Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

100 Hari Prabowo-Gibran, Dosen Fisipol UGM Soroti Kepahlawanan Palsu dalam Penegakan Hukum Korupsi

Prabowo menerapkan kepahlawanan palsu atau fake heroism, proses penegakan hukum korupsi selama 100 hari tidak pernah menyentuh akar persoalan utama.

4 Februari 2025 | 08.03 WIB

Presiden Prabowo Subianto bersama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memberikan keterangan pers sebelum bertolak ke India melalui Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, 23 Januari 2025. Tempo/Imam Sukamto
Perbesar
Presiden Prabowo Subianto bersama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memberikan keterangan pers sebelum bertolak ke India melalui Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, 23 Januari 2025. Tempo/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, mengamati bahwa Presiden Prabowo Subianto menerapkan kepahlawanan palsu atau fake heroism sehingga proses penegakan hukum korupsi selama 100 hari kerja pemerintahan pertama tidak berjalan sempurna. 

Menurut Alfath, Prabowo memainkan situasi suasana kebatinan publik yang dapat disebut sebagai bagian dari kepahlawanan palsu atau fake heroism. Prabowo memaksa publik untuk percaya pemerintah memiliki gebrakan dalam mengatasi korupsi di Indonesia. Akan tetapi, jika diamati lebih dalam, pemain utama kasus korupsi di Indonesia belum mampu menjangkau para pemain utama. 

“Dia (Prabowo) memaksa publik untuk melihat kalau ternyata pemerintah itu punya gebrakan untuk menangkap para koruptor, tapi kalau misalkan kita cek secara lebih detail, sebenarnya bukan.” katanya kepada Tempo, Jumat, 31 Januari 2025.

Saat ini, urusan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di era pemerintahan Prabowo-Gibran kian rumit karena tidak ada gebrakan baru yang bisa diterapkan. Prabowo pernah menyatakan keinginannya untuk mengejar koruptor hingga ke Antartika. Tetapi, Prabowo justru terkesan ingin memaafkan koruptor juga mengembalikan dana korupsi. 

“Bisa terlihat dari beberapa pernyataan Prabowo di publik yang kemudian menyatakan semula akan mengejar koruptor sampai ke Antartika, tapi setelahnya justru Prabowo terkesan ingin memaafkan koruptor sepanjang dia mengembalikan dana korupsi. Tendensi soal itu sudah muncul di publik dan menunjukkan bahwa Prabowo tidak punya komitmen politik kuat untuk pemberantasan korupsi,” kata Alfath.

Dalam kasus penangkapan korupsi, tidak dapat dipungkiri bahwa hanya para bawahan yang sudah mendapatkan penindakan secara hukum. Hal tersebut belum cukup mampu menghentikan atau menyelesaikan persoalan korupsi yang bersifat struktural.

“Jadi itu disebut sebagai pahlawan palsu atau fake heroism. Ia menangkap seolah-olah keren dan baik, tapi tidak pernah menyelesaikan inti persoalan karena akarnya tidak pernah disentuh,” kata Alfath.

Selama 100 hari pertama kerja, sudah muncul beberapa penangkapan terkait dugaan korupsi, seperti kasus korupsi 1 triliun oleh eks pejabat Mahkamah Agung, kasus judi online yang menyeret Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia, dan bahkan isu soal pagar laut Namun, belum ada tindakan besar yang dijalankan oleh pemerintah untuk menggali isu tersebut hingga akarnya.

“Di titik ini, sebenarnya kita melihat negara sedang berselingkuh dengan yang namanya koruptor. Di titik ini, kita bisa melihat 100 hari pertama belum menunjukkan kinerja yang memadai,” ujarnya.

Alfath sebelumnya juga telah mengamati klaim yang diberikan politisi Gerindra sebagai penyokong utama Prabowo yang mengatakan bahwa Presiden tersebut telah berkoordinasi dengan pihak Jaksa Agung soal agenda pemberantasan korupsi serta penanganan perizinan ilegal. Namun Alfath belum melihat komitmen tersebut sebagai kebijakan pemberantasan korupsi yang cukup. Untuk melihat keefektifan kebijakan, maka perlu terukur dari akar permasalahan terlebih dahulu.

Salah satu permasalahan dari penegakan hukum yang menghambat pemberantasan korupsi adalah soal lembaga KPK yang tidak lagi dapat dikatakan independen. Saat ini, KPK dipimpin oleh pihak yang dipilih Presiden sebelumnya, yakni Jokowi. Setyo Budiyanto yang merupakan Ketua KPK saat ini dipilih oleh Jokowi sebelum lengser.

“Orang-orang yang kemudian terpilih di awal pemerintahan Prabowo-Gibran adalah orang-orang yang telah dikehendaki Jokowi. Artinya, Jokowi tidak akan dikait-kaitkan dengan isu korupsi karena orang-orang yang terpilih menjadi komisioner di era Prabowo-Gibran adalah orang-orang yang sudah disepakati Jokowi,” kata Alfath.

Menurut Alfath, KPK harus mewakili kepentingan publik, bukan kepentingan kelompok tertentu. “Korupsi kan persoalan sistemik, maka cara untuk merespon dan menjawabnya harus dilakukan dengan cara sistemik. Nah, itu bisa dimulai dari pemilihan pimpinan KPK yang benar-benar mewakili kepentingan publik, kemudian kewenangannya ditingkatkan bukannya justru dikurangi,” ujar Alfath.

Pilihan Editor: Dosen Fisipol UGM Membedah Kegagalan Independensi KPK

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus