Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Usul DPRD Pilih Gubernur dan Bupati, Prabowo: Anggaran Pilkada Bisa Digunakan untuk Kebutuhan Rakyat

Titi Anggraini, menilai pilkada melalui DPRD berpotensi menimbulkan tindak kesewenang-wenangan elite partai karena tidak melibatkan aspirasi rakyat

13 Desember 2024 | 10.53 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto mengusulkan pesta demokrasi untuk memilih DPRD saja. Setelah itu, DPRD yang nanti akan memilih gubernur hingga bupati. Menurut Prabowo, sistem itu lebih efisien dan bisa menekan banyak biaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien, Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah DPRD itulah yang milih gubernur, milih bupati," kata Ketua Umum Partai Gerindra ini dalam sambutannya pada Puncak Perayaan HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul International Convention Center (SICC), Kamis 12 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Prabowo, opsi itu bisa dilakukan untuk menekan banyaknya anggaran yang dialokasikan untuk menggelar Pilkada. Anggaran sebesar itu, kata Prabowo, lebih baik digunakan untuk kebutuhan masyarakat.

"Efisien enggak keluar duit? Uang yang bisa beri makan anak-anak kita, uang yang bisa perbaiki sekolah, bisa perbaiki irigasi," kata Prabowo.

Belum lagi banyaknya anggaran politik yang harus dikeluarkan peserta pilkada. Dengan keadaan itu, Prabowo menyarankan perlu ada evaluasi sistem secara bersama-sama.

"Berapa puluh triliun habis dalam satu-dua hari, dari negara maupun dari tokoh-tokoh politik masing-masing," kata Prabowo. 

Adapun dalam perayaan HUT Golkar itu dihadiri banyak Ketua Umum Partai Politik seperti Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Prabowo lantas melempas usulan itu kepada ketua umum partai. 

"Ini sebetulnya begitu banyak ketum parpol di sini. Sebenarnya kita bisa putuskan malam ini juga, gimana?" Kata Prabowo.

Usulan ini sebelumnya juga disampaikan Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid. Ia mengusulkan agar pemilihan gubernur dilaksanakan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD masing-masing provinsi.

Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI itu mengungkapkan alasannya karena pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 berbiaya tinggi.

Jazilul memberikan contoh, pemerintah harus mengeluarkan biaya lebih dari Rp 1 triliun untuk Pilkada Jawa Barat. Belum lagi ditambah biaya pemilihan gubernur di wilayah lainnya.

"Itu bukan anggaran yang kecil. Kalau yang Rp 1 triliun itu diberikan ke salah satu kabupaten di salah satu provinsi, di NTT misalnya, itu bisa membuat ekonomi bangkit," kata Jazilul di Jakarta, Kamis, 28 November 2024, dikutip dari Antara.


Berpeluang Timbulkan Tindak Kesewenang-wenangan Elite Partai

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem, Titi Anggraini, menilai pemilihan gubernur melalui DPRD berpotensi menimbulkan tindak kesewenang-wenangan elite partai karena tidak melibatkan aspirasi masyarakat.

“Bisa memutus mata rantai aspirasi publik dan menimbulkan kesewenang-wenangan elite,” kata Titi saat dihubungi melalui WhatsApp, pada Ahad, 1 Desember 2024.

Meski begitu, Titi tidak menampik pemilihan gubernur oleh DPRD dapat menawarkan proses yang lebih mudah dan efisien. Namun, kata Titi, hasil pemimpin yang diputuskan hanya berbasis terhadap kesepakatan eksklusif para elite partai tanpa mengakomodasi suara dan harapan masyarakat.

Dalam pelaksanaan pilgub dengan dipilih oleh rakyat, kata dia, juga masih ditemukan keputusan pencalonan yang berbeda dengan konstituen partai.

“Apalagi kalau diambil alih sepenuhnya oleh wakil partai di DPRD,” ujarnya. 

Menurut dia, pelaksanaan pemilihan gubernur secara langsung maupun melalui pemerintah berpotensi terjadinya politik uang. Akan tetapi, perbedaannya terletak pada pemberian uang atau material yang diberikan kepada anggota DPRD.

“Mestinya yang dibenahi adalah pengaturan dan penegakan hukumnya. Bukan dengan serta merta mengubah sistem,” kata dia.

Titi menuturkan, selama penegakan hukum masih lemah dan perilaku koruptif masih terbiarkan, apapun mekanisme pemilihannya pasti akan bermasalah.

“Yang terjadi malah bisa makin mengokohkan oligarki dan hegemoni elite,” tuturnya. 

Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia itu juga menegaskan jika budaya tersebut dibiarkan dapat memicu ketidakpercayaan dan ketidakpuasan publik terhadap kepemimpinan yang dibentuk sehingga berpotensi mengganggu kondusifitas pemerintahan daerah.

Alfitria Nefi berkontribusi dalam tulisan ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus