Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

"Raja Tak Pakai Baju"

Laporan tempo sebelum tim opstib pusat berkunjung ke daerah cengkih di minahasa ribut soal cengkih & kritik terhadap gubernur worang sampai di jakarta. sudomo ditunggu di sulawesi utara.

22 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA pekan sebelum tim Sudomo-Sumarlin tiba di Manado, TEMPO telah mengutus seorang pembantu dari Jakarta untuk berkunjung ke beberapa daerah cengkeh di Minahasa. Dia kembali menjelang keberangkatan tim Opstibpus itu. Berikut ini laporannya: CAMAT dari Motoling bergegas masuk VW Safarinya. Dengan cekatan dia menyetir kendaraannya melewati jalan menurun dan tikungan taiam di daerah Mopilu. Sisa jarak yang masih harus ditempuhnya paling sedikit 90 Km -- sebuah trayek padat, penuh sesak. Tapi sekiranya dalamwaktu 2 jam itu dia tidak berada di ruang brifing kantor Gubernur di Manado, jangan harap perlindungan segala Opo mana pun dapat menyelamatkannya dari amukan Tonaas Wangko Um Banua (Pemimpin Besar Daerah Ini). Itu kejadian sudah akhir Juli lalu. Namun mungkin itulah saat awal menghangatnya heboh cengkeh di propinsi paling utara negeri ini. Waktu itu, para pedagang sudah menyelinap masuk sampai ke desa-desa. Walaupun Keppres No.50/ 1976 sudah menetapkan BUUD sebagai pembeli tunggal cengkeh rakyat, rupanya hukum dagang di desa lebih kuat. Penawar yang terbaiklah yang dielu-elukan petani cengkeh, tidak peduli dia itu pengurus BUUD atau bukan. Pembeli yang turun ke desa menawarkan harga sampai Rp 4000/Kg cengkeh kering. Sebagian mewakili pabrik rokok kretek di Jawa. Biaya pemetikan tak jadi soal. Dengan cengkeh mentah dinilai 1/5 atau 1/6 cengkeh kering, sambil mengepulkan asap rokok kretek seperti lok batubara, semua fihak merasa untung. Apalagi karena harga cengkeh yang di bulan Mei pernah di seputar Rp 4.500 tahu-tahu turun sampai Rp 3.500 ketika panen raya sudah mulai terasa semaraknya, petani yang tinggal jauh di udik mulai pasang kuda-kuda. Makanya ketika menjelang awal Agustus -- waktu cengkeh sudah lebat berbunga -- pospos pengumpulan BUUD belum merasakan arus penjualan cengkeh seperti yang diperkirakan, Gubernur Worang memanggil semua camat penghasil cengkeh di Minahasa. Kata sang Tonaas, agar pedagang dari luar yang mencoba mengadakan pembelian langsung ke petani "diusir saja. "Untuk pengawasannya, dibentuk Tim Pengawas Pelaksanaan Tata Niaga Cengkeh Minahasa. Sedang untuk menopang operasi BUUD, BRI menyediakan kredit sebanyak Rp 1,8 milyar, yang dapat diperoleh lewat Pemda Sulut atau Puskud. Terang saja jumlah itu tak memadai, sebab yang diperlukan seluruhnya sekitar Rp 60 milyar yang mungkin dapat disalurkan dalam beberapa gelombang. Makanya kalangan pedagang ada yang menyanggupi dana sebesar Rp 17 milyar buat operasi BUUD yang dikoordinir Puskud di Manado. PERINTAH pengarnanan ini, justru mengobarkan ekses dari kedua belah pihak -- pengusaha dan penguasa -- sementara rakyat petani harus selincah bajing loncat di antara keduanya. Pedagang mulai main kucing-kucingan. Dengan mengambil patokan harga dari Rp 3.800 sampai Rp 4.000 sekilo, barter dalam arti semurni-murninya timbul di kantong-kantong cengkeh di sekeliling danau Tondano, Sonder, Seretan, dan Suluun. Ada barang, ada barang. Bisa berupa mobil, teve atau apa saja yang berbau luks (lihat: Bila Cengkeh Mulai Dipetikl Soal mengeluarkan cengkeh dari desa ke Menado, itu urusan nanti. "Di mana logikanya," tanya seorang anggota DPRD, "ada harga yang lebih menguntungkan petani malah membuat BUUD mencak-mencak?" Taruhlah dia merasa rugi karena porsinya sebesar Rp 100/Kg lolos. Tapi jika cengkeh itu turun ke Manado, bukankah ada Puskud yang akan memungut pajaknya, jasanya, dan pungutan-pungutan lain? Orang agaknya sulit bisa lolos dari Bonny Lengkong, orang dekat Gubernur Worang, kini ketua Puskud. "Warna celana kolormu sekalipun dia tahu," kata si anggota DPRD itu. Kendati demikian, Nyong R. camat Tareran, lengkap dengan petugas BUUD mendatangi setiap rumah di Suluun mencari tahu siapa yang menyimpan cengkeh di rumahnya. Seorang janda 60 tahun yang mau membawa 1 truk cengkeh dari kebunnya ke rumah, dicegat oleh oknum berseragam yang mengaku petugas BUUD. Dia dipaksa menjual cengkehnya pada BUUD. Tapi sang janda menolak. Sebab bersama suaminya yang baru meninggal awal tahun ini, dia biasa menimbul dulu cengkehnya di gudang sampai panen usai dan harga cengkeh naik sampai Rp 7.000/Kg. Bagaimana pun, truk bermuatan 11 ton cengkeh itu disita petugas keamanan. Akhirnya, setelah protes ke beberapa kenalan baik janda itu di instansi yang lebih tinggi, muatan cengkeh itu dikembalikan -- tapi isinya sudah ditukar dengan cengkeh bermutu lebih rendah. Bega Rompis, juga seorang pedagang yang ikut serta membeli cengkeh. Bulan lalu dia didatangi 9 petugas Pemda Sulut. Tanpa banyak komentar, mereka mencatat berapa karung cengkeh ada dalam gudangnya, menyegel gudangnya, lalu pergi. Pagi 6 Oktober lalu, seorang pegawai Kotapraja datang menawarkan sekantong cengkeh kiriman orangtuanya di kampung. "So nyandak (tidak ada) di sini, nyong. Cuma dorang Bun Kap dan Pae yang boleh ambe cingkeh," katanya sambil mengibaskan tangannya ke ruangan kantor yang sempit berdebu. Dia menggerutu: "Dorang so segel kita punya." Diakuinya, semua itu salahnya sendiri. Ketika para pedagang rame-rame berpartisipasi menyumbang Pemda Sulut, dia dan beberapa kawannya merasa keberatan. Akhirnya dia memang menyumbang juga. "Tapi cuma sedikit. Cuma Rp 4 juta buat bangun lapangan golf. Memang tidak berarti dibandingkan dengan yang lain," katanya. Waktu itu dia jelaskan, kalau uang kontan sudah masuk dia akan berpartisipasi lebih banyak lagi. Tapi sayang gudangnya sudah kehuru disegel. Ketiga unit pembelian Puskud Sulut di Manado, tak lain adalah gudang perusahaan-perusahaan milik Tan Boen Kap (PT Benteng Tulus dan Kencana Tulus) serta Sutekno Mailoa d/h Liauw Kie Tek (PT Panca Jaya Wenang). Jadi cengkeh yang lolos dari desa sampai ke Manado, langsung jatuh pada kedua pengusaha besar itu. Selain itu, Puskud juga telah menunjuk daerah-daerah yang dekat atau tinggi mutu cengkehnya dalam kontraknya dengan ketiga perusahaan Manado itu. Itu sebabnya, yang merasa dirugikan, kontan berteriak. Atau diam-diam membeli sendiri ke desa-desa. Adapun bagi yang bukan pedagang, ribut-ribut soal cengkeh itu bukan hanya timbul karena keuntungan dari kebun agak berkurang ketimbang bisnis itu dibebaskan saja. Isyu cengkeh yang justru berbeda hangatnya dengan suksesnya penyelenggaraan MTQ, tergugah sebagai puncak kritik terhadap kepemimpinan Worang yang angker itu. Ketika butir-butir cengkeh terakhir diturunkan dari pohon awal bulan ini, ada yang mengutip Kitab Suci Kristen dengan berharap butiran itu "bagaikan tangan yang menulis di dinding." Dan ketika heboh itu merambat ke Jakarta lewat surat seorang petani cengkeh dalam Kontak Pembaca Sinar Harapan orang menganggapnya bagaikan teriakan anak kecil dalam dongeng Andersen: "Raja tidak pakai baju." Semenjak saat itulah, tim Sudomo ditunggu dari Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus