Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=1 color=#FF9900>UJIAN NASIONAL</font><br />Siami Bertahan di Kejujuran

Diusir tetangga karena membongkar kecurangan, Siami mendapat dukungan luas. Teladan dari keluarga sederhana.

20 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TELADAN itu tak datang dari menara gading. Tapi dari keluarga sederhana di kampung bersahaja, jauh dari gemerlap kehidupan mewah.

Siami lahir pada 15 Agustus 1979, bungsu dari enam bersaudara. Ia anak perempuan satu-satunya pasangan Kawi dan Sutri. Pendidikannya hanya Sekolah Menengah Pertama PGRI di Kedungrukem, Gresik, Jawa Timur.

Lulus dari sekolah itu, Siami merantau ke Surabaya. Ia pernah menjadi buruh di pabrik garmen dan pabrik sepatu di kawasan industri Tanjungsari. Pada 2003, ia dipersunting Widodo, pekerja di perusahaan distributor keramik. Di Surabaya, mereka tinggal di rumah kos di Desa Gadel.

Ketika lahir anak pertama, Alif Achmad Maulana, pada 1999, pemilik kos menawari pasangan ini sebidang tanah 200 meter persegi dengan harga Rp 24 juta. Di situlah mereka membangun rumah. Setelah anak kedua, Enggar Galih Waskita, lahir empat tahun lalu, Siami berhenti bekerja. Ia menjadi penjahit gorden di rumahnya.

Ibu Siami, Sutri, mengatakan selalu menanamkan kejujuran pada anak-anaknya. ”Kami memang tidak kaya,” kata Sutri. ”Tapi jangan sampai miskin kejujuran.”

Pelajaran yang sama disampaikan Siami kepada Alif dan adiknya. Alif murid terpintar di kelas VI Sekolah Dasar Negeri Gadel II, Surabaya. Ketika ia menempuh ujian nasional pada 10-12 Mei lalu, ujian sesungguhnya pelajaran kejujuran di rumahnya dihadapi bocah 12 tahun itu.

Mungkin bagi Fatkurohman, guru wali kelas Alif, kelulusan murid adalah segalanya. Itu sebabnya ia meminta Alif memberikan sontekan untuk teman-temannya.

Menurut Alif, sang guru mengatakan, ”Lif, kamu kan pinter? Kalau kamu mau balas jasa gurumu, gunakan kepintaran kamu untuk membantu teman-teman lulus ujian nasional.” Pak Guru menambahkan, jika tidak ”berbagi”, Alif tidak akan jadi orang sukses.

Inilah ujian itu. ”Saya bingung, orang tua bilang tidak boleh menyontek, tapi guru bilang lain,” kata Alif. Sang bocah tak sanggup membantah perintah gurunya. Ia bersiasat, tak memberikan semua jawaban benar. ”Hanya setengah yang jawabannya benar,” katanya.

Pak Guru telah menyiapkan ”distribusi” jawaban. Pada saat ujian, ia menunjukkan kertas jawaban kepada teman yang duduk di belakangnya. ”Rantai pertama” ini lalu menyalin dan memperbanyak jawaban di kertas buram.

Kertas inilah yang kemudian diedarkan ke semua kelas. Untuk murid kelas sebelah, salinan lembar jawaban pilihan ganda diserahkan di toilet sekolah atau ditaruh di pot bunga. Latihan kecurangan ini dilakukan sehari sebelum ujian.

Seusai ujian, Alif berubah jadi pendiam. Empat hari kemudian, Siami mendapat cerita pembagian jawaban ini dari teman Alif. Ia kaget dan menanyakan kepada anaknya.

Alif menangis. Setelah tenang, baru Alif menceritakan semuanya. Siami tak tinggal diam. Pada Rabu, 18 Mei, ia mendatangi Kepala Sekolah Sukatman. ”Dia kaget, mengaku tidak tahu, dan meminta maaf,” kata Siami.

Tak puas dengan jawaban Sukatman, Siami melaporkannya ke Ketua Komite Sekolah Sudirman. Hingga sepekan waktu yang dijanjikan, tak ada tindak lanjut dari komite sekolah.

Pada saat hampir menyerah, Siami mendapat saran dari kakaknya, Edi Purnomo, agar melaporkan persoalan ini ke radio Suara Surabaya. Keterangan Siami disiarkan pada 1 Juni lalu. Dari radio, ia ditemani kakaknya menemui Kepala Dinas Pendidikan Surabaya Eko Prasetyoningsih.

Reaksi Eko membuat Siami ketakutan. Menurut Siami, Eko marah karena ia membeberkannya di radio. Eko juga meminta Siami menunjukkan bukti dan saksi. Bahkan ia menyalahkan Alif. ”Ibu siap jika dituntut balik wali kelas?” kata Siami, menirukan Eko.

Setelah siaran di radio, media massa di Surabaya ramai mewartakan kasus ini. Pada Jumat, 3 Juni pagi, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini datang ke rumah Siami. Tuan rumah menceritakan kembali urutan peristiwa.

Di akhir pertemuan sekitar satu jam, Siami bertanya kepada Tri, ”Maaf, Bu, kalau boleh tahu, Ibu siapa?” Tri menyebutkan jabatannya. Siami tak menyangka.

Tri cepat bertindak. Ia membentuk tim dari inspektorat dan dinas pendidikan. Hasilnya, sanksi dijatuhkan kepada Wali Kelas VI-A Fatkurohman, Wali Kelas VI-B Suprayitno, dan Kepala Sekolah Sukatman. Jabatan fungsional mereka sebagai guru dicabut, dan mereka dipindahkan ke Dinas Pendidikan Surabaya.

Ujian lebih besar datang lagi. Setelah guru-guru memperoleh hukuman, penduduk Gadel ternyata murka. Mereka menilai hukuman itu berlebihan. Para tetangga mencaci maki Siami. Sekitar seratus orang—terdiri atas wali murid dan anak-anak—berkumpul di sekolah pada Senin, 6 Juni.

Melihat gelagat buruk, Siami mengungsikan dua putranya ke rumah orang tuanya di Dusun Lumpang, Benjeng, Gresik—40 kilometer dari tempat tinggalnya. Dua hari berselang, semakin banyak orang berkumpul di depan rumah Siami. Mereka meneriaki Siami dan menuntutnya meminta maaf. Siami ketakutan, bersembunyi di kamar.

Esok harinya, Siami dipertemukan dengan perwakilan sekolah di balai rukun warga. Moderator pertemuan, Abdullah, mengatakan acara seharusnya diawali sambutan dan permintaan maaf dari Siami. Tapi Fatkurohman lebih dulu mengambil mikrofon dan meminta maaf kepada Siami, yang berlinang air mata.

Penduduk semakin marah dan berteriak-teriak mengusir Siami. ”Seandainya yang minta maaf Siami duluan, mungkin warga tak semarah itu,” ujar Abdullah, Sekretaris Lembaga Ketahanan Masyarakat Kelurahan Karangpoh.

Pertemuan berakhir tak sesuai dengan harapan. Siami dan suaminya dibawa ke kantor Kepolisian Sektor Tandes, Surabaya. Dari situ, ia memutuskan mengungsi ke rumah orang tuanya. ”Saya belum mau balik, masih trauma,” kata Siami.

Sukatman dan Fatkurohman tidak mau berbagi cerita soal sontek massal tersebut. Melalui sambungan telepon, Sukatman hanya menjawab singkat, ”Sudahlah, saya sudah legawa.” Demikian juga Fatkurohman, yang berubah jadi tertutup. ”Saya tidak mau berkomentar,” ujarnya.

Ditekan tetangga-tetangganya, Siami memperoleh dukungan luas. Ia dinobatkan sebagai ”ibu kejujuran”. Ia dihadirkan di pelbagai acara oleh pengelola sejumlah koran dan televisi. Toh, ujian belum juga reda.

Gosip menerpa Siami jauh dari tempat tinggalnya. Ia dituduh marah kepada sekolah karena keinginan menggelar pentas seni tak dikabulkan. Ia juga disebut-sebut sebagai tokoh di balik demonstrasi menggulingkan Kepala Desa Sedapurklagen, Gresik, lima tahun lalu. Bahkan Alif dituduh mengutip Rp 10 ribu kepada teman yang menyontek jawabannya.

Siami hanya tersenyum mendengar semua itu. Di Sedapurklagen, ia mengaku hanya ikut diajak kakaknya mendemo kepala desa yang menggelapkan uang beras untuk rakyat miskin. Kutipan uang oleh Alif juga dibantahnya. Ia masih menyimpan rekaman kesaksian teman Alif. Bahkan beberapa teman Alif meminta maaf melalui pesan di telepon seluler dan situs jejaring sosial Facebook.

Siami masih belum berniat pulang ke Gadel. Meski begitu, ia tetap akan menyekolahkan Alif ke SMP Negeri 3 Surabaya, seperti yang dicita-citakannya. Apalagi Alif dinyatakan lulus dengan predikat terbaik.

Siami berencana mencari kos di Surabaya. Rumah di Gadel hendak ia kontrakkan. Ia mengatakan senang mendapat dukungan luas. Katanya, ”Saya ingin tetap mengajarkan kejujuran kepada anak saya.”

Tito Sianipar (Jakarta), Kukuh Wibowo (Surabaya), Eko Widianto (Gresik)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus