Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 30 Oktober 2024, dermaga Pulau Hatta ambruk setelah para korban bersama warga naik karena ingin menjemput rombongan pasangan Calon Bupati-Wakil Bupati, Andi-Tina. Peristiwa ini membuat semua orang tercebur ke laut. Tim SAR gabungan dari Pos SAR Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, telah mengevakuasi tujuh korban meninggal dunia akibat tertindih material dermaga dengan konstruksi beton tersebut.
“Dua dari korban meninggal dunia langsung diserahkan kepada keluarganya di Pulau Hatta,” kata Kepala Kantor Pencarian dan Pertolongan Basarnas Ambon, Muhamad Arafah, pada Kamis, 31 Oktober 2024, seperti diberitakan Antara.
Adapun, tujuh korban meninggal dunia akibat dermaga ambruk di Pulau Hatta; antara lain mantan anggota DPRD Maluku 2019-2024, Ruslan Hurasan; anggota DPRD Maluku Tengah 2024-2024, Andan Teja Nurbati; Amrin Laka; Musbai Raharusun; Wa Salina Ladjama Husin Sama; dan Hamim. Selain itu, terdapat belasan korban mengalami luka-luka ringan dan berat.
Pulau Hatta
Berdasarkan Instagram resmi @rozengainpulauhatta, Pulau Hatta atau Pulau Rozengain terletak di Desa Rozengain, Kecamatan Kepulauan Banda, Maluku Tengah, Maluku. Pulau ini terletak 25 kilometer di sebelah timur Kepulauan Banda. Saat ini, pulau ini hanya memiliki dua permukiman kecil tanpa fasilitas apa pun.
Penamaan Pulau Hatta diambil dari salah satu proklamator Indonesia, Mohammad Hatta. Sebab, pulau ini adalah tempat pengangsingan Hatta bersama dengan Sutan Sjahrir. Meskipun nama asli pulau ini adalah Pulau Rozengain, untuk menghormati Hatta, pemerintah Maluku mengubah nama pulau ini menjadi Pulau Hatta.
Kisah Bung Hatta bersama Sjahrir di Tanah Banda dimulai pada 11 Februari 1936 karena diasingkan sebagai tahanan politik oleh kolonial Belanda. Saat itu, alasan Belanda sengaja mengasingkan Hatta dan Sjahrir untuk melunakkan sikap mereka agar bisa merapat kepada VOC.
Pada awal kedatangannya, Hatta dan Sjahrir menempati rumah Iwa Koesoemasoemantri di belakang kantor pemerintahan VOC selama sepekan. Mereka selalu memikirkan tentang perlawanan politik dengan VOC untuk memerdekakan Indonesia. Namun, mereka tidak nyaman tinggal dekat dengan kantor VOC sehingga memutuskan untuk pindah ke rumah kosong dari tuan tanah. Mereka sempat tinggal di tempat satu rumah yang sama. Namun, akhirnya Sjahrir memutuskan untuk tinggal di rumah yang tidak jauh dari rumah pengasingan Hatta.
Rumah pengasingan Hatta berada di Desa Dwiwarna, Banda Neira, berdiri di atas lahan seluas 660 meter persegi dengan luas bangunan 441 meter persegi. Rumah pengasingan ini memiliki tiga bangunan utama yang setiap sudutnya menyimpan memorabilia Wakil Presiden Indonesia pertama ini.
Selain itu, sekitar enam meter di belakang rumah pengasingan tersebut, Hatta mendirikan sekolah untuk anak-anak Banda Neira. Pada sekolah sore ini, Hatta dan Sjahrir mengajari anak-anak Banda pelajaran aritmatika hingga Bahasa Inggris. Syahrir mengajar anak-anak kecil, sedangkan Hatta mengajar anak yang lebih besar. Hatta juga menunjukkan sikap nasionalisme dengan turut mengecat beberapa perahu nelayan di Banda Neira bersama anak-anak.
Pada Februari 1942, Hatta dan Sjahrir mengakhir masa pengasingan di Banda Neira. Lalu, pada 1972, Hatta kembali mengunjungi rumah "kampung halamannya" di Banda Neira yang mendapat sambutan hangat dari warga setempat. Saat ini, rumah pengasingan tersebut dirawat dan dijaga dengan baik sebagai peninggalan Hatta yang memiliki jasa besar terhadap warga Banda Neira. Dengan demikian, salah satu pulau di Banda Neira dinamakan Pulau Hatta.
Pilihan Editor: Rekomendasi 5 Destinasi Wisata Wajib Kunjung di Banda Neira, Ada Pulau Hatta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini