WARGA Indonesia yang mencari rezeki di Johor Baru, Malaysia, belakangan, sulit tidur nyenyak. Soalnya, sejak akhir Oktober lalu, Kepolisian Johor Baru melancarkan razia besar-besaran. Sasarannya: TKI. Penangkapan massal itu bermula dari terjaringnya Andyes bin Ismail pada pertengahan Oktober lalu. Pemuda Indonesia pemegang kartu identitas warna biru -- yang sebenarnya untuk WN Malaysia -- itu kedapatan sedang menyerahkan kartu merah kepada seseorang. Setelah diselidiki, kartu biru yang dimiliki maupun kartu merah yang hendak diserahkan itu, ternyata, palsu. Dari saku Andyes disita pula dua kartu biru dan empat kartu merah. Semuanya palsu. Kepada petugas, ia mengaku, menjual M$250 per kartu. Andyes ditahan di bawah Akte Imigrasi. Ini berarti Andyes langsung masuk tahanan, tanpa menunggu proses pengadilan. Menurut UU Malaysla, siapa saja yang dicurigai melanggar hukum, harus diajukan ke Pengadilan Rendah (magistrate) dalam tempo 24 jam. Bila penahanan diperpanjang, tidak boleh melebihi 15 hari. Kalau lebih, digunakan Akte Imigrasi. Adanya pemalsuan itulah yang menyebabkan polisi melancarkan razia. Hingga awal Desember ini, dari 242 yang ditahan, 180 di antaranya sudah dibebaskan. Itu pun setelah keaslian kartu merah mereka disahkan Kantor Pendaftaran Penduduk di Petaling Jaya, Selangor. Achmad Toha, pemuda asal Krian, Jawa Timur, baru saja salat Dzuhur di Mesjid Tun Abdul Razak, ketika dua petugas menghampirinya. Tanpa diproses, ia langsung diangkut dengan truk, bersama ratusan warga Indonesia lainnya. Padahal, selain memegang paspor, Toha juga punya kartu merah. Buruh bangunan itu sempat menginap 11 hari di tahanan. Hari-hari yang sulit dilupakan. "Kalau sudah begini, apa artinya kartu merah, toh tetap ditangkap seperti yang tidak punya," ujar Toha. Pengalaman Salman Al Fariz, ditangkap sewaktu membeli tiket di stasiun kereta api. Kendati sudah menunjukkan paspor dan kartu merah, ia juga diangkut. Malah, Salman sempat disuruh membuka pakaiannya dan kena kemplang dua kali. Setelah disekap 11 hari, ia dilepas. Perlakuan tak wajar itu, secara tidak langsung, diakui oleh Mayor Mohd. Ali Yusuf, Deputi Komandan Polisi Johor Baru. "Umumnya, yang ditahan adalah buruh kasar. Omongan dan tindakan mereka juga kasar," kata Ali. "Makanan terlambat datang, diprotes. Begitu datang diserbu, sehingga ada yang tidak kebagian. Kepada mereka, terpaksa diberi teguran keras," lanjutnya. Menurut Ali, operasi penangkapan itu diadakan, antara lain, untuk menjaring sindikat pemalsu kartu identitas. Bila pemegang kartu asli ada yang tertangkap, itu hanya ekses. Namun ada yang menduga, razia besar-besaran itu dimaksudkan untuk memperkecil tindak kejahatan di Johor Baru. Pendatang asing tanpa izin (PATI), yang ditangkap tahun 1986, tercatat 4 ribu lebih, 3,7 persen di antaranya warga Indonesia. Dan sampai April 1988 menurun menjadi hampir 600 orang. Dari jumlah itu, warga Indonesia yang terlibat ada 11 orang. Sementara itu, jumlah warga Indonesia yang tinggal di Johor Baru, diperkirakan, mencapai 60 ribu lebih. Heboh diJohor Baru itu, memang, mengundang perhatian KBRI Malaysia. "Kalau hal itu dilakukan demi keamanan dan ketertiban, tentu, kami dukung," kata Otto Sidharta, Kepala Bagian Konsuler. "Hanya saja, bila yang ditahan itu memegang paspor RI, sebaiknya, dilaporkan ke KBRI," tambahnya. Ekram H. Attamini (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini