Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=verdana size=1>Jemaah Haji</font><br />Paspor Haji Cegah Teroris

Mulai musim haji tahun ini jemaah haji Indonesia harus memakai paspor hijau. Benarkah lantaran pemerintah Arab Saudi khawatir disusupi teroris?

6 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GELAK tawa Fuad Hasan Masyhur terdengar renyah pada Jumat sore pekan lalu. ”Delapan bulan lalu saya dianggap neko-neko ketika mengusulkan paspor hijau untuk pergi haji,” kata Direktur Maktour, penyelenggara umrah dan haji. ”Nah, sekarang Departemen Agama belingsatan setelah dipaksa Arab Saudi.”

Kerajaan Arab Saudi, pada akhir 2008, memberikan sinyal agar pemerintah tak lagi menggunakan paspor cokelat yang biasa dipakai jemaah haji. ”Kami sudah mengingatkan agar pemerintah Indonesia memakai paspor hijau yang berlaku internasional,” kata seorang diplomat Arab Saudi. Tapi Menteri Agama Maftuh Basyuni meminta kelonggaran agar hal ini diberlakukan musim haji tahun depan.

Fuad termasuk yang ikut mengingatkan. Dengan paspor hijau, jemaah haji lebih terlindungi, tak terancam deportasi. ”Dengan paspor cokelat kadang jemaah haji tak bisa direct masuk ke Arab Saudi,” kata Fuad. ”Akibatnya, ibadah jadi terganggu dan tak nyaman.”

Tapi benarkah urusan ganti paspor hanya soal kenyamanan? Rupanya tak sesederhana itu. Menurut sumber Tempo di Departemen Agama, ada latar belakang yang lebih serius: Arab Saudi tak ingin disusupi teroris. ”Tuan rumah khawatir momentum haji dijadikan ajang konsolidasi para teroris,” kata sumber ini.

Maka, jika jemaah menggunakan paspor cokelat, bisa gawat. Selain tak bisa online sehingga susah dideteksi, kartu cokelat laksana paspor ini rawan dipalsu. ”Teroris Malaysia bisa pergi haji lewat Klaten dengan nama samaran,” kata sang sumber. Kalau pakai paspor hijau, pasti ketahuan. Paspor dinas yang berwarna biru dari Indonesia juga dicek ulang. Gerai imigrasi di sana mengambil sidik 10 jari dan foto ulang rombongan staf Departemen Agama. ”Itu jelas urusan security,” tutur sang sumber.

Departemen Agama tentu saja kelimpungan. ”Kami minta perpanjangan waktu agar bisa dilaksanakan tahun depan,” kata Abdul Ghafur Djawahir, Sekretaris Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Departemen Agama. ”Tapi ditolak karena semua negara diperlakukan sama.” Penolakan itu tegas dinyatakan dalam sepucuk surat dari pemerintah Arab Saudi yang sampai di meja Menteri Maftuh.

Awal tahun 2009, setelah berkonsultasi dengan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Maftuh mengirim surat ke Menteri Haji Arab Saudi. Tanggal 14 April lalu ada jawaban: Maftuh diundang tuan rumah untuk mengikuti rapat dengan para pejabat di Saudi. Dari serangkaian pertemuan, muncul jawaban: Arab tak mau mengistimewakan Indonesia. Negara lain seperti India, Pakistan, dan Bangladesh juga tunduk.

Keengganan pemerintah mengganti paspor cokelat bukan tanpa alasan. Surat melancong untuk berhaji itu sudah diterapkan sejak zaman kolonial. Bentuknya simpel, jemaah tak perlu mengisi data entry dan exit card. Angkutan dan pemondokan juga tertera di dalamnya. Dari sisi pelayanan, kantor imigrasi di Indonesia menyiapkan 108 titik, sedangkan Departemen Agama ada 260 titik.

Secara yuridis, paspor cokelat dilindungi dua undang-undang, keimigrasian dan haji. ”Jika paspor hijau diterapkan, harus ada peraturan pemerintah pengganti undang-undang,” kata Djawahir. Untuk itulah, imigrasi menyiapkan 230 ribu paspor hijau untuk sekitar 210 ribu calon haji tahun ini.

Departemen Agama serta Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia akan mempermudah persyaratan administrasi. Akta kelahiran, yang tak dimiliki semua warga, bisa diganti foto kopi KTP. Foto diri juga bisa dipindai dari data yang dipunyai Departemen Agama. ”Jadi, data base harus segera dipindah ke imigrasi,” ujar Djawahir.

Hanya, biaya paspor hijau jauh lebih mahal. Ongkosnya Rp 270 ribu, sedangkan paspor cokelat hanya Rp 4.000, yang tak boleh dibebankan sebagai biaya tambahan kepada jemaah. ”Biaya paspor hijau ditanggung pemerintah dari dana optimalisasi departemen,” kata Djawahir.

Namun asal dana itu dibantah Hasrul Azwar dari Komisi VIII DPR. Ia beranggapan bahwa biaya itu diambil dari bunga simpanan jemaah haji yang masuk daftar tunggu. ”Departemen Agama hanya memperhalus istilah,” kata Hasrul. Untuk hemat biaya, wakil rakyat di Senayan minta agar paspor tak dicetak 48 halaman, namun 12 halaman saja. ”Paspor itu harus sudah di tangan sebelum jemaah terbang ke Tanah Suci,” kata Gatot Abdullah, Konsulat Jenderal Jeddah.

Wahyu Muryadi, Dwidjo U. Maksum, Akbar T. Kurniawan, TNR

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus