Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Burneh berubah wajah. Dulu kecamatan di selatan Kabupaten Bangkalan itu dikenal sebagai sentra kerajinan anyaman bambu. Tapi, sejak dua tahun lalu, daerah ini tersohor sebagai pusat penjualan batik dan wisata kuliner. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bangkalan mencatat setidaknya ada 30 rumah makan dan 25 gerai batik di sini.
Sayangnya, tempat usaha itu bukan milik warga setempat. Pemilik gerai batik kebanyakan pengusaha batik di Kecamatan Tanjung Bumi, Bangkalan. Sedangkan sebagian besar restoran milik orang Surabaya. "Penduduk sini paling banter jualan bubur, buka bengkel, atau buka toko kelontong," kata Mat Topik, warga Embong Miring, Burneh, Senin pekan lalu.
Pemandangan hampir sama tampak di Morkepek, Kecamatan Labang, BangkaÂlan, yang juga di dekat Jembatan SuramaÂdu. Sepanjang jalan desa banyak toko kelontong, warung makan, tempat pangkas rambut, dan kios bensin eceran. Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bangkalan Nawawi menilai dampak Suramadu positif bagi masyarakat. Selain muncul usaha mandiri kerakyatan, Suramadu berdampak terhadap pembukaan lapangan kerja baru, meski berskala kecil. "Apa pun yang berkembang, yang terpenting dampaknya positif."Â
Tapi bukan peningkatan ekonomi semacam ini yang diharapkan penduduk Morkepek. Rasimin, warga desa itu, misalnya, berharap ada pabrik besar di kampungnya. "Agar saya tidak perlu jauh merantau untuk bisa menafkahi keluarga secara layak," ujar lelaki lulusan sekolah dasar itu.Â
Merantau menjadi pilihan warga Madura untuk mengatasi sempitnya lapangan pekerjaan di Pulau Garam itu. "Dari 10 juta penduduk, hanya 3,5 juta orang yang tinggal di Madura," kata Deputi Pengembangan Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura Agus Wahyudi.
Tingkat pengangguran yang rendah di Madura tidak menandakan taraf hidup yang baik. Badan Pusat Statistik Jawa Timur mencatat indeks pembangunan manusia—yang mengukur perbandingan tingkat harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup—kota-kota di Madura sekitar 60, lebih rendah dibanding rata-rata Jawa Timur, yang mencapai 72,54 (lihat tabel).Â
Dibukanya Jembatan Suramadu salah satunya adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di Madura agar tidak jomplang dengan warga Jawa Timur lainnya. "Jembatan Suramadu belum memberikan sentuhan magic-nya," kata pakar statistik bisnis Institut Sepuluh Nopember Surabaya, Kresnayana Yahya.
Di antara empat kabupaten, SumeÂnep yang paling cepat menikmati perubahan. "Terlihat dari peningÂkatan aktivitas perdagangan, penambahan hotel, dan kesiapan mengoperasikan bandara," ujar Kresna. Laju aktivitas hubungan laut Sumenep ke Situbondo juga makin lancar.
Di Bangkalan sendiri tidak terjadi perubahan signifikan. Padahal, di kawasan itu, Badan Pengembangan memiliki jatah lahan yang harus dibebaskan dan dikembangkan menjadi kawasan industri sekitar 600 hektare. Tapi, hingga empat tahun Suramadu berdiri, "Tidak ada industri manufaktur satu pun di Bangkalan," ucap Kepala Dinas Pendapatan Bangkalan Setia Budi.
Akibatnya, ya itu tadi, memasuki wilayah Madura melewati jembatan terpanjang di Indonesia tersebut seperti memaÂsuki dunia lain. Semuanya serba berbeda antara sisi utara dan selatan jembatan. Fasilitas kesehatan di sana, misalnya, jauh tertinggal dengan Surabaya. Layanan kesehatan dan tingkat harapan hidup juga tidak menunjukkan perubahan signifikan. Kresna mencatat jumlah rumah sakit di Madura hanya sembilan, termasuk tiga buah di Bangkalan. Bandingkan dengan SuraÂbaya, yang memiliki 59 rumah sakit, dan Sidoarjo (23 rumah sakit).
Angka harapan hidup, kata Kresna, juga masih rendah (di bawah 65 persen), sedangkan di Surabaya 70,97 persen. "KeÂsungguhan untuk meningkatkan layanan publik belum terasa."
Terkesan sulit untuk maju, Madura sebenarnya memiliki potensi yang bisa diharapkan menjadi penggerak perekonomian. Menurut Kresna, sedikitnya ada Âenam potensi pertanian dan perkebunan yang biÂsa dijadikan pemicu industrialisaÂsi. Garam, tembakau, jagung, keteÂla poÂhonÂ, sapi, dan ikan adalah kekuatannya. ÂNamun tiap komoditas punya kendala sendiri.
Garam, misalnya, bermasalah lantaran persoalan sistematis mengenai penetapan harga yang sulit merangsang petani garam untuk lebih produktif. Garam petani dibeli Rp 300 per kilogram, jauh di bawah harga pabrik Rp 750 per kilogram. Untuk mengatasinya, Kresna mengusulkan didirikan bank garam, yang berfungsi mengendalikan harga.
Untuk tembakau, belum ada industri rokok yang masuk ke Madura. Begitu pun hasil pertanian jagung, tidak ada industri pakan ternak yang berinvestasi membuka pabrik. Peternakan sapi juga tidak didukung dengan rumah potong hewan berskala besar. "Harus ada kebijakan yang mengarah pada terciptanya nilai tambah, sehingga mata rantai bisnis ini diolah dan dikerjakan di Madura," ujarnya.
Badan Pengembangan memiliki rencana industrialisasi untuk menekan disparitas Madura. Pabrik gula di Bangkalan diharapkan segera dibangun. "Sudah 600 hektare lahan ditanami tebu," kata Budi. Namun jumlah lahan yang ditanam masih jauh dari target 4.500 hektare. Juru bicara Badan Pengembangan, Pandit Indrawan, mengatakan pangkal masalah ini adalah tidak adanya embung untuk persediaan air dan jalan. Dua infrastruktur itu akan dibuat tahun ini.
Potensi lain yang akan banyak menyerap tenaga kerja adalah pariwisata. Tapi pengembangan sektor ini ditolak. "Kiai yang menolak. Itu tantangan yang harus dibeÂnahi," ujar Ketua Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura Muhammad Irian. Menurut Pandit, pemuka agama menolak lantaran pariwisata identik dengan dunia hiburan. Padahal pariwisata yang bisa dikembangkan di Madura adalah wisata alam, religi, dan kuliner.
Badan Pengembangan lalu melirik untuk menggarap potensi wisata Pulau Giliang, Sumenep, pulau tersehat di dunia, sebagai wisata kesehatan. Pulau dengan hamparan pasir putih ini, dari hasil penelitian Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional pada 2006 dan Badan Lingkungan Hidup Jawa Timur pada 2011, memiliki kandungan oksigen terbaik di dunia, yaitu empat persen di atas normal. Ini juga yang diduga menyebabkan mayoritas penduduk pulau itu bisa mencapai usia 100 tahun dan tetap sehat.
Endri Kurniawati, Agita Sukma L., Agus Supriyanto, Dianantha P. Sumedi, Musthofa Bisri
Tabel Tingkat Pengangguran Terbuka 2010-2012 | |||
Bangkalan | 5,79 | 3,91 | 5,32 |
Sampang | 1,77 | 3,91 | 1,78 |
Pamekasan | 3,53 | 2,89 | 2,30 |
Sumenep | 1,89 | 3,71 | 1,19 |
Jawa Timur | 4,25 | 4,16 | 4,12 |
Tabel Indeks Pembangunan Manusia 2010-2012 | |||
Bangkalan | 64,51 | 65,01 | 65,39 |
Sampang | 59,70 | 60,78 | 61,03 |
Pamekasan | 64,60 | 65,48 | 65,72 |
Sumenep | 65,60 | 66,01 | 66,59 |
Jawa Timur | 71,62 | 72,18 | 72,54 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo