PERISTIWA ini penting bagi dunia, tapi memang tak menarik buat berita utama koran internasional. Yaitu: Indonesia berhasil mengerem laju pertumbuhan penduduknya yang kini di atas 170 juta. Kenapa? Manusia di bumi, kini telah melebihi 5 milyar. Bila di tahun 1950 cuma ada satu kota di dunia ini yang berpenghuni lebih dari 5 juta, menjelang tahun 2000, kota seperti itu akan ada 46 buah. Dengan penduduk yang berdesak-desak, tingkat pengangguran di negeri berkembang, kini mencapai 30%. Di tengah kemuraman itu, bukankah suatu alhamdulillah bila Indonesia bisa mengurangi sumbangannya bagi kepadatan bumi? Maka pengakuan tentang itu pun, pekan lalu, diberikan oleh The Population Institute, sebuah organisasi nonpemerintah yang berdiri sejak 1969, dan berpusat di Washington D.C., AS. Presidennya, sejak 1982, Werner Fornos, seorang pejuang gigih di bidang kependudukan, datang ke Jakarta, dan berkata, "Sukses Indonesia patut jadi teladan ke seluruh dunia." Dengan itulah Fornos memberikan penghargaan Population Award untuk tingkat negarawan kepada Presiden Soeharto, kepala negara pertama yang dapat kehormatan itu. "Presiden Soeharto sangat berperan, bukan hanya dalam memprioritaskan keluarga berencana dalam agenda nasional, tetapi juga dengan mengakrabkan secara pribadi soal ini dalam penampilannya yang sering di depan khalayak," demikian kata-kata penghargaan yang diberikan di Istana Negara, pekan lalu itu. Pak Harto, memang, telah membuat sejarah. Setelah bertahun-tahun Indonesia mengabaikan soal membengkaknya jumlah penduduk, ia menandatangani Deklarasi Kependudukan bersama 26 kepala negara lain. Itu terjadi di tahun 1968, baru 24 bulan setelah ia memulai kepemimpinannya. Dua tahun kemudian, pemerintah Indonesia menetapkan satu target: laju pertumbuhan penduduk akan mereda, hanya separuh dari sebelumnya, menjelang tahun 2000. Dengan program yang kini menyebar, sebanyak 20 ribu pekerja lapangan yang terlatih dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Program ini juga dibantu oleh sekitar 100 ribu sukarelawan. Kini sebanyak 16 juta rumah tangga mengikuti program itu. Jumlah, ini, diperkirakan, meliputi dua pertiga dari jumlah manusia usia subur di Indonesia. Hasilnya, menurut penilaian The Population Institute, sudah nampak. "Di tahun 1985, angka kelahiran turun sebesar 41%," kata lembaga itu, "dan ini memperlambat laju pertumbuhan, setahun jadi 2,1%." Angka kependudukan Indonesia, konon, sebenarnya tak terkenal konsisten, bisa berbeda dari kantor yang satu ke kantor lain. Tapi dari angka Biro Pusat Statistik nampak: laju pertumbuhan antara 1971-1980 mencapai 2,3% setiap tahunnya akhir 1983, menurut Bappenas, angka itu jadi 2,2%. Jika benar angka 2,1% untuk tahun 1985, dengan trend yang menurun terus, Indonesia bakal bernapas dari tekanan jumlah penduduk di masa datang. Di situlah nilai historis langkah Presiden Soeharto di tahun 1968 dan 1970 itu. Apalagi cara pengendalian pertumbuhan penduduk di Indonesia tak disertai kerusuhan seperti yang meletup di negeri lain. Tak ada paksaan seperti pernah dicoba dengan sterilisasi di India, dan gagal. Di Indonesia, seperti kata Presiden Soeharto di Istana Negara, pekan lalu itu, program itu dilakukan dengan "menyentuh hati nurani masyarakat". Artinya, ada persuasi, bukan instruksi. Maka memang wajar bila lembaga nonpemerintah, termasuk pers, jadi penting. Maka Presiden pun menyambut gembira bahwa The Population Institute, tahun ini, juga memberikan satu penghargaan buat seorang wartawan Indonesia untuk reportasenya tentang ikhtiar besar nasional itu. Nusraeini Meliala, wartawan Majalah Femina, ibu tiga anak, terpilih tulisannya di antara 14 tulisan wartawan di media dunia yang lain, termasuk The Economist dan International Herald Tribune. Dia bukan wakil Indonesia pertama yang menang. RRI sebelumnya juga pernah dapat penghargaan dari lembaga yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini