Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEDUANYA bertemu di pameran batik di Jakarta Convention Center pada April tahun lalu. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman lalu menyapa Ganjar Pranowo, politikus PDI Perjuangan. Setelah saling memperkenalkan istri, Irman menawarkan kemeja batik lasem kepada Ganjar. Secara halus Ganjar menolak.
Berbelas purnama telah lewat, Irman tak menyerah. Kepada Tempo, Kamis pekan lalu, ia menyatakan akan tetap menghadiahkan batik kepada kawannya itu. ”Setelah pembahasan rancangan undang-undang ini selesai, saya akan mengirim batik ke Mas Ganjar,” katanya. Yang dia maksud adalah Undang-Undang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ganjar adalah ketua panitia khusus yang merancang undang-undang itu. Adapun Irman ketua tim DPD untuk pembahasan rancangan undang-undang tersebut. Dari lembaganya, ia memimpin 13 anggota.
”Politik batik” ala Irman tentu bukan tak punya tujuan. Ada sejumlah aspirasi para senator yang dibawa Irman agar dibicarakan oleh panitia khusus. Satu di antaranya adalah keinginan para senator untuk tetap berkedudukan di Ibu Kota seperti saat ini, namun memiliki kantor perwakilan di daerah. Sebelumnya, DPR ngotot agar para senator berkantor di daerah pemilihan masing-masing.
Irman gencar mendekati pimpinan dan anggota panitia khusus, termasuk mengunjungi semua ketua fraksi di Gedung Nusantara I, DPR. Lobi juga, ”Dilanjutkan dengan makan siang atau makan malam,” katanya. Para ketua partai juga disambangi. ”Semua ketua, kecuali Megawati dari PDI Perjuangan, sudah didatangi,” kata Irman.
Pendekatan kepada Partai Banteng Gemuk, Irman bercerita, dilakukan melalui Taufiq Kiemas, Ketua Dewan Penasihat Pusat PDI Perjuangan. Lobi ini dilakukan dengan melibatkan para anggota Dewan Perwakilan Daerah yang berafiliasi dengan partai itu. Muspani, anggota DPD dari Bengkulu, mengaku dua kali membawa sekitar 40 anggota DPD untuk datang ke kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta, pertengahan bulan lalu. Dalam acara yang didahului makan malam itu, Taufiq berjanji mendukung penguatan posisi DPD dalam batas-batas yang diatur oleh konstitusi.
Lobi juga dilakukan antarpimpinan DPR dan DPD. ”Bulan lalu, Ketua DPR Pak Agung Laksono yang mentraktir kami makan siang di Hotel Sultan,” kata Irman. Saat itu juga hadir Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita. Upaya lobi ini juga berlanjut dengan mendekati pemerintah, seperti Menteri Dalam Negeri Mardiyanto dan Direktur Jenderal Pemerintahan Umum Departemen Sodjuangan Situmorang, sebagai mitra dalam pembahasan.
”Saya seringnya mengundang makan di rumah makan Kembang Goela di Jalan Sudirman,” kata Irman. Lobi makan siang dan malam juga dilakukan 2-3 kali dengan Ganjar Pranowo, baik di Hotel Mulia maupun JW Marriott. ”Saya juga pernah makan bersama di Marriott,” kata Farhan Hamid, anggota panitia khusus dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Di lain kesempatan, La Ode Ida, Wakil Ketua DPD, ikut ”melunakkan” Ganjar Pranowo ketika keduanya bertemu dalam acara diskusi JakTV.
Adalah Farhan Hamid—anggota DPR yang bakal masuk DPD pada 2009-2014 mewakili Nanggroe Aceh Darussalam—yang mengusulkan agar para senator berdomisili di daerahnya masing-masing sekaligus berkantor di sana. Menurut dia, ini dilakukan agar para senator aktif menjaring masukan dari masyarakat yang diwakilinya. Setelah aspirasi terkumpul, para senator dapat bersidang di gedung DPD, Senayan. Dana pembangunan kantor para senator di tiap provinsi akan diambil dari anggaran negara.
Menurut Irman, usul agar DPD berkantor di daerah dan bersidang pada waktu tertentu di ibu kota negara akan memakan biaya. Ongkos transpor ke Jakarta, sewa kantor, biaya operasional, dan gaji staf diperkirakan Rp 155 juta per orang per tahun. Dikalikan 132 senator, per tahun ada tambahan pengeluaran Rp 20,5 miliar. Saat ini anggaran DPD per tahun sekitar Rp 400 miliar.
Soal ini, pemerintah sempat menolak dengan alasan tak ada duit. Farhan menyergah. ”Saya bilang, yang memutuskan anggaran adalah DPR, bukan pemerintah,” katanya. Tatkala dihubungi untuk dimintai konfirmasi, Sodjuangan tidak menjawab panggilan telepon genggamnya. Namun, dalam draf rancangan undang-undang per akhir Juni, posisi pemerintah soal ”kantor” itu adalah ”akan berkonsultasi dengan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara”.
DEWAN Perwakilan Daerah juga menuntut agar dilibatkan dalam panitia khusus pembahasan undang-undang—meski tak bisa mengambil keputusan dalam rapat. Ini terutama dilakukan dalam pembahasan undang-undang yang menyangkut daerah seperti undang-undang otonomi atau undang-undang sumber daya alam.
Ide itu sempat menuai protes dari kebanyakan fraksi. ”Tapi akhirnya bisa diterima,” kata Ganjar. Menurut Untung Wahono, politikus dari Partai Keadilan Sejahtera, keterlibatan DPD dalam rapat pembentukan undang-undang bisa membuat pembahasan bertele-tele. ”Tapi nanti lihat saja, deh,” kata dia.
Menurut Irman, kewenangan itu sesuai dengan konstitusi pasal 22 mengenai kewenangan DPD. Ganjar berharap, tim yang mewakili DPD dalam rapat pembentukan undang-undang cukup representatif sehingga saran yang diberikan dalam pembahasan undang-undang disetujui anggota DPD lainnya.
Menurut Irman, meski nantinya DPD akan dilibatkan dalam pembahasan sejumlah rancangan undang-undang, dalam pembahasan rancangan undang-undang lembaganya justru tidak dilibatkan secara intensif. ”Kami ikut di awal saja, saat menyerahkan draf versi kami,” katanya. Itu sebabnya, baik Irman maupun Muspani sudah pasang kuda-kuda jika rancangan undang-undang itu nantinya dianggap menggembosi kepentingan DPD. ”Kami siap untuk melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,” kata Irman.
Budi Riza
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo