Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=verdana size=1>Lobi Politik</font><br />Bersaing Merebut Tujuh Kursi

Dewan Perwakilan Daerah tak meloloskan calon anggota BPK dari partai politik. Hanya karena nilai rendah.

6 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGHADAPI uji calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan, sikap Panitia Ad Hoc IV Dewan Perwakilan Daerah terpecah. Sebagian ingin menolak ikut menguji karena menganggap proses rekrutmen tak transparan. Sebagian lainnya ingin menerima. ”Akhirnya kita voting,” kata Ketua Panitia Ad Hoc IV, Anthony Charles Sunarjo, kepada Tempo, Kamis pekan lalu. ”Kelompok pertama kalah.”

Alasannya, uji kelayakan dan kepatutan calon anggota BPK adalah satu-satunya kewenangan konstitusional—yakni kewenangan memberikan masukan—yang dimiliki DPD. Artinya, kalau DPD tak memberikan penilaian, pemilihan anggota BPK dianggap cacat konstitusi.

Masa tugas tujuh dari sembilan anggota BPK akan selesai pada 20 Oktober 2009. Menurut aturannya, minimal sebulan sebelum purnatugas, penggantinya sudah disiapkan. Dewan Perwakilan Rakyat akan memilih mereka, setelah mendapat pertimbangan DPD.

Ada 51 nama yang bersaing memperebutkan tujuh kursi itu. Dua pekan lalu, mereka menjalani uji kelayakan oleh DPD. Hasilnya, 14 nama direkomendasikan ke DPR. Mereka adalah Syafrie Adnan Baharuddin, Sugiharto, Supomo Prodjohujono, Djoko Susanto, Bambang Pamungkas, Teuku Radja Syahnan, Daeng M. Natsir, Hadi Purnomo, Hening Tyastanto, Soekoyo, Ign. Anindya Wirawan Nugrohadi, Ujang Bahar, Zindar Kar Marbun, dan Otto Sudarmadji.

Tak satu pun peserta seleksi yang berasal dari DPR masuk daftar itu. ”Tidak satu pun yang memenuhi syarat,” kata Ketua DPD, Ginandjar Kartasasmita, di sidang paripurna, Kamis pekan lalu. Padahal sebelumnya beredar kabar, setidaknya tiga atau empat—dari delapan peserta seleksi berstatus anggota Dewan—diprediksi bakal menjadi calon kuat.

Kenyataan ini segera menjadi bahan perbincangan di kalangan anggota DPR. Sumber Tempo menilai, sebab-musababnya adalah ketidakpuasan DPD terhadap sikap DPR. Selama ini, wacana penguatan kewenangan DPD dalam sistem politik bikameral tak kunjung mendapat restu DPR. DPD juga ingin punya kewenangan membuat undang-undang, menyusun anggaran, dan melakukan pengawasan.

Menurut peserta seleksi yang juga anggota Komisi Keuangan DPR, Misbah Hidayat, memang ada vested interested dari DPD dalam isu konflik kewenangan antarlembaga ini. Itu antara lain karena mentoknya pembahasan Rancangan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan maupun amendemen Undang-Undang Dasar 1945 untuk penguatan kewenangan DPD. Belum lagi rencana memindahkan domisili DPD dari Jakarta ke daerah.

Anggota Panitia Ad Hoc IV DPD, Marwan Batubara, membantah kemungkinan itu. Menurut dia, para calon dari DPR itu tak diloloskan karena mereka termasuk kategori pejabat kuasa pengguna anggaran—yang diharamkan ikut seleksi BPK. Mereka yang merencanakan, memutuskan, menggunakan, dan mempertanggungjawabkan anggaran masuk kategori ini. ”DPR kan termasuk yang memutuskan anggaran?” kata Marwan.

Anthony Charles mengatakan, definisi kuasa pengguna anggaran masih bisa diperdebatkan. Menurut dia, pengguna anggaran sebetulnya lebih ditujukan ke pihak pemerintah. Lalu kenapa calon dari DPR tak lolos? ”Ya, karena memang nilai mereka rendah berdasarkan kriteria kami,” kata Anthony. Kriteria yang dimaksud adalah pendidikan, pengalaman, integritas, dan kepemimpinan.

Secara formal, kata Anthony, hanya Erry Riyana dan Taufiequrachman Ruki yang dicoret DPD. Alasannya, keduanya belum genap dua tahun meninggalkan jabatan sebagai komisaris badan usaha milik negara, yang juga dinilai sebagai salah satu kuasa pengguna anggaran.

Ketua Panitia Seleksi Anggota BPK Komisi XI DPR, Walman Siahaan, menolak berkomentar. ”Kami hanya ketawa, tidak bisa kasih komentar,” katanya. Ia menegaskan, rekomendasi DPD bukan sesuatu yang wajib dituruti. ”Kami kan belum membuat penilaian?” katanya.

Agus Supriyanto, Munawwaroh

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus