Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA jam sebelum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato, Selasa pekan lalu, tempat itu hanyalah kafetaria kecil. Mahasiswa aneka warna kulit duduk di meja-meja bundar, membuka laptop, membolak-balik halaman buku, ramai berdiskusi sambil menyeruput kopi dan mengunyah penganan. Menjelang akhir musim rontok di Kota Boston itu, busana pun meriah: terlihat mahasiswa bercelana pendek dan T-shirt. Mereka tak terusik rombongan pendahuluan Presiden Indonesia yang datang dengan jas dan dasi.
Lantai pertama ruangan segi enam itu sanggup menampung sekitar 400 orang. Dua mezzanine di antara gedung bertingkat tiga itu bisa ditempati jumlah orang yang sama. Tempat bersahaja ini mendadak disulap. Tabir merah pembatas ruangan dipasang. Lampu sorot dinyalakan. Kursi lipat diatur. Sebelum acara berlangsung, Secret Service meminta semua yang ada di ruangan keluar—termasuk anggota pasukan pengaman Presiden Yudhoyono.
Ruangan ”seadanya” itu merupakan markas John F. Kennedy Jr. Forum, arena diskusi politik paling bergengsi di dunia, yang dibentuk pada 1978. Letaknya di Institut Politik, jurusan pemerintahan Kennedy School, Universitas Harvard, universitas tertua dan paling kesohor di Amerika Serikat. Lebih dari seratus pemimpin negara, tokoh bisnis, buruh, media, dan artis berbicara dan berdebat. Di sana pernah hadir penerima Nobel Muhammad Yunus, bekas presiden Iran Mohammad Khatami, Menteri Luar Negeri wanita pertama Amerika Madeleine K. Albright, dan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon.
Presiden Yudhoyono berbicara hampir satu jam—termasuk menjawab tujuh pertanyaan. Yang mendampingi Yudhoyono adalah ketua jurusan Kennedy School, David Ellwood, yang beberapa kali menjadi ”penerjemah” pertanyaan mahasiswa yang bahasa Inggrisnya terdengar seperti ”orang berkumur” bagi telinga Indonesia. Di akhir sesi, standing ovation diberikan untuk SBY.
Pidato Presiden Yudhoyono berjudul Towards Harmony Among Civilizations rupanya dimaksudkan menjawab pidato New Beginning Presiden Obama di Universitas Kairo pada awal Juni lalu. ”Pidato Obama itu kaya ide segar, ide ke depan, merupakan salah satu pidato terbaik,” kata Yudhoyono di atas pesawat kepresidenan dalam perjalanan menuju Amerika. ”Kalau teror dan kekerasan bisa disingkirkan, mimpi damai Obama bisa diwujudkan.”
Maka presiden keenam Indonesia itu mengajukan sembilan tindakan yang harus diambil warga dunia menuju keharmonisan antarperadaban. Mengapa sembilan? ”Ini agak personal. Sembilan adalah angka keberuntungan saya,” ujar Yudhoyono di panggung, yang disambut tawa hadirin—termasuk Kapten Agus Harimurti, putra sulung Yudhoyono, yang setahun ini kuliah di Kennedy School.
Pidato ini dirintis sejak Juli lalu. Gita Wirjawan, 43 tahun, bekas orang nomor satu perusahaan investasi JP Morgan dan pemilik perusahaan di bidang sumber daya dan pertambangan Ancora Capital, merupakan penggagasnya. Sarjana dan master bisnis administrasi Kennedy School ini menjadi anggota dewan ketua jurusan (dean council) Kennedy School.
Menjelang Lebaran, Presiden Yudhoyono kemudian memanggil Profesor Nasaruddin Umar, Direktur Jenderal Bimas Islam, yang kerap memberikan masukan soal Islam kepada Presiden. ”Kami banyak berdiskusi soal hubungan Islam dengan demokrasi, dengan Barat, dengan hak asasi manusia,” ujar Nasaruddin, yang juga ikut ke Boston.
Menjelang berangkat, Yudhoyono sudah punya pokok-pokok pikiran dalam draf tiga halaman, kemudian menambahkan beberapa catatan. Dino Patti Djalal, juru bicara Presiden soal internasional, selanjutnya merapikan draf itu. Sehari menjelang pidato dibacakan, Nasaruddin kembali menambahkan nama-nama Islam yang disebut Presiden Yudhoyono sebagai inspirator dunia Islam masa kini—antara lain Muhammad Yunus, Orhan Pamuk, dan pebasket Hakeem Olajuwon. Tadinya Yudhoyono ingin berbicara utuh 40 menit, tapi ia akhirnya bisa menerima sesi tanya-jawab yang ”wajib” dalam forum itu.
Menurut Nasaruddin, pikiran Yudhoyono tentang peran Islam dan peradaban dalam pidato itu akan dikembangkan dan diterbitkan dalam buku setebal 450 halaman. Temanya ”Islam Rahmatan Lilalamin: Perspektif SBY”. ”Ini pemikiran utuh SBY. Dulu Perdana Menteri Malaysia Badawi juga punya Islam Hadhari,” Nasaruddin menambahkan.
Tanggapan terhadap pidato SBY beragam. ”Kalangan Harvard menilai SBY di atas ekspektasi mereka,” kata Gita Wirjawan. Profesor Byron Good, yang juga mengajar di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan Profesor Cecilya, ahli kesenian Jawa, memberi nilai 10. Tapi seorang mahasiswi asal Cina, yang mengaku kepada Tempo bernama Yung, memberi nilai 6. ”Dalam tanya-jawab dia agak tersendat-sendat,” begitu alasan Yung.
Toriq Hadad (Boston)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo