Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=1 color=#FF9900>DEWAN PERWAKILAN RAKYAT</font><br />Kebaya Gagal pada Hari Pelantikan

Komisi Pemilihan Umum menganulir anggota Dewan terpilih dari Hanura. Siap melaporkan ke polisi.

12 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEWIE Yasin Limpo sudah siap dengan kebayanya sejak pagi. Sambil berdandan, ia sibuk bertelepon dan berkirim pesan pendek. Calon anggota legislatif dari Partai Hanura itu berharap masih bisa menghadiri acara pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 1 Oktober lalu.

Keponakannya, Indira Chunda Thita Syahrul, sudah lebih dulu ada di gedung DPR/MPR. Ia terpilih dari Partai Amanat Nasional daerah pemilihan Sulawesi Selatan I—daerah yang juga tempat Dewie berlaga. Indira memberitahukan nama Dewie ada dalam buku biodata anggota DPR 2009-2014. ”Saya masih berharap KPU memberikan undangan,” kata Dewie.

Tapi undangan tak kunjung datang. Dewie juga tak menerima penjelasan apa pun dari KPU. Ia lunglai ketika sejumlah stasiun televisi sudah menayangkan acara pelantikan. Dewie mengganti kebayanya dan memasukkannya kembali ke lemari. Sekitar 20 orang yang diboyong dari Sulawesi Selatan urung mengantarnya ke Senayan.

Dewie merasa kursi DPR adalah miliknya. Itu juga yang disuarakan sejumlah orang yang menamakan diri Front Pemuda Sulawesi Selatan. Rabu pekan lalu, mereka menggelar unjuk rasa di depan Mahkamah Konstitusi, menuntut pengembalian kursi adik Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo ini. Mereka juga menuntut penyelidikan surat palsu dari Mahkamah Konstitusi ke KPU itu.

Dalam pemilu legislatif, Hanura gagal meraih kursi di Sulawesi Selatan I. Partai itu lalu mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, 6 Mei lalu, karena menduga ada penggelembungan suara. Juni lalu, Mahkamah mengabulkan permohonan Hanura dan menyatakan ada perubahan jumlah suara di Kabupaten Gowa, Takalar, dan Jeneponto.

Pada 14 Agustus, KPU meminta penjelasan tentang perolehan suara di Sulawesi Selatan setelah keputusan Mahkamah. Hari itu juga KPU menerima faksimile berkop serta stempel Mahkamah Konstitusi yang ditandatangani panitera Zainal Arifin Hoesein.

Surat penjelasan Nomor 112/PAN.MK/VII/2009 menyatakan ada penambahan 22.661 suara Partai Hanura dari Kabupaten Gowa, Takalar, dan Jeneponto. Dengan penambahan itu, Hanura mendapat satu kursi, menggeser Gerindra.

Mahkamah mengeluarkan surat serupa dengan nomor yang sama pada 17 Agustus 2009. Susunan kalimatnya juga sama. Bedanya, surat ini menyatakan 22.661 itu bukan penambahan, tetapi total suara Hanura di Gowa, Takalar, dan Jeneponto.

Rapat pleno KPU mengumumkan calon terpilih dari Sulawesi Selatan pada 2 September. Mereka mengacu pada surat Mahkamah tanggal 14 Agustus. Dewie dipastikan melenggang ke Senayan.

Gerindra, yang merasa dirugikan, mengadu ke Mahkamah Konstitusi. Panitera Mahkamah, Zainal Arifin, mengatakan utusan Gerindra itu mempertanyakan keputusan KPU yang tak sesuai dengan amar Mahkamah.

Setelah menerima pengaduan itu, Zainal melaporkan ke Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. Rapat hakim konstitusi menyatakan bahwa surat 14 Agustus itu palsu dan isinya tak sesuai dengan amar keputusan. Menurut dia, Mahkamah tak mungkin mengirim surat balasan pada hari yang sama ketika KPU meminta penjelasan. ”Wong, faksimile kami terima sudah malam,” kata Zainal.

Ia mengatakan Mahkamah selalu mengetik nomor serta tanggal surat, bukan ditulis tangan seperti versi palsu. Mahkamah mengirim surat penegasan kepada KPU pada 11 September lalu. Surat itu menyatakan penjelasan melalui faksimile tanggal 14 Agustus adalah palsu.

Ketua Komisi Pemilihan Abdul Hafiz Anshary mengatakan, surat penegasan serta konfirmasi dari Mahkamah itu menganulir kursi Hanura. Satu kursi di Sulawesi Selatan I menjadi milik Mestariyani dari Gerindra.

Hafiz mengatakan penyelidikan surat palsu menjadi urusan Mahkamah. Sedangkan panitera Zainal mengatakan Mahkamah sudah menyelesaikan perkara ini melalui surat klarifikasi. ”Kami tidak punya kepentingan,” kata Zainal. ”Yang punya kepentingan KPU.”

Kehilangan satu kursi membuat Ketua Umum Hanura, Wiranto, menyurati kedua lembaga itu. Dalam suratnya Wiranto mendesak penyelidikan tuntas terhadap surat palsu tersebut. Menurut dia, pembatalan kursi Dewie mestinya baru dilakukan setelah pemeriksaan polisi memastikan surat tersebut palsu.

Dewie mendesak panitera Mahkamah diselidiki. Ia akan melaporkan kasus ini ke kepolisian. Apalagi foto dan biodatanya masih tercantum dalam buku profil anggota Dewan yang diterbitkan KPU. ”Saya yakin masih ada peluang,” kata Dewie.

Oktamandjaya Wiguna, Yandi M.R.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus