Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

91 Tahun Harry Tjan Silalahi: Jalan Panjang Pendiri CSIS

Hari ini, 91 tahun silam, hari kelahiran politikus dan pendiri lembaga kajian CSIS, Harry Tjan Silalahi. Berikut jalan panjang hidupnya.

11 Februari 2025 | 19.20 WIB

Harry Tjan Silalahi. TEMPO/Seto Wardhana
Perbesar
Harry Tjan Silalahi. TEMPO/Seto Wardhana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, 11 Februari 1934 atau 91 tahun silam, merupakan hari kelahiran politikus dan pendiri lembaga kajian Central Strategic International Studies (CSIS), Harry Tjan Silalahi atau Tjan Tjoen Hok. Dia dikenal sebagai politisi intelektual dengan pandangan yang terbuka dan moderat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Dilansir dari Esi.kemdikbud.go.id, lahir di Kampung Terban, Yogyakarta, Harry Tjan adalah anak kedua dari sepuluh bersaudara. Ayahnya, dokter Yap, adalah seorang mantri di Rumah Sakit Mata dr. Yap, salah satu rumah sakit khusus mata yang sangat terkenal di Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Seperti disadur dari buku “Mempertahankan Cita-cita Menjaga Spirit Perjuangan: Refleksi 80 Tahun Harry Tjan Silalahi” oleh Soedarmanta, sejak usia muda Harry Tjan sudah aktif dalam berorganisasi, yang lalu jadi bukti bahwa ia adalah sosok yang terbuka dan moderat.

Menurut Jusuf Wanandi, seperti dikutip Soedarmanta dalam bukunya, Harry Tjan yang sangat berminat sekali pada politik. Oleh karenanya, ia bergabung dan sangat aktif dalam gerakan pemuda-pemudi peranakan Tionghoa: Chun Lien. Ia menjadi ketua organisasi dan nama perkumpulannya berubah menjadi Persatuan Pelajar Sekolah Menengah Indonesia (PPSMI).

Sebagaimana dikutip dari laman ESI Kemendikbud, Harry Tjan diharapkan keluarganya menjadi orang yang berpendidikan guna memiliki pengetahuan yang tinggi dibandingkan masyarakat umumnya saat itu. Dengan demikian, dia dapat menjadi seorang ‘priayi’ yang memiliki status sosial dan tingkatan hidup lebih baik.

Oleh karenanya, setelah lulus SMA De Brito, Yogyakarta, Harry Tjan pindah ke Jakarta untuk kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Di Jakarta, tepatnya setelah 1955, ia aktif dalam perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Ia juga aktif di Perhimpunan-Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI).

Harry Tjan kemudian lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1962. Setelahnya ia merantau ke Pekanbaru, Riau dan bekerja di sebuah perusahaan minyak Amerika Serikat, Panam Oil, pada 1964. Selama menjadi buruh, ia bergabung dalam perhimpunan buruh Katolik bernama Ikatan Buruh Pancasila, yang memiliki ikatan politik nasional pada akhir masa Orde Lama.

Selama aktif bekerja, Harry Tjan telah menjabat Sekretaris Jenderal Partai Katolik. Namun, kondisi politik Indonesia menjadi tidak menentu bagi Harry Tjan ketika Sukarno menetapkan berlakunya Nasakom, yang membuat Partai Komunis Indonesia (PKI) sangat berkuasa.

Sebagai seorang aktivis Partai Katolik, Harry Tjan harus berseberangan dengan arus besar politik Indonesia saat itu. Dalam menghadapi hal tersebut, Partai Katolik yang minoritas lalu satu haluan dengan berbagai pihak dan kalangan seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Kelompok Subchan di Nahdlatul Ulama (NU) yang secara prinsipiil sangat anti-komunis.

Ia juga menjalin kerja sama dengan kelompok militer. Kegandrungannya.terhadap organisasi membuatnya terus aktif berinteraksi dengan Badan-Badan Kerjasama Militer (BKS Sipil-Militer) pada 1958 untuk melawan pengaruh PKI. Ia berusaha keras mendorong agar keturunan Tionghoa dapat ikut aktif menciptakan Lembaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa (LPKB), cikal bakal Partai Golkar.

Pasca-meletusnya peristiwa pemberontakan PKI pada 30 September 1965, Harry Tjan kemudian aktif dalam berbagai aksi yang dilakukan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Harry Tjan dan rekan-rekannya menyatukan kekuatan politiknya di bawah Soeharto setelah keputusan MPRS menarik mandat kepresidenan dari Presiden Sukarno pada 1967.

Setahun sebelumnya, atau pada 1966, Harry Tjan disebutkan merupakan perintis berdirinya Yayasan Pendidikan Trisakti. Dalam bukunya, Soedarmanta menyebut bahwa ditengah-tengah aksinya sebagai politisi, Harry Tjan masih dapat menorehkan gagasan kemanusiaannya tentang pendidikan bagi umat manusia di Indonesia.

Bagi Harry Tjan, pendidikan merupakan kegiatan penting untuk masa depan Indonesia. Dengan itulah, ia kemudian aktif di berbagai yayasan pendidikan seperti di Universitas Trisakti dan Universitas Tarumanegara di Jakarta, dan Universitas Katolik Widya Mandala (UKWM) di Surabaya.

Setelah Soeharto menjadi Presiden pada 1968 dan Golkar memenangkan Pemilu kedua pada 1971, Harry Tjan berhenti dari perpolitikan. Ia lalu mendirikan CSIS untuk memberikan ide alternatif dan berjangka panjang pada pemerintah. Di CSIS, ia berkarya secara intelektual dengan menyumbangkan pemikiran dan analisisnya bagi masyarakat luas.

Di era Soeharto, Orde Baru tak ramah pada partai-partai berbasis agama. Hal itu juga menyenggol Partai Katolik yang ketika itu disarankan dilebur ke dalam Partai Golkar. Sebagai orang yang pernah di Partai Katolik, Harry Tjan tak senang. Harry Tjan berpendapat bahwa seharusnya Partai Golkar harus menjadi partai kader. Namun Soeharto tidak berkenan menerima pendapat Harry Tjan.

Dalam perjalanan, Partai Katolik bersama-sama Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (Partai IPKI) dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) kemudian menyatukan diri menjadi Partai Demokratis Indonesia atau PDI. Secara tak langsung, Harry Tjan berperan dalam berdirinya Golkar dan PDIP.

Dalam pandangan Jusuf Wanandi, Harry Tjan adalah figur politisi di Indonesia yang memiliki strategi dengan corak yang terlihat lebih konservatif. Hal itu dikarenakan adanya pengaruh masalah-masalah politik di dalam negeri yang menghadapi banyak kendala. Selain itu, pendapatnya selalu mengedepankan nasib bangsa, negara, dan masyarakat pada umumnya.

“Ia tidak pernah memikirkan kepentingan pribadinya sendiri, apalagi mencari kedudukan, pangkat, atau uang. Bagi Harry Tjan, prinsip mendasar adalah tetap mempertahankan pluralisme dalam berbangsa, karena hal tersebut dapat menjamin kesatuan bangsa,” kata Jusuf Wanandi, dikutip Soedarmanta dalam bukunya.

Harry Tjan memang keturunan Tionghoa, namun adanya marga Batak Silalahi di belakang namanya karuan membuat timbulnya pertanyaan. Usut punya usut, marga tersebut didapatkan dari persahabatannya dengan Albertus Bolas Silalahi, yang juga pernah memimpin Partai Katolik. Waktu itu Harry adalah sekretaris jenderal Pengurus Pusat Partai, sementara Albertus ketua di Tapanuli Utara.

Fakta menarik lainnya tentang Harry Tjan adalah sejak lukus dari Universitas Indonesia pada 63 tahun silam, ijazahnya belum pernah diambil. Cerita ijazah yang tidak pernah diambil ini terkenal di sejumlah kalangan. Dalam biografinya Harry Tjan Silalahi bercerita: “Ijazah belum saya ambil sampai sekarang. Soalnya di kantor saya tak ada yang menanyakan ijazah. Lagi pula, yang penting kan kemampuan.”

Menjelang ulang tahun ke 91, Harry Tjan akhirnya melihat ijazah sarjana hukumnya tersebut di Fakultas Hukum UI pada Senin, 3 Februari 2025 lalu. Kunjungan ini merupakan kesempatan pertamanya melihat ijazah tersebut. Ijazah inj merupakan koleksi Museum FHUI. Ketika ditanya apakah ia mau mengambil ijazah tersebut, Harry Tjan Silalahi menjawab,

“Biar di sini saja. Saya merasa terhormat dapat melihat kembali ijazah saya dipajang di museum ini. Ini merupakan pengingat akan perjalanan saya dalam dunia hukum dan kontribusi yang dapat kita berikan untuk bangsa ini,” seperti dikutip dari laman resmi FH UI.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus