Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=1 color=#FF9900>TERORSIME</font><br />Senjata Karatan Generasi Kedua

Teroris menembaki polisi di Palu. Senjatanya diduga berasal dari polisi.

30 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TURUN dari RX King dan Jupiter Z, dua pria bercadar itu langsung mengacungkan senapan ke tiga polisi yang berjaga di depan Bank BCA Cabang Palu, Sulawesi Tengah. Dua pria lain berhelm tertutup menunggu di atas motor.

Ketiga polisi yang kaget sempat meminta mereka menurunkan senjata. Tak ada ampun, kedua pria bercadar justru menghujani polisi dengan peluru.

Dewi, yang baru menyetor uang ke bank, sempat berpikir peristiwa Rabu siang pekan lalu itu perampokan. Ia baru membuka pintu keluar bank ketika melihat pria bercadar menembaki polisi. ”Setelah menembak, mereka malah pergi,” kata Dewi.

Sebelum kabur ke arah Poso, di tenggara Palu, salah seorang penembak menghampiri polisi yang roboh dan merampas senjatanya. Dua polisi, Brigadir Dua Januar Yudhistira Pranata dan Brigadir Dua Andi Irbar Prawira, tewas seketika. Peluru menembus dada dan kepala mereka. Brigadir Kepala Dedy Edward Undusten selamat: peluru hanya melukai pahanya.

Sore itu juga, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah menggelar razia di sejumlah titik jalan menuju Poso. Pada sekitar 16.00 waktu setempat, selepas Palolo, perbatasan Kabupaten Sigi dan Poso, empat pria berboncengan RX King dan Jupiter Z melaju ke arah barikade polisi. Melihat belasan polisi menghadang, pria yang membonceng Jupiter melepaskan tembakan berulang-ulang.

Jupiter menerobos barikade yang tunggang-langgang. Penunggang RX King memutar setang, kembali ke arah Palolo. Polisi mengejar mereka secara terpisah. Dua jam kemudian, setelah baku tembak di hutan yang tak begitu jauh dari perbatasan, penunggang Jupiter, Rafli alias Furqan dan Ardianto alias Anto, menyerah. ”Mereka mengaku pejuang Islam,” kata sumber Tempo yang ikut menginterogasi Furqan dan Anto.

Pengendara RX King, Dayat alias Faruq dan Bado alias Osama, lolos dari kejaran polisi. Meninggalkan sepeda motor di tepi jalan, mereka kabur ke dalam hutan. Hingga Jumat pekan lalu, polisi memperkirakan keduanya masih berada di hutan di sekitar Poso Pesisir.

Sumber Tempo memperkirakan, pelaku merupakan generasi kedua kelompok Tanah Runtuh pimpinan Hasanuddin, yang malang-melintang pada saat konflik berdarah di Poso. Generasi ini membentuk kelompok keagamaan garis keras di Sulawesi Tengah. Ada juga dugaan mereka masih terkait dengan kelompok Kayamanya, yang pernah dipimpin Abdullah Sunata. Kelompok Kayamanya juga beroperasi pada konflik Poso.

Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Dewa Persana cuma mengangkat bahu ketika dimintai konfirmasi soal jaringan mereka. Tapi, pada saat diinterogasi, kata Dewa, ”keduanya mengakui sebagai pelaku penembakan.”

Menurut sumber Tempo, penyerangan pada Rabu itu telah direncanakan jauh hari. Ketika diperiksa polisi ­Jumat pekan lalu, Anto dan Furqan mengaku sedikitnya sepuluh kali kelompok mereka berkumpul di sebuah masjid di Desa Kalaroa, Poso, untuk menyusun rencana penyerangan. Menurut mereka, Faruq, yang hingga Jumat lalu masih buron, bertugas menentukan sasaran.

Berpikir mencari tambahan senjata, Faruq menjadikan polisi di Palu sebagai target. ”Polisi di Palu selalu membawa senjata api, jadi gampang dilucuti,” begitu pengakuan mereka.

Dari tangan Furqan dan Anto, polisi menyita satu M-16, satu US Carbine/Jungle, dan senapan V2 polisi yang dirampas setelah penembakan. Ada belasan butir peluru.

Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo mengatakan salah satu senjata yang digunakan untuk menembaki anggotanya diduga berasal dari senjata polisi yang hilang. ”Hilangnya bagaimana, masih diselidiki,” kata Timur.

Bila betul berasal dari polisi, ini bukan pertama kalinya senjata polisi digunakan teroris untuk menembak tuannya sendiri. Ketika menggulung kelompok Sigit Qordhowi, yang mengotaki bom Cirebon, polisi juga menyita lima pistol FN, satu Beretta, 6.000 butir peluru berbagai kaliber, dan tujuh magasin AK-47.

Sebelum mati, Sigit dan Hendro Yunianto menggunakan pistol FN dan Beretta dalam baku tembak dengan polisi di Gang Kantil, Sukoharjo, Jawa Tengah. Polisi menyatakan amunisi itu dipasok Mardiansyah alias Ferdi alias Abu Maryam, yang ditangkap di Depok, Jawa Barat, pada awal Mei lalu.

Menurut polisi, Ferdi membeli senjata itu dari kelompok Sofyan Tsauri, yang telah dihukum dalam kasus terorisme di Aceh. Sofyan Tsauri alias Abu Ayyash alias Marwan adalah bekas anggota Samapta Kepolisian Resor Depok yang bergabung dengan Abdullah Sunata dan Dulmatin di kamp Jantho, Aceh.

Belum jelas bagaimana Sofyan memperoleh senjata untuk Ferdi. Pengacara Sofyan, Asluddin Hatjani, menyatakan tak mengetahuinya. ”Saya belum dapat informasi soal itu,” katanya. Tapi Asluddin membenarkan pengakuan Sofyan bahwa kliennya itu mendapatkan senjata untuk kelompok Aceh dari gudang senjata Mabes Polri lewat Ahmad Sutrisno, yang dibantu tiga polisi penjaga gudang: Tatang Mulyadi, Abdi Tunggal, dan Posman Barimbing.

Ketika itu, dari gudang senjata Mabes Polri di Cipinang dan Markas Brimob Kelapa Dua, Depok, kelompok ­Sofyan memperoleh 28 pucuk senapan. Di antaranya 11 pucuk AR-15, empat AK-47, enam revolver, dan dua AK-58. Mereka juga mendapatkan 19.999 butir peluru berbagai kaliber.

Untuk memperoleh semua itu, Sofyan dan kawan-kawan total membayar Rp 325,9 juta. Senapan laras panjang rata-rata dibeli Rp 15 juta. Sedangkan pistol harganya sekitar Rp 5 juta. Adapun seluruh peluru dihargai Rp 22,9 juta.

Pengamat terorisme Noor Huda Ismail mengatakan, sejak kasus Aceh, kepolisian semestinya menghitung ulang jumlah senjata yang dimiliki, termasuk yang sudah tak terpakai. ”Audit ini mendesak,” katanya. Sebab, senjata untuk kelompok Sofyan Tsauri pun semestinya sudah dimusnahkan. Ia khawatir senjata-senjata bekas itu kembali diedarkan di pasar gelap.

Meski Kapolri menduga sebaliknya, Dewa Persana menepis perkiraan senjata pelaku teror di Palu dulu milik polisi. ”Senjata mereka sudah karatan,” ujarnya. Senapan US Carbine/Jungle mereka bahkan tak berfungsi lantaran sudah macet. Ia menduga senjata itu sisa-sisa zaman konflik Poso.

Anton Septian, Riky Ferdianto (Jakarta), M. Darlis (Palu)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus