Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUJUH anggota Dewan Perwakilan Daerah itu sumringah keluar dari lantai tujuh Wisma Bakrie 1, Kuningan, Jakarta Selatan. Mereka baru saja satu setengah jam diterima pemilik gedung, Aburizal Bakrie. ”Responsnya positif,” kata John Pieris, anggota Dewan yang memimpin rombongan.
John didampingi anggota lain, di antaranya Bambang Soeroso, Wahidin Ismail, Anna Latuconsina, dan Yuniwati. Mereka membawa misi penting: melobi Partai Beringin agar mendukung usul amendemen Undang-Undang Dasar.
Aburizal, pemimpin partai yang memiliki kursi terbanyak kedua di Dewan Perwakilan Rakyat, didampingi antara lain Idrus Marham, Agung Laksono, dan Hajriyanto Y. Thohari. ”Kami akan membentuk tim bersama,” kata John, yang memimpin tim kerja materi perubahan UUD.
Dari naskah yang disusun tim Dewan Perwakilan Daerah, sebagian besar usul perubahan bertujuan memperkuat fungsi lembaga itu. Misalnya, pasal 7B yang menyebutkan pemberhentian presiden diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat ditambah menjadi ”oleh DPR dan/atau DPD”.
Amendemen juga memperkuat sistem presidensial, seperti pasal 14 mengenai pemberian grasi, abolisi, dan amnesti. Klausul bahwa presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR dihapus.
Meski banyak perubahan yang diusulkan, satu bagian yang paling menantang adalah ketentuan pencalonan presiden yang tidak hanya bisa dilakukan partai politik. Dewan Perwakilan Daerah mengusulkan adanya calon perorangan, seperti yang telah diterapkan pada pemilihan kepala daerah saat ini. ”Perubahan pasal ini butuh kerja keras,” kata John. Ia menduga partai-partai bakal mengganjal usul ini.
Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman menambahkan, pencalonan perorangan bisa memperkuat sistem kepartaian. Sebab, katanya, akan muncul persaingan sehat. ”Ini bukan antipartai. Justru menyehatkan partai-partai.”
Usul agar dibuka pencalonan perorangan mulai bergulir pada 2007. Setahun kemudian, aktivis Fadjroel Rachman dan kawan-kawan mengajukan hak pengujian Undang-Undang Pemilihan Presiden ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan ditolak karena konstitusi memang mengatur calon presiden hanya bisa diajukan partai politik.
Pada periode kepemimpinan Ginandjar Kartasasmita, kata Irman, Dewan Perwakilan Daerah mulai membahas perubahan aturan itu. Tapi, baru pada periode 2009, lembaga itu membentuk tim khusus amendemen. Tim mendengarkan masukan dari para ahli, praktisi, perwakilan pemerintah, hingga jurnalis, dan menghasilkan draf naskah usul perubahan.
Sesuai dengan dugaan, partai-partai langsung pasang barikade. Meski John Pieris menyatakan Aburizal memberi ”respons positif”, di lapangan kenyataan berbeda. Aburizal berpendapat calon perorangan bisa merusak demokrasi. ”Perlu dicari cara agar jangan sampai hanya menyenangkan hati rakyat,” katanya dalam rapat koordinasi nasional partainya.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan juga menaruh curiga. ”Seperti apa bentuk calon independen yang tidak mengorganisasi massa ini?” kata Megawati Soekarnoputri. Adapun Puan Maharani, putri Megawati yang menjabat ketua bidang politik, menanyakan, ”Kenapa harus ada calon independen?”
Tim Dewan Perwakilan Daerah juga telah menemui Partai Hanura dan Partai Kebangkitan Bangsa. ”Mereka tak sepakat,” ujar John. ”Mungkin tidak sekarang. Bisa merusak sistem yang sudah dibangun,” kata Marwan Ja’far, Ketua Partai Kebangkitan Bangsa, yang hadir dalam pertemuan.
Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum lebih bersifat terbuka. ”Hadirnya calon perorangan berpotensi menyempurnakan kompetisi demokratik,” ujarnya. Partai Persatuan Pembangunan tegas mendukung. ”Secara substansi kami mendukung,” kata Lukman Hakim Saifuddin, ketua partai ini.
Tito Sianipar, Mahardika, Febriyan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo