Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI atas mobil polisi, Gubernur Jawa Timur Soekarwo menenangkan pengunjuk rasa. Ratusan mahasiswa dan buruh tumplek di pelataran gedung negara Grahadi, memprotes kinerja 100 hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Kamis pekan lalu. Dialog antara Gubernur dan massa ternyata melebar. Seorang mahasiswa bertanya, ”Kasus fee Bank Jatim saja belum tuntas, mana bisa menyelesaikan masalah bangsa.”
Soekarwo terkesiap. Katanya, fee dari bank yang diributkan itu dilakukan sesuai dengan prosedur bank dan dipakai untuk kepentingan daerah. ”Semua ada aturannya.” Gubernur sempat turun panggung dan meminta pengunjuk rasa menyerahkan tuntutan tertulis.
Soal fee Bank Pembangunan Daerah memang sedang ramai dibicarakan di Jawa Timur. Soekarwo dipersoalkan karena menerima fulus dari Bank Jatim—sebagai imbalan karena menyimpan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah di bank itu. Sejatinya pemerintah Jawa Timur adalah salah satu pemegang saham Bank Jatim. Tapi desas-desus menyebutkan duit itu dipakai Soekarwo untuk membiayai kampanye ketika ia mencalonkan diri menjadi gubernur tahun lalu.
Menurut Soekarwo, fee dari bank besarnya satu persen dari dana yang ditanam pemerintah. Bank Indonesia, kata dia, pernah membolehkan pemberian fee pada 1998. Tapi pada Oktober 2005 peraturan itu dicabut. Selain kepada pemerintah provinsi, fee serupa juga diberikan kepada pemerintah kabupaten dan kota di seluruh Jawa Timur. Kata Soekarwo, semua fee dipakai untuk membiayai kegiatan daerah. Soal duit itu masuk kantong pribadi, ia menyangkal. ”Fee itu dihentikan pada 2005, sedangkan pemilihan gubernur pada 2009.”
Adalah Komisi Pemberantasan Korupsi yang mempersoalkan duit haram itu pada awal Januari lalu. Komisi menemukan adanya praktek pemberian honor dari Bank Pembangunan Daerah langsung ke kantong pribadi pejabat. Suap diberikan karena pemerintah daerah menempatkan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah di bank tersebut. ”Bentuknya uang dan fasilitas lain,” kata Haryono Umar, Wakil Ketua Komisi Bidang Pencegahan.
Dari enam bank daerah selama 2004-2008 saja, Komisi menaksir honor yang mengalir ke kocek pejabat mencapai Rp 360 miliar. Bank daerah yang memberikan honor terbesar adalah Bank Jabar-Banten (Rp 148,287 miliar), Bank Jatim (Rp 71,483 miliar), Bank Sumut (Rp 53,811 miliar), Bank Jateng (Rp 51,064 miliar), Bank Kaltim (Rp 18,591 miliar), dan Bank DKI (Rp 17,075 miliar).
Haryono mengatakan, langkah pencegahan merujuk pada sejumlah aturan seperti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 tentang pengelolaan Keuangan Daerah. ”Setiap kepala daerah dilarang menerima rabat dan upeti dari siapa pun,” katanya. ”Uang negara tidak boleh digunakan untuk memperkaya diri sendiri”.
Bank Pembangunan Daerah didirikan melalui Undang-Undang Nomor 13/1962 tentang Ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah. Aturan teknisnya ada dalam peraturan daerah yang bersangkutan. Di Jawa Timur, misalnya, soal ini diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 2/1976 tentang Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur.
Undang-undang serta peraturan daerah tak menyebutkan soal honor bagi pejabat. Dalam undang-undang, laba bersih dipakai untuk pembangunan daerah besarnya 15 persen. Laba juga dibagikan kepada pemilik saham, cadangan umum, dan sisanya untuk sumbangan dana pensiun serta untuk pegawai, pendidikan, dan jasa produksi.
Meski aturannya samar-samar, sejumlah pejabat di daerah mengaku menerima honor dari bank. Bupati Kabupaten Semarang Siti Ambar Fathonah mengatakan menerima uang dari Bank Jateng ketika menghadiri rapat umum pemegang saham Bank Jateng, yang digelar satu tahun dua kali. Kabupaten Semarang memang memiliki 1,35 persen saham di Bank Jateng. Ambar menerima Rp 9,5 juta setiap menghadiri rapat umum pemegang saham. ”Kalau diminta mengembalikan, ya saya kembalikan,” kata Ambar.
Direktur Utama Bank Jateng Hariyono mengatakan, bank pernah memberikan honor kepada pejabat provinsi, kabupaten, dan kota sekitar Rp 38 miliar selama 2002-2005. Menurutnya, fee itu diberikan sebagai ucapan terima kasih kepada pejabat karena berjasa memberi modal kepada Bank Jateng. ”Yang bantu kita, ya kita kasih,” kata Hariyono.
Di Jawa Barat, honor juga mengalir ke sejumlah pejabat. Direktur Dana dan Jasa PT Bank Jabar-Banten, Tatang Sumarna, mengatakan bahwa banknya pernah memberikan fee bagi pejabat daerah sebagai ucapan terima kasih karena penyimpanan kas daerah. Menurut dia, Bank Jabar-Banten memberikan fee pada 2002-2006. Setelah itu, tak ada lagi.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyatakan pemberian honor tak dilarang oleh Bank Indonesia. Katanya, bank sentral hanya mengimbau Bank Pembangunan Daerah agar tak membayar lagi honor kepada kepala daerah. ”Honor bukan termasuk korupsi,” ujarnya kepada wartawan Tempo Pramono.
Menurut Gamawan honor berbeda dengan fee. Menurut dia, kepala daerah boleh menerima honor dari Bank Pembangunan Daerah karena merupakan pemegang saham. Selain itu, pejabat daerah juga ikut menentukan kebijakan bank tersebut. Gamawan mengatakan hanya fee yang masuk ke kantong pribadilah yang disebut korupsi.
Bank Indonesia pernah mengeluarkan Surat Keputusan Direksi Nomor 31/32/KEP/DIR pada 29 Mei 1998 tentang penjaminan atas simpanan pihak ketiga dan pasar uang antarbank. Dalam surat keputusan itu disebutkan bank diperkenankan memberikan honor setelah menerima simpanan pihak ketiga. Tapi, setelah reformasi, Bank Indonesia mengeluarkan imbauan agar semua bank tak memberikan insentif dan hadiah. Peraturan itu merujuk pada aturan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .
Direktur Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat Bank Indonesia, Dyah Makhijani, mengatakan Bank Indonesia telah mengeluarkan dua surat pada Oktober 2005 dan Juli 2009, yang intinya mengimbau bank agar tak memberikan hadiah kepada penyelenggara negara. Kalau ada yang melanggar, ”Itu domain Komisi Pemberantasan Korupsi”.
Haryono mengatakan, masih ada 20 bank daerah lain yang berpotensi memberikan honor ke kantong pribadi pejabat. ”Kami mengimbau pejabat mengembalikan uang tersebut,” katanya.
Yandi M.R. (Jakarta), Fatkhurrahman Taufiq (Surabaya), Rofiuddin (Semarang), Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo