ini, dari 105 pengusaha batik Banyumas pada 1960, yang tersisa hanya 12 pengusaha.
Juru bicara Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Pekalongan, Wiendari, tak menampik adanya pengusaha batik Pekalongan meniru batik Banyumas. ”Sangat mungkin, kalau pasar menghendaki,” ujarnya. Namun Pemerintah Kota Pekalongan tak pernah mendaftarkan motif batik Banyumas itu. Yang didaftarkan adalah 96 motif batik, semuanya asli Pekalongan.
Menurut Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), Andi Noorsaman Sommeng, batik bisa dianggap warisan budaya dan karya cipta yang diperdagangkan. Sebagai produk dagang batik harus didaftarkan di Ditjen Hak Kekayaan Intelektual. ”Yang didaftarkan bisa merek, corak, atau teknologinya,” kata Andi. Sebagai warisan budaya, pemerintah setempat dipersilakan melapor langsung ke Departemen Kebudayaan tentang motif batik yang dimilikinya. ”Harus dibedakan mana batik sebagai produk dagang dan batik sebagai warisan budaya,” kata Andi lagi.
Memang, di situ pulalah ruwetnya. Karena itu perlu ada sosialisasi warisan budaya mana saja yang perlu didaftarkan untuk mendapatkan hak paten.
D.A. Candraningrum, Sohirin (Pekalongan), Ari Aji H.S. (Banyumas), Bobby Triadi (Pekanbaru), Hambali Batubara (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo