Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto kembali menjadi sorotan setelah mengemukakan wacana pemberian pengampunan kepada para koruptor yang bersedia mengembalikan hasil curian mereka ke negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan ini ia sampaikan dalam pidatonya di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pada Rabu, 18 Desember 2024. Wacana tersebut memunculkan beragam reaksi dari masyarakat, ahli hukum, hingga para pengamat politik. Berikut fakta-fakta yang perlu diketahui terkait isu ini:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. Kesempatan Tobat bagi Koruptor
Dalam pidatonya, Prabowo menawarkan "jalan keluar" bagi koruptor dengan syarat utama: mengembalikan uang hasil korupsi ke negara. Ia bahkan berjanji bahwa tindakan ini akan dilakukan tanpa publikasi agar para pelaku merasa lebih nyaman. "Hey para koruptor atau yang pernah mencuri, kalau kembalikan yang kau curi, akan saya maafkan," demikian ucap Prabowo.
2. Potensi Risiko Transparansi dan Akuntabilitas
Namun, kebijakan ini menuai kritik, terutama dari Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. Ia menilai bahwa wacana ini berpotensi melemahkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Dalam pandangannya, jika tidak ada mekanisme yang jelas untuk memverifikasi jumlah uang yang dikembalikan, maka sulit memastikan integritas proses tersebut. "Transparansi dan akuntabilitas itu penting. Kalau tidak ada yang melapor, tidak bisa dipastikan jumlah yang diserahkan kepada negara benar atau tidak," tegas Mahfud.
3. Dasar Hukum Pemberian Pengampunan
Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, menegaskan bahwa pemberian amnesti kepada koruptor sebenarnya tidak bertentangan dengan konstitusi. Menurut Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945, presiden memiliki kewenangan untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi, asalkan didasarkan pada pertimbangan Mahkamah Agung dan persetujuan DPR. Meski demikian, Yusril menekankan pentingnya kehati-hatian dalam penerapan kebijakan ini.
4. Kontradiksi dengan Sikap Tegas Sebelumnya
Pernyataan ini dianggap bertentangan dengan komitmen Prabowo sebelumnya untuk memberantas korupsi. Pada Maret dan Agustus 2024, ia berulang kali menekankan komitmen untuk tidak berkompromi terhadap korupsi, bahkan menjanjikan alokasi anggaran khusus guna mendukung pemberantasan korupsi.
5. Efektivitas Kebijakan Dipertanyakan
Boyamin Saiman, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), meragukan bahwa koruptor akan bersedia mengembalikan uang hasil curian secara sukarela. "Koruptor yang sudah disidangkan saja sering mengaku tidak bersalah, bagaimana caranya mereka mau mengembalikan uang yang dicuri?" ungkap Boyamin.
6. Pro dan Kontra dari Berbagai Pihak
Kebijakan ini memicu reaksi beragam. Lakso Anindito dari IM57+ Institute menyatakan bahwa wacana ini bisa menjadi justifikasi untuk meringankan hukuman koruptor dengan dalih pemulihan aset. Di sisi lain, Yusril berpendapat bahwa pengampunan dapat memberikan manfaat nyata bagi negara jika diiringi dengan pengembalian aset dalam jumlah signifikan. "Presiden Prabowo memiliki kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terhadap tindak pidana apapun, termasuk tindak pidana korupsi," tutur Yusril. Kendati demikian, sesuai amanat konstitusi, Presiden akan meminta pertimbangan DPR sebelum memberikan amnesti dan abolisi.
7. Harapan Mahfud MD
Mahfud MD menambahkan bahwa pengampunan saja tidak cukup untuk memberantas korupsi. Ia menyarankan agar pemerintah lebih fokus mengungkap jaringan korupsi yang menjadi "pelindung" para koruptor. Selain itu, pembukaan kasus-kasus korupsi besar yang selama ini terhambat juga harus menjadi prioritas utama.
Hendrik Yaputra, Hendrik Khoirul Muhid, Annisa Febiola, Dinda Shabrina dan Ervana Trikarinaputri turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.