JARUM jam menunjuk angka sembilan di Blang Meurandeh, sebuah dusun terpencil di Aceh Barat, tempat waktu semestinya berhenti. Sunyi. Kecuali desau angin, gemericik air Sungai Beutong, dan suara Teungku Bantaqiah, 52 tahun, yang sedang memimpin pengajian di atas balai-balai Dayah (Pesantren) Babul Mukkaramah, Jumat pagi itu.
Hari yang biasa di sebuah tempat yang biasa. Kecuali satu hal.
Sekitar 100 pasukan bersenjata Indonesia merangsek ke desa di lereng Gunung Singgahmata itu, di Kecamatan Beutong Ateuh, sekitar 60 kilometer dari Meulaboh. Berkendaraan dua truk serta belasan sepeda motor yang suaranya meraung-raung, mereka lalu menghambur serta menggeledah rumah-rumah penduduk. Dan di depan pesantren, mereka berteriak. "Mana Bantaqiah? Bantaqiah pukimak. Potong lehernya!"
Ketika Bantaqiah keluar, seorang tentara menariknya mendekati pintu pagar. Mereka bercakap sebentar, tak jelas apa yang dibisikkan. Sesuatu jadi jelas sesaat kemudian: tentara lain menghamburkan peluru ke tubuh sang kiai. Bantaqiah terhuyung. Usman, seorang putranya, mencoba memeluknya. Tapi siraman peluru tak berhenti ke arah anak-berbapak itu. Bahkan satu ledakan menggelegar. Menurut seorang saksi mata, sebuah granat menghantam tubuh mereka.
Bantaqiah jatuh dengan mengepalkan tangan ke atas, seraya meneriakkan "Allahu akbar". Dengan wajah menghadap kiblat, dia berenang dalam genangan darahnya sendiri.
Kebrutalan tak berhenti di situ. Tentara kemudian menembaki peserta pengajian, baik laki maupun perempuan, yang tersisa. Setidaknya 31 orang tewas seketika—satu di antaranya adalah istri Bantaqiah. Yang terluka diangkut dengan truk ke arah Takengon. Diperkirakan mereka dihabisi juga dan mayatnya dibuang ke sebuah jurang. Sampai Sabtu pekan lalu, masyarakat dan pemerintah daerah setempat menemukan 52 mayat.
Seorang saksi mata, Teungku Cek Li (bukan nama sebenarnya), memastikan tidak ada kontak senjata. Sejumlah warga sipil, katanya, diminta berbaris sebelum diberondong peluru. "Tentara Indonesia seperti pasukan Nazi ketika membantai kaum Yahudi."
Tentara juga sempat mengumpulkan warga lain serta mengancam bunuh siapa saja yang menceritakan peristiwa itu. Tak aneh jika baru dua hari kemudian kabar buruk itu sampai ke Beutong Bawah, kecamatan terdekat, lalu ke Meulaboh dan dunia selebihnya.
Namun, militer punya versi cerita lain. Kolonel Syariffudin Tippe, Danrem 012/Teuku Umar, mengatakan telah terjadi kontak senjata dalam sebuah penggerebekan terhadap "kelompok sempalan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang lari ke ladang ganja". Keterangan ini diperkuat oleh Kepala Pusat Penerangan Hankam/TNI Mayjen Syamsul Anwar, tapi ia membenarkan bahwa tak ada korban dari pihaknya.
Pihak militer mengaku menemukan empat pistol dan senapan, lima magasin, 100 peluru, sebuah handie-talkie, 60 senjata tajam, dan kamera. Juga: dua kilogram ganja kering dan 10 hektare ladang ganja yang siap dipanen.
"Tragedi Beutong Ateuh" itu merupakan kekerasan yang terbesar dan paling berdarah dalam beberapa bulan terakhir. Meski telah mencabut status daerah operasi militer di Aceh, pemerintahan B.J. Habibie tidak mengendorkan operasi pengganyangan terhadap GAM. Kekerasan demi kekerasan telah menyebabkan puluhan ribu warga sipil Aceh mengungsi dari desa-desanya. (Lihat: Selingan, halaman 39).
Tapi, benarkah Bantaqiah adalah pentolan GAM yang mengusahakan ladang ganja untuk membiayai operasi bersenjata? Atau, ia sekadar pemimpin tarekat, yang rindu pada kemurnian moral?
Nama Bantaqiah menyeruak pertama kali pada 1987. Pada Ramadan tahun itu, belasan pengikutnya turun dari Gunung Singgahmata menuju Sigli dan Meulaboh. Mereka mengenakan jubah putih, mengusung bendera merah bergambar pedang dan ayat Alquran, dan mengacung-acungkan golok serta tombak di jalanan. Mereka memaksa para pemilik warung menutup kedainya pada siang hari bulan puasa.
Bentrok dengan aparat terjadi, satu orang tewas tertembak, lainnya ditangkap. Dalam persidangan, terungkap bahwa "Kelompok Jubah Putih" itu adalah "tentara kebenaran Islam yang ingin menegakkan Islam di seluruh dunia". Sebuah cita-cita ambisius dari seorang kiai yang hanya sempat mengenyam kelas III Madrasah Ibtidaiyah (sekolah dasar).
Baru 19 bulan kemudian Bantaqiah menyerahkan diri, setelah menghilang di hutan. Dalam wawancara dengan TEMPO kala itu, Bantaqiah menyatakan prihatin terhadap kemerosotan moral: merajalelanya minuman keras, judi, perzinahan, dan kekosongan masjid. Sikap kerasnya itu, menurut dia, dipicu oleh kemarahan akibat ajarannya dinyatakan sesat dan terlarang oleh Kejaksaan Tinggi Aceh sejak 1984. Dia membantah bersikap "anti-Pancasila dan UUD 1945"—bahkan mengaku memilih Golkar dalam Pemilu 1971.
Bantaqiah mengaku pernah dikontak kelompok GAM, tapi menolak bergabung. Dan kala itu, setelah menyerah dengan imbalan tidak diadili, dia mengatakan "akan menjalani hidup baik-baik".
Namanya hilang, untuk kemudian muncul lagi pada 1993. Bantaqiah ditangkap dalam sebuah penggerebekan ladang ganja. Dalam wawancara dengan TEMPO, dia mengaku menanam ganja sejak 1990, tapi mengatakan tidak tahu bahwa itu merupakan tindakan kriminal. Ganja memang tanaman yang dikenal di Aceh sejak ratusan tahun lalu. Penduduk memakainya sebagai sayuran. Bantaqiah mengakui bahwa uang hasil penjualan ganja dipakainya untuk membiayai pesantren. Toh akhirnya dia menyesal juga, merasa bersalah.
Bantaqiah diadili dan dipenjarakan di Medan. Setelah Soeharto turun, pemerintahan Habibie memberi pengampunan atas sikap baiknya selama berada di tahanan.
Pesantrennya serasa hidup kembali sejak dia pulang, April lalu. Menurut Teungku Cek Li, warga Blang Meurandeh, tak ada kegiatan lain kecuali mengaji di pesantren itu. Juga tak ada ladang ganja di sekitarnya. "Teungku bahkan memelopori pengharaman ganja sejak keluar dari penjara," katanya.
Abdullah Saleh, sepupu Bantaqiah yang menjabat sebagai Wakil Ketua DPW Partai Persatuan Pembangunan Aceh, mengaku bertemu dengan seorang tentara yang sedang beroperasi mencari ladang ganja belum lama ini. Menurut sang tentara, ladang ganja itu seluas 10 hektare, jaraknya sekitar delapan jam dari Beutong Ateuh, dan umur tanamannya dari satu sampai dua tahun. "Padahal, Teungku baru keluar dari penjara tiga bulan lalu," kata Abdullah.
Keterlibatan Bantaqiah dalam GAM ataupun bisnis ganja masih merupakan misteri. Yang bukan misteri: pembantaian keji terhadap dia dan murid-muridnya telah meruncingkan hubungan antara Jakarta dan provinsi itu, di tengah tuntutan referendum—bahkan kemerdekaan—yang kian luas di sana.
Juga menjadi amunisi baru bagi orang-orang Aceh di pengasingan. "Bangsa Aceh berani berkorban apa saja demi kemerdekaannya," kata Zaki Mubarak, staf Biro Penerangan Aceh Merdeka pimpinan Hasan Tiro di Swedia, kepada TEMPO lewat saluran telepon internasional. "Kami akan menggunakan semua saluran—termasuk cara kekerasan bersenjata. Aturan internasional membolehkan perjuangan kemerdekaan menggunakan senjata," katanya.
Blang Meurandeh yang sunyi bakal menjadi picu spiral kekerasan di Aceh yang kian gegap-gempita.
Farid Gaban, Arif Zulkifli, Mustafa Ismail (Jakarta), Zainal Bakri (Lhoksemauwe)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini