UDARA yang sejuk tampaknya ikut membantu rujuknya 2 tokoh AMS
yang selama ini bersengketa. Selama 3 hari sampai 9 April lalu,
di tempat peristirahatan Cipayung di Bogor, organisasi kader
Golkar Jawa Barat itu melangsungkan kongresnya yang kedua.
Suasana mengharukan bahkan sudah tampak di hari pertama kongres.
Tatto S. Pradjamanggala yang masih ketua umum PP AMS dan ketika
itu memimpin sidang, sedang membacakan peraturan tata-tertib.
Hadirin setuju. Tiba-tiba Tjetje H. Padmadinata -- bekas ketua
umum PP AMS sebelum Tatto-muncul. Ia duduk persis depan hidung
Tatto. Lebih kurang 200 utusan dari 22 distrik seluruh Jawa
Barat menyaksikan adegan itu. Terdengar bisik-bisik. Ada pula
yang bergumam.
Tak menduga sama sekali sebelumnya, Tatto sendiri tampak
terkesima. Ia pun buru-buru menyelesaikan pembacaan tata-tertib.
Tak berhasil mencari-cari palu pimpinan sidang, untuk
mengesyahkan tata-tertib itu ia memukulkan kepalan tinjunya ke
meja. "Keduanya kemudian berdiri, bersalaman dan
rangkul-rangkulan. Mereka menangis," tutur Tjetjep Supriatna,
ketua AMS Distrik Bgor kepada Klarawijaya dari TEMPO.
Memang persis adegan sebuah sandiwara saja laiknya. "Kalau kami
terharu sampai menangis, itu bukan dibikin-bikin," kata Tjetje
kemudian. Yang jelas, sejak bertikai beberapa tahun lalu baru
kali ini keduanya bertemu. Tapi Tjetje sendiri menganggapnya
sebagai "pertengkaran kakak-adik." Pokoknya sudah ada saling
pengertian. "Masing-masing mawas diri," ucap Tatto.
Kerukunan seperti itu tentu saja disambut gembira oleh tak
kurang dari 800.000 massa AMS. "Dan itu merupakan modal besar
bagi organisasi," kata Djadja Subagdja Hussein, yang akhirnya
terpilih sebagai ketua umum PP AMS yang baru periode 1979-1984.
Tatto dan Tjetje sendiri tampil sebagai anggota Dewan Pembina.
Tapi kabarnya yang populer di forum kongres ketika itu adalah
Elif Djohan, ketua AMS Distrik Bogor. Banyak yang
mencalonkannya. Entah mengapa, beberapa saat sebelum pemilihan,
Elif mengundurkan diri dengan alasan "repot".
Djadja sendiri dalam kemelut AMS tahun lalu pernah menyatakan
mengundurkan diri sebagai Ketua 11 PP AMS setelah gagalnya
sidang Badan Pimpinan Distrik di Linggarjati, Kuningan.
Sebelumnya, Anas Nashidik Suharsa yang Wakil Sekjen juga
mengundurkan diri.
Djadja sendiri ketika itu juga merangkap sebagai Pj. Sekjen,
karena Sekjen PP AMS, Gani Subrata, sejak pagi-pagi sudah
mengundurkan diri, tak lama setelah Kongres I AMS di Subang,
April 1976. Kemelut itu semakin membengkak ketika 2 anggota
Dewan Pimbina - Iie Muhidin Wiranatakusumah dan Tjetje --
dipecat.
Bibit kemelut itu sendiri sudah tampak sejak Pemilu 1971, ketika
Golkar Jawa Barat lebih banyak menampilkan tokoh mahasiswa
Angkatan 66 Bandung sebagai anggota DPR-RI dari pada anak-anak
AMS. Apalagi para mahasiswa itu kebanyakan bukan "putera
daerah". Tahun 1971 hanya 3 tokoh AMS yang diangkat sebagai
anggota DPR-RI, 1977 hanya tambah seorang.
Meskipun semua ketua distrik AMS yang 22 orang itu sudah jadi
anggota DPRD di daerah masing-masing, tampaknya AMS masih tidak
puas. Terjadi pro dan kontra keluar dari Golkar alias
independent atau tetap jadi kader Golkar. Kedudukan Tatto juga
sulit. "Oleh Golkar saya dituduh sebagai pemberontak, tapi di
luar saya dianggap herdernya Golkar," tukas Tatto kepada A.
Muthalib dari TEMPO.
Lalu bagaimana sekarang? Kongres Cipayung ternyata tetap
mengukuhkan "teken kontrak" AMS dengan Golkar. Merasa pernah
tidak serasi dengan pimpjnan DPD Golkar Jawa Barat yang
terdahulu, kini sikap AMS lain. Djadja Subagdja, ketua umum PP
AMS yang sekarang, kepada Hasan Syukur dari TEMPO berkata. "Dulu
AMS cuma kecipratan kursi sedikit. Tapi untuk Pemilu 1982 nanti,
saya percaya sama Pak Rauf." Rauf Effendi, kolonel, adalah ketua
DPD Golkar Jawa Barat yang baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini