Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Smes lemah itu membunuh permainan lawan. Saifullah Yusuf berjingkrak girang. Teriakannya menggedor seluruh pojok lapangan bulu tangkis di belakang Kantor Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor, Jalan Kramat Raya 65, Jakarta, Rabu malam pekan lalu. Bekas Menteri Negara Percepatan Daerah Tertinggal ini dan pasangannya, Agus Eko Cahyono (pengurus Ansor), melibas lawan tandingnya, pasangan Aryanto Ogi-Mujiburrahman, juga pengurus Ansor, dengan skor 32-30.
Jika Saifullah, 43 tahun, cerdik dan tangguh di lapangan bulu tangkis, apakah ia sehebat itu pula di arena politik? Entahlah. Yang pasti, keponakan mantan Presiden Abdurrahman Wahid ini belum mengubur energi berpolitiknya. Sejak dicopot dari jabatan menteri pada 7 Mei lalu, ia kian rajin berkunjung ke Jawa Timur. Ia menggandeng Sultan Hamengku Buwono X dan Ketua Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir untuk sekadar gerak jalan. Pada Jumat pekan lalu Saiful dan Sultan gerak jalan di Jember. Sebelumnya, 9 Juli lalu di Banyuwangi dan 12 Agustus lalu di Kediri.
Ia ketuk pintu rumah hampir semua kiai berpengaruh di Jawa Timur dan mencium tangannya. Sebut, misalnya, pengasuh Pondok Pesantren Langitan Tuban KH Abdullah Faqih, KH Idris Marzuki (Lirboyo Kediri) dan KH Kholil As’ad (Asembagus Situbondo). Manuver Saiful mudah ditebak. Ia sedang mengumpulkan dukungan untuk pemilihan Gubernur Jawa Timur, 23 Juli 2008, walau Saiful masih malu-malu mengakuinya. ”Saya punya tiga opsi: maju sebagai calon gubernur, atau calon wakil gubernur, atau tidak maju sama sekali. Peluangnya sama,” katanya.
Saiful memang belum calon resmi. Ini karena loket pendaftaran calon gubernur belum dibuka. Belum ada juga partai yang telah resmi menjagokan sosok ”tukang lompat” partai ini. Sekadar catatan, Saiful pernah duduk di Dewan Pengurus Pusat PDIP, lalu ke PKB dan hengkang ke PPP. Terakhir, ia melepas jabatan Wakil Ketua Majelis Pertimbangan PPP dan memilih jadi komisaris Bank Rakyat Indonesia.
Turunnya Saiful ke Jawa Timur menambah panjang daftar pemain politik nasional yang mengalami degradasi ke panggung daerah. Perintisnya adalah Nur Mahmudi Ismail. Ia menjadi Wali Kota Depok melalui pemilihan kepala daerah 2005. Pada 1999 Mahmudi menjabat Menteri Kehutanan, hingga Presiden Abdurrahman Wahid membongkarnya dari kabinet pada 2001.
Ada juga bekas Menteri Negara Pemuda dan Olahraga era Soeharto, Abdul Ghafur. Ia menang pemilihan Gubernur Maluku Utara pada Juli 2001. Tapi DPRD membatalkan dengan alasan Ghafur main politik uang. Pemilihan ini diulang pada Maret 2002 dan Ghafur dikalahkan Thaib Armaiyn. Ghafur kembali ikut pemilihan Gubernur Maluku Utara pada Sabtu 3 November lalu dengan lawan kuat Thaib. Hingga kini KPU Maluku Utara belum menyelesaikan rekapitulasi. Kubu Ghafur dan Thaib saling mengklaim kemenangan.
Bekas menteri yang kini juga berancang-ancang tanding pemilihan kepala daerah adalah Agum Gumelar. Menteri Perhubungan era Presiden Megawati ini, Sabtu 17 November ini, akan mengumumkan diri menjadi calon Gubernur Jawa Barat. Pemilihan Gubernur Jawa Barat baru berlangsung pada 13 April 2008. Ketua PDIP Jawa Barat, Rudi Harsa Tanaya, telah menetapkan Agum sebagai calon gubernur. Respons pria kelahiran Tasikmalaya 17 Desember 1945 ini tidak gegabah. ”Saya harus mempelajari dulu karakter masyarakat Jawa Barat dan dukungan itu. Saya akan mengambil keputusan jika respons masyarakat kuat,” kata Agum.
Ia ingin memastikan partai telah memberi tiket dalam bentuk surat hitam di atas putih. Ternyata, yang ia lirik, selain PDIP, juga Partai Demokrat, PPP, dan Partai Keadilan Sejahtera. Sumber Tempo mengungkapkan, Agum tidak ingin jadi keledai, mengulang ceroboh seperti dalam pemilihan Gubernur Jakarta lalu. Dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta, Agum gagal mendapatkan dukungan partai.
Padahal, berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia dan Sugeng Saryadi Syndicate, Agum adalah sosok paling terkenal di mata publik Jakarta. Popularitas memang bukan garansi menang tanpa dukungan modal. Survei LSI pada 24-29 September lalu terhadap 820 sampel di seluruh Jawa Barat juga menunjukkan popularitas Agum paling tinggi, 82 persen. Sedangkan Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan 50,5 persen. Danny disebut-sebut calon kuat Gubernur Jawa Barat pilihan Partai Golkar.
Di panggung yang lebih sempit, ada Rano Karno, 47 tahun, dalam pemilihan kepala daerah Kabupaten Tangerang, 20 Januari 2008 ini. Artis fenomenal sinetron Si Doel Anak Sekolahan ini menjadi calon Wakil Bupati Tangerang. Ia berpasangan dengan calon bupati Ismet Iskandar, Bupati Tangerang saat ini. Pasangan ini telah mendeklarasikan pencalonan pada 26 Oktober lalu dan didukung koalisi 15 partai. Di antaranya Partai Golkar, PDIP, PAN, dan PPP.
Rano pernah gagal mendapatkan dukungan partai dalam pemilihan kepala daerah Jakarta. Gus Dur pun menuding Rano menerima suap Rp 3 miliar dari Fauzi Bowo agar tidak maju. Rano menampik karena tidak pernah mundur dalam pemilihan kepala daerah Jakarta. ”Soal suap, silakan cari bukti. Saya tidak pernah menerima uang itu,” katanya. Pemilihan Gubernur Jakarta, kata Rano, menjadi pelajaran baginya. Kasus Jakarta membuatnya kian matang berpolitik.
Anak aktor Soekarno M. Noor ini tak risau dicibir cari-cari jabatan. Ia tak ciut hati pada anggapan turun derajat, jika toh terpilih ”hanya” jadi wakil bupati. Terjun ke gelanggang politik, bagi Rano, adalah metamorfosis hidup. Ia lebih senang mengerjakan hal kecil tapi bermanfaat daripada berada di ruang yang luas tapi tidak berbuat apa-apa. Hal kecil yang ia contohkan, meminta daun rontok untuk dijadikan kompos pada tetangganya di Bumi Karang Indah, Lebak Bulus, Jakarta. Bersama bekas Menteri Kehutanan Jamaluddin Suryohadikusumo yang tinggal sekompleks, Rano membuat gerakan mengumpulkan sampah organik untuk diolah menjadi kompos.
Saiful punya alasan berbeda ihwal ”turun pangkat” ini. Bekas wartawan tabloid Detik ini mengungkapkan, jika akhirnya ikut pemilihan Gubernur Jawa Timur, itu karena memenuhi permintaan kiai. Saiful, mengutip omongan KH Agus Ali Masyhuri, pengasuh Pesantren Bumi Shalawat Tulangan, Sidoarjo. Kata Ali Masyshuri, Saiful adalah orang NU yang digariskan jadi sultan (pemimpin pemerintahan), bukan sunan (wali-pensyiar agama). Ia beranggapan, menjadi sultan (gubernur), apalagi di Jawa Timur, tidak kalah bergengsi ketimbang menteri.
Bagi pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies, Indra J. Piliang, turunnya orang pusat ke daerah adalah buah tersentralnya kaderisasi tokoh di Jakarta. Saat menjumpai ruang gerak berpolitik di tingkat nasional makin sempit, mereka kabur ke daerah. Di sisi lain, partai juga gagal memunculkan sosok kuat di daerah. ”Sehingga orang Jakarta gampang mengambil jatah daerah,” ujarnya. Jadi, semakin banyak figur yang kalah bermain politik di arena nasional, kian deraslah mereka menyerbu daerah.
Sunudyantoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo