Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Plus-Minus Jika Ujian Nasional Diadakan Lagi

Pemerintah bakal kembali memberlakukan ujian nasional. Pegiat dan pengamat mengingatkan adanya sejumlah masalah.

3 Januari 2025 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pelaksanaan ujian Asesmen Nasional Berbasis Komputer Nasional (ANBK) di SDN Supriyadi, Semarang, Jawa Tengah, 24 Oktober 2023. ANTARA/Makna Zaezar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah mengatakan ujian nasional kemungkinan akan diberlakukan lagi tahun depan..

  • Pegiat dan pengamat pendidikan mengingatkan sejumlah masalah ujian nasional.

  • Ujian nasional dan asesmen nasional bagi sejumlah kalangan memiliki kelebihan dan kekurangan.

DISKUSI kelompok terarah itu berlangsung hangat dan pesertanya antusias. Silang pendapat yang berlangsung alot juga muncul dalam diskusi yang digelar oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) di Hotel Pullman Central Park, Jakarta Barat, pada Senin, 25 November 2024, itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pegiat, kelompok profesi guru, dan organisasi kemasyarakatan yang menaruh perhatian pada bidang pendidikan membahas adanya kemungkinan pemerintah melakukan evaluasi sistem belajar dengan menghidupkan kembali ujian nasional untuk tahun ajaran 2025/2026.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) Nisa Felicia, salah seorang penanggap, menuturkan diskusi tersebut memakan waktu seharian, dari pagi hingga sore. Ada sekitar tujuh pemateri lain yang memaparkan gagasan masing-masing. Menteri Pendidikan Abdul Mu’ti turut hadir dalam pembicaraan tersebut.

Nisa menyatakan menolak jika ujian nasional kembali diberlakukan. “Saya menyampaikan pandangan sebagai wakil dari PSPK,” ujarnya melalui pesan pendek pada Kamis, 2 Januari 2025. Dia menilai ujian nasional tidak berkeadilan dan dapat mempengaruhi proses pembelajaran siswa. 

Alasannya, ujian nasional model lama ditopang sejumlah karakteristik. Nisa memaparkan, antara lain, ujian berlangsung kurang komprehensif, dilakukan di akhir jenjang pendidikan, menjadi pertimbangan masuk ke tahap jenjang pendidikan berikutnya, berstandar nasional, dan bersifat wajib diikuti semua murid. Menurut lembaga ini, sistem asesmen nasional yang menggantikan ujian nasional sejak 2021 sudah sesuai dengan fungsinya.

Edi Subkhan, pengamat kebijakan pendidikan dari Universitas Negeri Semarang, juga diundang dalam pertemuan itu. Dia mengatakan peserta diskusi beradu dalil dan berargumentasi menolak pemberlakuan ujian nasional model lama. Meski begitu, ada juga di antara partisipan yang mengusulkan ujian nasional tapi dengan jenis baru.   

“Diskusinya berlangsung dinamis, meski enggak semua argumentasi ditopang dengan dalil dan alasan,” ujar dosen Fakultas Ilmu Pendidikan itu saat dihubungi pada Kamis, 2 Januari 2025. Dia mengatakan tidak setuju jika ujian nasional yang akan dijalankan berformat sama seperti sebelumnya. Sebab, menurut dia, ujian tersebut banyak kelemahan serta menjadikan posisi siswa dan guru terjepit untuk melakukan kecurangan.

Diskusi yang digelar oleh Kemendikdasmen pada akhir November tahun lalu itu menjadi tindak lanjut arah kebijakan Menteri Abdul Mu’ti dalam mengevaluasi berbagai kebijakan pendidikan. Mu'ti dilantik menjadi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah dalam kabinet pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024. Abdul Mu'ti, yang juga Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, memimpin kementerian khusus pendidikan dasar dan menengah. Pada 2019-2024, kementerian ini digabung dengan bidang kebudayaan, riset, dan teknologi.

Kabar mengenai kembalinya ujian nasional menuai berbagai respons sejak Abdul Mu’ti mengatakan akan mengkaji kembali kebijakan itu dalam rapat bersama Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat pada 6 November 2024. Kepada wartawan di kantor Kemendikdasmen pada Selasa, 31 Desember 2024, Mu’ti mengatakan kementeriannya akan menerapkan evaluasi sistem belajar baru pada tahun ajaran 2025/2026 sebagai pengganti asesmen nasional. Sistem baru itu, menurut dia, akan berbeda dari sistem evaluasi yang pernah diterapkan sebelumnya. Mu'ti tidak secara gamblang mengatakan akan kembali memberlakukan ujian nasional.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti saat diwawancarai Tempo di kantor Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, di Jakarta, 18 Desember 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean

Mu’ti menyinggung pernyataan sejumlah kalangan yang menilai asesmen nasional belum memadai. Salah satunya, kata dia, panitia seleksi nasional masuk perguruan tinggi yang mengeluhkan kebutuhan hasil belajar yang sifatnya individual. Asesmen nasional dinilai hanya bersifat sampling dan belum memotret kondisi siswa dengan hasil belajar secara keseluruhan. 

Mantan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan itu juga menyoroti penilaian yang diberikan guru ketika mengisi rapor siswa. Menurut dia, rapor memang penting, tapi juga kadang-kadang bikin repot. "Bikin repotnya apa? Karena banyak yang mempersoalkan obyektivitas guru dalam membuat nilai rapor,” ujar doktor pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, ini. Menurut dia, ada banyak kasus ketika guru disebut-sebut memberikan “sedekah nilai” lebih dari kemampuan siswa.

Ujian nasional ditiadakan dan diganti dengan asesmen nasional sejak tiga tahun lalu saat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dipimpin Nadiem Makarim. Asesmen nasional berbasis komputer (ANBK) saat itu diberlakukan dengan alasan untuk mengevaluasi mutu pendidikan serta hasil pembelajaran. Asesmen nasional terdiri atas asesmen kompetensi minimum, survei karakter, dan survei lingkungan belajar.

Sebelum dihapus oleh Nadiem, ujian nasional menjadi komponen penting dalam evaluasi sistem pendidikan untuk menentukan kelulusan. Nomenklatur ujian nasional dikenalkan oleh Menteri Pendidikan Muhammad Nuh pada 2005. Kemudian, pada 2014, Menteri Pendidikan saat itu, Anies Baswedan, memperkenalkan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK), yang juga dikenal sebagai Computer Based Test (CBT). Penyelenggaraan ujian nasional menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, dari tingkat provinsi, kota/kabupaten, hingga sekolah. Pemerintah pusat menyediakan soal dan kunci jawaban yang disiapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dengan bantuan Pusat Asesmen Pendidik.

Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Fajar Riza UI Haq menegaskan sistem evaluasi belajar yang tengah dirancang memiliki diferensiasi dengan model yang pernah diberlakukan sebelumnya. Meski begitu, Fajar tidak terlalu blakblakan membahas formulasi terbaru yang akan dikeluarkan Kementerian untuk mengevaluasi sistem tersebut.

“⁠Yang jelas, sistem evaluasi pada 2025/2026 akan berbeda dengan ujian nasional yang sudah pernah berlaku sebelumnya,” ujar Fajar melalui pesan pendek kepada Tempo pada Kamis, 2 Januari 2025. "Ditunggu saja kepastian kebijakannya nanti seperti apa. Belum diputuskan, jadi belum ada bocor alusnya."

Plus-Minus Ujian Nasional

Pelaksanaan ujian nasional dan asesmen nasional bagi sejumlah kalangan memiliki kelebihan dan kekurangan serta menimbulkan perdebatan soal manfaat dan dampak bagi sistem pendidikan nasional. Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Dudung Abdul Qodir menyoroti adanya kelemahan dalam sistem evaluasi belajar asesmen nasional karena hanya diberlakukan kepada beberapa siswa alias tidak secara sensus menyeluruh. Sedangkan orang tua siswa, Dudung mengklaim, banyak yang menginginkan profil lulusan secara keseluruhan dari seorang siswa. 

PGRI mendukung pemerintah memberlakukan kembali ujian nasional dengan tiga catatan. Pertama, transformasi pola evaluasi secara nasional yang ramah dan tanpa unsur politis. Kedua, tak menjadikan ujian nasional sebagai satu-satunya penentu kelulusan. Ketiga, berdampak pada transformasi pembelajaran. “Jadi ini kemudian adalah bagaimana pemerintah menyikapi hasil dari evaluasi nasional untuk kebijakan pendidikan,” kata Dudung ketika dihubungi pada Kamis, 2 Januari 2025. 

Dudung juga menjadi pembicara dalam diskusi yang digelar Kemendikdasmen pada akhir November tahun lalu itu. Dia mewanti-mewanti kembalinya ujian nasional jangan sampai mengulang sejarah kelam sistem evaluasi belajar yang mencekam. PGRI mendorong ujian nasional bisa membangun zona integritas sekolah, mulai dari siswa, orang tua, guru, kepala sekolah, hingga pemerintah daerah.

Penyelenggaraan ujian nasional sejatinya sudah lama dinilai bermasalah. Putusan Mahkamah Agung pada 14 September 2009 menyerukan pemerintahan Presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono meninjau ulang pelaksanaan ujian nasional. Putusan MA itu menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 6 Desember 2007 dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 21 Mei 2007. 

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan pemerintah dinilai lalai memberikan pemenuhan dan pelindungan hak asasi manusia terhadap warga negara yang menjadi korban pelaksanaan ujian nasional, terutama pada hak-hak atas pendidikan dan anak. Meski putusan MA itu telah diketok, pemerintah tetap menggelar ujian nasional. Tujuh tahun berlalu, ujian nasional baru mulai dihapus secara bertahap pada tahun ajaran 2017/2018.

Nisa Felicia menegaskan ujian nasional dan sejenisnya tidak perlu diberlakukan lagi. Sebab, fungsi ujian nasional yang ada selama ini tumpang-tindih karena mencampurkan evaluasi sistem dan individu. Nisa mengatakan asesmen nasional sudah cukup menjadi tes berstandar nasional untuk memetakan kualitas pendidikan. 

Menurut Nisa, peran utama pemerintah adalah memastikan layanan untuk memenuhi hak pendidikan anak terjamin kualitasnya secara merata. "Sebab, mereka yang sebenarnya punya kemampuan membantu anak belajar adalah guru, bukan menteri dan jajarannya,” ucapnya.

Edi Subkhan juga mengklaim asesmen nasional lebih efisien karena selama ini belum ada laporan sehubungan dengan dugaan kecurangan. Dia tidak menampik ada kelemahan dalam asesmen nasional, seperti instrumen survei dan potensi jawaban formalitas tidak sesuai dengan realitas lapangan. “Tentu perlu diperbaiki lagi,” ujarnya.

Edi menjelaskan, gambaran utuh capaian belajar per individu siswa sejatinya tetap diperlukan, tapi bukan dengan format ujian nasional model lama dan bukti rapor akademik semata karena ditengarai rawan manipulasi. Pengamat ini juga menganggap kebijakan baru perlu mengeliminasi hal-hal yang dapat mengulang timbulnya mudarat dari model ujian nasional sebelumnya yang telah dihapuskan.

Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Atip Latipulhayat mengunjungi sekolah di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, 4 November 2024. ANTARA/HO-Humas Kemendikdasmen

Adapun Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Atip Latipulhayat mengatakan pemerintah akan memberlakukan lagi sistem ujian nasional dengan modifikasi. Misalnya, kata dia, mengakomodasi kewenangan kelulusan yang akan lebih kuat pada satuan pendidikan atau sekolah-sekolah. Atip mengatakan para guru ada kemungkinan menentukan kelulusan para siswa, tapi penerapan standar nasional juga akan tetap diberlakukan untuk mengukur capaian pembangunan dalam bidang pendidikan.

Atip mengungkapkan sejumlah opsi yang bisa dikombinasikan, seperti menyelenggarakan tes kemampuan akademik yang bersifat tidak wajib untuk seleksi penerimaan murid baru dan pemberlakuan ujian sekolah berstandar nasional. Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran itu menolak merinci sistem evaluasi belajar yang bakal diluncurkan pada tahun ajaran mendatang. Dia hanya mengatakan kemungkinan ada perubahan nomenklatur dari ujian nasional. 

Menurut Atip, sistem evaluasi belajar baru itu pun nantinya menyesuaikan dengan misi yang ingin dicapai pemerintah. “Kami akan memperbaiki asesmen nasional dan kembali memberlakukan ujian nasional. Prinsipnya untuk program yang baik, yang sebelumnya dilaksanakan, termasuk ujian nasional akan dipertahankan. Tujuannya untuk merealisasi pendidikan yang bermutu, yang bisa diakses oleh semua,” ujarnya saat dihubungi pada Kamis, 2 Januari 2025.

Menanggapi hal itu, aktivis Taman Siswa, Ki Darmaningtyas, mengatakan pemerintah memerlukan standardisasi pendidikan nasional, terlepas dari pilihan kebijakan yang akan diambil. Dia mengatakan tidak bersikap anti-pelaksanaan ujian nasional selama itu tak menjadi penentu kelulusan. Sebab, menurut dia, banyak masyarakat dengan ekonomi sulit tidak mempunyai privilese mengikuti les privat atau bimbingan lain untuk mendorong kemampuan dalam mengerjakan soal-soal ujian nasional.

Darma menyatakan ujian nasional sebagai penciptaan standar nasional bisa saja dilaksanakan tapi tidak harus setiap tahun, bisa dua tahun sekali. Itu pun dengan catatan harus ada kategori soal untuk sekolah-sekolah. Kritikus pendidikan asal Yogyakarta ini juga menyoroti rapuhnya sistem asesmen nasional saat ini yang mengesampingkan hasil akhir secara personal siswa atas program yang diterapkan di sekolah. Hasil akhir itu mencakup semua elemen, baik akademik maupun nonakademik.

“Kalau tidak mau ujian nasional, ya, asesmen nasional tapi sensus. Membiarkan pendidikan nasional tanpa standar yang jelas sama saja menjerumuskan bangsa ini ke keterpurukan,” kata Darma melalui pesan pendek pada Kamis, 2 Januari 2025.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus