Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=1 color=#FF9900>IBU KOTA BANGGAI</font><br />Berebut Ibu Banggai

Penentuan ibu kota Kabupaten Banggai Kepulauan berlarut-larut. Diselesaikan dengan pemecahan wilayah.

12 Januari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA ribuan orang memadati alun-alun Kota Banggai, Sulawesi Tengah, pada malam pergantian tahun. Band dan tarian modern memeriahkan pesta yang digelar tepat di Keraton Banggai ini. Bagaikan acara televisi, di sela-sela hiburan ini muncul pesan politik.

Di atas panggung, Rahmad Ibaad, panitia penyambutan Tahun Baru, berorasi. ”Tidak ada pilihan: Ibu kota kabupaten harus di Banggai,” anggota Sekretariat Kerajaan Banggai itu memekik. ”Kalau tidak, kita akan tetap memboikot pemerintah.” Tiga tokoh masyarakat juga meneriakkan hal yang sama.

Sudah dua tahun penduduk Pulau Banggai, pulau kedua terbesar di kabupaten ini setelah Peling, menolak membayar berbagai pajak dan retribusi. Mereka pun ogah memasang pelat nomor berkode DN pada mobil atau sepeda motor. Polisi mendiamkan saja anak-anak muda yang bersepeda motor tanpa nomor dengan knalpot meraung-raung.

Menurut Iskandar Zaman, Tomundo (Raja) Keraton Banggai, boikot dilakukan 64 ribu penduduk buat memprotes pemindahan ibu kota kabupaten dari Kota Banggai ke Salakan pada 2006. Ibu kota baru Banggai Kepulauan ini berlokasi di Pulau Peling. Pulau Peling dihuni sekitar 160 ribu orang, mayoritas pendatang dari berbagai daerah di Sulawesi dan Maluku.

Akibat boikot ini, kantor-kantor pemerintah kabupaten di Kota Banggai rusak tak terurus. Kompleks kantor bupati seluas satu hektare di Jalan Jogugu Zakaria ditumbuhi ilalang. Coretan memenuhi dinding, antara lain berbunyi: ”Gubernur Pengecut.” Sebelas kantor pemerintah lainnya juga terbengkalai.

Kisruh ini berawal dari keputusan memecah Kabupaten Banggai menjadi Kabupaten Banggai di daratan dan Kabupaten Banggai Kepulauan. Pemecahan ini diatur dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999. Menurut undang-undang ini, ibu kota Kabupaten Banggai Kepulauan adalah Kota Banggai. Namun, di pasal yang lain juga diatur: ibu kota dipindahkan ke Salakan lima tahun setelah undang-undang disahkan.

Pada Oktober 2006, setelah terpilih menjadi bupati, Irianto Malinggong berupaya memindahkan ibu kota ke Salakan. Sebelumnya ia lebih dulu berkonsultasi dengan Departemen Dalam Negeri di Jakarta. Pulang ke Banggai, ia mendapat murka masyarakat.

Irianto, yang hendak turun dari kapal, menyaksikan kerumunan orang yang marah mengenakan ikat kepala merah. Sebagian membawa parang dan bom ikan. Massa mendesak sang bupati agar pergi saja ke Kota Salakan, tempat asal Irianto. Melihat kondisi ini, polisi tidak bisa memberikan jaminan keamanan. Irianto berangkat ke Salakan. Administrasi pemerintahan sementara dijalankan dari rumahnya.

Masyarakat lalu membentuk Forum Mandopolian Banggai Bersatu, yang deklarasinya berlangsung di Keraton Banggai. Mereka bertekad mempertahankan ibu kota tetap di Kota Banggai. Para anggota forum menutup kantor-kantor pemerintah. ”Tercatat 60 komputer dan sebelas mobil dinas direbut massa,” kata Ismed Samsuddin, bekas pengurus Forum. Mobil-mobil itu sekarang teronggok di garasi rumah kepala dinas bupati dan wakil bupati.

Ismed bercerita, suatu saat seorang pegawai pemerintah kabupaten mencoba menyeberangkan mobil dinas ke Salakan dengan pengawalan polisi dan tentara. Namun massa menghadang di sepanjang garis pantai Pulau Banggai. Penyeberangan mobil ini gagal.

Kisruh memuncak ketika polisi berupaya membuka kembali kantor-kantor pemerintah yang disegel massa pada Februari 2007. Polisi menembak demonstran, empat orang tewas dan 21 orang lainnya terluka. Kini pengelolaan kota dilakukan oleh Kapitan Kota, sebuah perangkat di bawah kendali Tomundo, sang Raja.

Menurut Iskandar Zaman, warga pernah mengajukan gugatan keabsahan pasal yang mengatur pemindahan ibu kota itu ke Mahkamah Konstitusi. Namun Mahkamah memutuskan bahwa pasal itu sah sesuai dengan konstitusi. Pada Desember tahun lalu, Iskandar mengatakan sempat bertemu dengan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto. ”Terserah solusi pemerintah pusat,” kata dia.

Menurut seorang tokoh setempat, konflik ini juga memiliki nuansa lain. Menurut dia, wilayah Banggai daratan dan Banggai Kepulauan dulu diperintah oleh Keraton Banggai. Kerajaan ini berpusat di Kota Banggai, yang menurut Ketua Adat Banggai Hemsen B. Kuat sudah berdiri sejak 900 Masehi.

Kerajaan ini dibangun oleh seorang pria Jawa bernama Adi Soko, yang lantas kerap dipanggil Adi Cokro. Ia mempersatukan empat kerajaan di Banggai Kepulauan yang kerap berperang. Setelah menyatu, mereka menggunakan simbol Merah-Putih. Bendera ini sekarang berkibar di banyak tempat di Kota Banggai.

Menurut sang tokoh, nuansa etnis ini juga ikut mewarnai pro-kontra soal letak wilayah ibu kota. ”Salakan itu kan dulu wilayah kekuasaan Keraton Banggai, kok sekarang mau dijadikan ibu kota,” kata sumber ini. Kebanyakan penduduk di Salakan adalah pendatang, berbeda dengan warga Kota Banggai yang merupakan penduduk setempat.

Menurut Iskandar Zaman, secara umum masyarakat Banggai dan Salakan memiliki etnisitas serupa. Itu sebabnya, ia menyayangkan penentuan lokasi ibu kota kabupaten ini mengganggu hubungan yang sudah membaur selama ini. ”Saya minta ketegasan pemerintah,” kata dia. Seorang tokoh masyarakat Banggai, Faisal Baharuddin, menilai pemecahan kabupaten ini bisa menjadi solusi.

”Saat ini sedang digagas pembentukan Provinsi Sulawesi Timur, yang juga menaungi Banggai Kepulauan,” kata Faisal. Provinsi baru ini akan terdiri atas Morowali, Kabupaten Banggai (daratan), dan pemecahan Kabupaten Banggai Kepulauan.

Menurut anggota Komisi Pemerintahan Bidang Otonomi Daerah Dewan Perwakilan Rakyat, Djazuli Djuwaini, masalah ini bisa diselesaikan dengan pemecahan Kabupaten Banggai Kepulauan menjadi dua: Banggai Laut dengan ibu kota di Kota Banggai, dan Banggai Kepulauan dengan ibu kota di Salakan. ”Ini akan dibahas setelah reses selesai pada awal Januari ini,” katanya.

Tentang kisruh ini, Bupati Irianto Malinggong mengatakan, keadaan mulai membaik. Warga sudah kembali memasang pelat nomor polisi dan membayar pajak. Soal pemecahan wilayah, Irianto mengatakan secara prinsip sudah disetujui Komisi Pemerintah Dewan Perwakilan Rakyat. ”Desember lalu Komisi sudah datang berkunjung,” katanya.

Irianto mengaku akan membentuk kecamatan baru untuk memenuhi syarat pembentukan kabupaten baru, yaitu memiliki lima kecamatan. Ia menganggap, pemecahan wilayah menjadi dua kabupaten merupakan solusi terbaik. ”Daripada kita rebutan ibu kota.” Namun, menurut juru bicara Departemen Dalam Negeri Saut Situmorang, pembentukan wilayah pemerintahan baru bisa dilakukan setelah Pemilihan Umum 2009.

Budi Riza, Darlis Muhammad, Sahala Lumbanraja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus