DUA pekan sebelum tim Sudomo-Sumarlin tiba di Manado, TEMPO
telah mengutus seorang pembantu dari Jakarta untuk berkunjung ke
beberapa daerah cengkeh di Minahasa. Dia kembali menjelang
keberangkatan tim Opstibpus itu. Berikut ini laporannya:
CAMAT dari Motoling bergegas masuk VW Safarinya. Dengan cekatan
dia menyetir kendaraannya melewati jalan menurun dan tikungan
taiam di daerah Mopilu. Sisa jarak yang masih harus ditempuhnya
paling sedikit 90 Km -- sebuah trayek padat, penuh sesak. Tapi
sekiranya dalamwaktu 2 jam itu dia tidak berada di ruang brifing
kantor Gubernur di Manado, jangan harap perlindungan segala Opo
mana pun dapat menyelamatkannya dari amukan Tonaas Wangko Um
Banua (Pemimpin Besar Daerah Ini).
Itu kejadian sudah akhir Juli lalu. Namun mungkin itulah saat
awal menghangatnya heboh cengkeh di propinsi paling utara negeri
ini. Waktu itu, para pedagang sudah menyelinap masuk sampai ke
desa-desa. Walaupun Keppres No.50/ 1976 sudah menetapkan BUUD
sebagai pembeli tunggal cengkeh rakyat, rupanya hukum dagang di
desa lebih kuat. Penawar yang terbaiklah yang dielu-elukan
petani cengkeh, tidak peduli dia itu pengurus BUUD atau bukan.
Pembeli yang turun ke desa menawarkan harga sampai Rp 4000/Kg
cengkeh kering. Sebagian mewakili pabrik rokok kretek di Jawa.
Biaya pemetikan tak jadi soal. Dengan cengkeh mentah dinilai 1/5
atau 1/6 cengkeh kering, sambil mengepulkan asap rokok kretek
seperti lok batubara, semua fihak merasa untung. Apalagi karena
harga cengkeh yang di bulan Mei pernah di seputar Rp 4.500
tahu-tahu turun sampai Rp 3.500 ketika panen raya sudah mulai
terasa semaraknya, petani yang tinggal jauh di udik mulai pasang
kuda-kuda. Makanya ketika menjelang awal Agustus -- waktu
cengkeh sudah lebat berbunga -- pospos pengumpulan BUUD belum
merasakan arus penjualan cengkeh seperti yang diperkirakan,
Gubernur Worang memanggil semua camat penghasil cengkeh di
Minahasa.
Kata sang Tonaas, agar pedagang dari luar yang mencoba
mengadakan pembelian langsung ke petani "diusir saja. "Untuk
pengawasannya, dibentuk Tim Pengawas Pelaksanaan Tata Niaga
Cengkeh Minahasa. Sedang untuk menopang operasi BUUD, BRI
menyediakan kredit sebanyak Rp 1,8 milyar, yang dapat diperoleh
lewat Pemda Sulut atau Puskud. Terang saja jumlah itu tak
memadai, sebab yang diperlukan seluruhnya sekitar Rp 60 milyar
yang mungkin dapat disalurkan dalam beberapa gelombang. Makanya
kalangan pedagang ada yang menyanggupi dana sebesar Rp 17 milyar
buat operasi BUUD yang dikoordinir Puskud di Manado.
PERINTAH pengarnanan ini, justru mengobarkan ekses dari kedua
belah pihak -- pengusaha dan penguasa -- sementara rakyat petani
harus selincah bajing loncat di antara keduanya. Pedagang mulai
main kucing-kucingan. Dengan mengambil patokan harga dari Rp
3.800 sampai Rp 4.000 sekilo, barter dalam arti semurni-murninya
timbul di kantong-kantong cengkeh di sekeliling danau Tondano,
Sonder, Seretan, dan Suluun. Ada barang, ada barang. Bisa berupa
mobil, teve atau apa saja yang berbau luks (lihat: Bila Cengkeh
Mulai Dipetikl Soal mengeluarkan cengkeh dari desa ke Menado,
itu urusan nanti.
"Di mana logikanya," tanya seorang anggota DPRD, "ada harga yang
lebih menguntungkan petani malah membuat BUUD mencak-mencak?"
Taruhlah dia merasa rugi karena porsinya sebesar Rp 100/Kg
lolos. Tapi jika cengkeh itu turun ke Manado, bukankah ada
Puskud yang akan memungut pajaknya, jasanya, dan
pungutan-pungutan lain? Orang agaknya sulit bisa lolos dari
Bonny Lengkong, orang dekat Gubernur Worang, kini ketua Puskud.
"Warna celana kolormu sekalipun dia tahu," kata si anggota DPRD
itu.
Kendati demikian, Nyong R. camat Tareran, lengkap dengan petugas
BUUD mendatangi setiap rumah di Suluun mencari tahu siapa yang
menyimpan cengkeh di rumahnya. Seorang janda 60 tahun yang mau
membawa 1 truk cengkeh dari kebunnya ke rumah, dicegat oleh
oknum berseragam yang mengaku petugas BUUD. Dia dipaksa menjual
cengkehnya pada BUUD. Tapi sang janda menolak. Sebab bersama
suaminya yang baru meninggal awal tahun ini, dia biasa menimbul
dulu cengkehnya di gudang sampai panen usai dan harga cengkeh
naik sampai Rp 7.000/Kg. Bagaimana pun, truk bermuatan 11 ton
cengkeh itu disita petugas keamanan. Akhirnya, setelah protes ke
beberapa kenalan baik janda itu di instansi yang lebih tinggi,
muatan cengkeh itu dikembalikan -- tapi isinya sudah ditukar
dengan cengkeh bermutu lebih rendah.
Bega Rompis, juga seorang pedagang yang ikut serta membeli
cengkeh. Bulan lalu dia didatangi 9 petugas Pemda Sulut. Tanpa
banyak komentar, mereka mencatat berapa karung cengkeh ada dalam
gudangnya, menyegel gudangnya, lalu pergi. Pagi 6 Oktober
lalu, seorang pegawai Kotapraja datang menawarkan sekantong
cengkeh kiriman orangtuanya di kampung. "So nyandak (tidak
ada) di sini, nyong. Cuma dorang Bun Kap dan Pae yang boleh ambe
cingkeh," katanya sambil mengibaskan tangannya ke ruangan kantor
yang sempit berdebu. Dia menggerutu: "Dorang so segel kita
punya."
Diakuinya, semua itu salahnya sendiri. Ketika para pedagang
rame-rame berpartisipasi menyumbang Pemda Sulut, dia dan
beberapa kawannya merasa keberatan. Akhirnya dia memang
menyumbang juga. "Tapi cuma sedikit. Cuma Rp 4 juta buat bangun
lapangan golf. Memang tidak berarti dibandingkan dengan yang
lain," katanya. Waktu itu dia jelaskan, kalau uang kontan sudah
masuk dia akan berpartisipasi lebih banyak lagi. Tapi sayang
gudangnya sudah kehuru disegel.
Ketiga unit pembelian Puskud Sulut di Manado, tak lain adalah
gudang perusahaan-perusahaan milik Tan Boen Kap (PT Benteng
Tulus dan Kencana Tulus) serta Sutekno Mailoa d/h Liauw Kie Tek
(PT Panca Jaya Wenang). Jadi cengkeh yang lolos dari desa sampai
ke Manado, langsung jatuh pada kedua pengusaha besar itu. Selain
itu, Puskud juga telah menunjuk daerah-daerah yang dekat atau
tinggi mutu cengkehnya dalam kontraknya dengan ketiga perusahaan
Manado itu. Itu sebabnya, yang merasa dirugikan, kontan
berteriak. Atau diam-diam membeli sendiri ke desa-desa.
Adapun bagi yang bukan pedagang, ribut-ribut soal cengkeh itu
bukan hanya timbul karena keuntungan dari kebun agak berkurang
ketimbang bisnis itu dibebaskan saja. Isyu cengkeh yang justru
berbeda hangatnya dengan suksesnya penyelenggaraan MTQ, tergugah
sebagai puncak kritik terhadap kepemimpinan Worang yang angker
itu.
Ketika butir-butir cengkeh terakhir diturunkan dari pohon awal
bulan ini, ada yang mengutip Kitab Suci Kristen dengan berharap
butiran itu "bagaikan tangan yang menulis di dinding." Dan
ketika heboh itu merambat ke Jakarta lewat surat seorang petani
cengkeh dalam Kontak Pembaca Sinar Harapan orang menganggapnya
bagaikan teriakan anak kecil dalam dongeng Andersen: "Raja tidak
pakai baju." Semenjak saat itulah, tim Sudomo ditunggu dari
Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini