API menjilat lembar demi lembar kertas draf kontroversial itu. Bambang Widjojanto dan Munir sengaja membakarnya. Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) tadi benar-benar tak ingin menutupi kejengkelannya atas draf Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Keselamatan Negara bikinan pemerintahan Habibie. Sebuah diskusi yang panas digelar di Kantor YLBHI, Jakarta, Rabu pekan lalu.
Penolakan memang membara di mana-mana sejak RUU Darurat itu—sebut saja demikian—disetorkan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Feisal Tanjung ke DPR, awal pekan kemarin. Alasan yang dikedepankan: untuk memenuhi amanat Ketetapan MPR Nomor X/1998 yang telah mencabut Undang-Undang Antisubversi.
Padahal, isinya tak kalah "jahat". Megawati Soekarnoputri mengecamnya sebagai ancaman bagi hak asasi manusia. Beleid ini memang membuka pintu lebar-lebar bagi berkembang biaknya militerisme. Tentara bisa mengambil tindakan represif atas segala hal yang dinilai mengancam keselamatan negara. Pasal 21, misalnya, menyatakan, atas perintah presiden selaku penguasa daerah militer pusat, panglima berwenang melakukan pemeriksaan, penggeledahan, dan penyitaan, termasuk menguasai sarana telekomunikasi sampai memberangus pers.
Yang lebih gawat, untuk menetapkan kondisi darurat, presiden diberi blangko mandat. Suara parlemen tak perlu didengar dulu. Dan begitu penetapan dilakukan, praktis negara akan dikendalikan dengan hukum militer, dan waktu itu para jenderallah yang berkuasa. Tak aneh jika Faisal Baasir dari Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) melihat RUU itu lebih mundur ketimbang Undang-Undang Nomor 23/1959 tentang Negara dalam Keadaan Bahaya, yang dinilai sudah kedaluwarsa.
Rancangan ini pun dicurigai menyimpan sejumlah skenario politik kelompok militer dan Habibie di sidang umum mendatang. Dalam kacamata seorang petinggi FPP, jika sidang membentur jalan buntu, militer bisa mengambil oper kekuasaan secara konstitusional. Keadaan ini dianggap oleh analis politik sangat menguntungkan Habibie. Sebab, Panglima TNI Jenderal Wiranto adalah rekan duetnya selama ini. Mereka juga berada dalam satu paket calon pemimpin nasional dari Golkar.
Ada dugaan, RUU itu bisa dipakai meredam massa Mega kelak. Dari markas PDI Perjuangan terbetik kabar, massa Banteng akan memerahkan Senayan saat Sidang Umum MPR digelar. Untuk apa? "Untuk memastikan ibu mereka dilantik (menjadi presiden)," kata sang komandan. Nah, RUU Darurat akan menjadi barikade yang efektif. Apalagi draf gawat itu punya pendamping: RUU Rakyat Terlatih, yang juga sudah masuk ke DPR. Ini kontan mengingatkan pada skandal pembentukan Pam Swakarsa untuk mengawal Sidang Istimewa MPR akhir tahun lalu, yang buntutnya bentrokan berdarah yang merenggut 19 nyawa.
Keterangan seorang jenderal mengonfirmasikan skenario itu. Cilangkap, markas TNI, jauh-jauh hari sudah menghitung bahwa sidang umum bakal panas. Maka, UU Antisubversi yang sudah tak populer perlu diganti dengan "tameng" baru yang harus selesai sebelum sidang umum dibuka. Wakil Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Brigjen Sudrajat juga melihat urgensi itu. "Kami melihat pentingnya RUU ini segera diberlakukan sebelum sidang umum," kata calon Kapuspen ini. Tapi ia menolak mengaitkan RUU itu dengan skenario militer-Habibie tadi.
Dan sumber di FPP membenarkan adanya desakan kuat untuk segera meloloskan RUU Darurat itu. Padahal, jika sidang umum digelar awal Oktober, dipotong masa reses dua minggu dan hari libur, praktis anggota DPR hanya punya 24 hari kerja lagi di Senayan. Itu sebabnya Wakil Sekretaris FPP Lukman Hakiem menyatakan akan menolak RUU berbahaya itu.
Apa yang diinginkan pihak militer? Pengamat politik J. Kristiadi menginformasikan bahwa Panglima TNI Jenderal Wiranto sebenarnya tak setuju dengan RUU itu. Tapi, karena yang ngotot adalah seniornya, Menteri Feisal Tanjung, Wiranto tak bisa berbuat banyak. Rancangan itu memang tidak diteken oleh Wiranto, tapi oleh Feisal sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan ad interim. Pada saat penekenan itu, 19 Juli, Wiranto terbang ke Singapura untuk menerima bintang penghargaan dari Negeri Singa. Draf RUU Darurat juga sudah disusun sejak 1997, saat posisi Menteri Pertahanan dan Keamanan masih dijabat Feisal.
Tapi seorang jenderal membantahnya. Menurut dia, Wiranto sendiri yang berinisiatif mengeluarkannya dari laci Sekretariat Negara. Informasi dari Departemen Kehakiman juga mengukuhkannya. RUU ini sudah dibahas bersama Menteri Muladi sekitar enam bulan lalu. Ketika itu, isinya dinilai terlalu sangar dan bakal ditentang habis-habisan. Mereka lalu memberikan rekomendasi kepada Jenderal Wiranto untuk merevisinya dulu. Karena tak digubris, Muladi kabarnya emoh meneken drafnya.
Jika RUU yang sudah memicu kisruh sejak awal ini dipaksakan lolos, itu artinya Sidang Umum MPR bakal lebih "panas".
Karaniya Dharmasaputra, Andari Karina Anom, Darmawan Sepriyossa, Arif Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini