Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJJI) dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) mengevaluasi sejumlah pemberitaan media daring terkait ASEAN Queer Advocacy Week. Mereka menilai pemberitaan sejumlah media cenderung diskriminatif dan memperkuat narasi kebencian.
"Pemberitaan ini memiliki dampak langsung dan tidak langsung terhadap peningkatan ancaman kekerasan yang diterima oleh komunitas Lesbian, Gay, Transgender, Interseks, Queer (LGBTIQ) di Indonesia," tulis AJI dan SEJUK dalam pernyataan bersama mereka yang diterima Tempo, Sabtu, 15 Juli 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil pemantauan AJI dan SEJUK menunjukkan bahwa sejumlah media mengabaikan Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman yang dikeluarkan oleh Dewan Pers. Menurut mereka, pengabaian itu terlihat dari penggunaan kutipan narasumber yang menyampaikan kebencian dan ancaman terhadap LGBTIQ.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meskipun demikian, AJI dan SEJUK tak menyebutkan media mana saja yang dinilai melakukan diskriminasi dan pengabaian pedoman itu.
Hanya mewawancarai otoritas resmi
Menurut mereka, beberapa media hanya mewawancarai otoritas resmi dan mengabaikan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan keberagaman gender, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap minoritas LGBTIQ.
"Sebagian pemberitaan media online berskala lokal maupun nasional lebih banyak memuat pernyataan politisi, polisi, Majelis Ulama Indonesia, dan pejabat pemerintah yang menyerukan anti-LGBTIQ yang berpotensi menguatkan permusuhan, kebencian, diskriminasi, dan persekusi terhadap kelompok tersebut," tulis mereka.
Akibatnya, menurut AJI dan SEJUK, penyelenggara ASEAN Queer Advocacy Week memutuskan untuk memindahkan lokasi acara yang semula digelar di Jakarta pada 17-21 Juli 2023 setelah menerima serangkaian ancaman keamanan.
Arus Pelangi sebagai penyelenggara acara itu juga disebut menghadapi ancaman pembunuhan melalui media sosial dan serangan massal di dunia maya. Bahkan, menurut mereka, pegiat Arus Pelangi disebut mengalami doxing atau penyebaran identitas pribadi di dunia maya.
Selanjutnya, meminta media menyediakan ruang anman bagi kelompok minoritas
Sekretaris Jenderal AJI Indonesia Ika Ningtyas menyatakan bahwa media massa telah gagal memberikan ruang aman bagi kelompok minoritas LGBTIQ. Dia menilai media seharusnya tidak memperkuat narasi kebencian yang digelorakan oleh sekelompok intoleran di media sosial atau oleh pihak-pihak yang diskriminatif.
“Media harus lebih kritis, menjunjung keberagaman dan menghormati bahwa setiap orang memiliki hak untuk berkumpul, menggelar rapat, dan berserikat yang diselenggarakan untuk maksud damai seperti yang dijamin oleh konstitusi,” kata Ika.
Selain itu, Ika juga meminta media massa perlu lebih serius menulis berita yang inklusif, menghormati keberagaman, dan menggunakan perspektif HAM sesuai dengan Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman Dewan Pers.
Media diminta jadikan pendekatan HAM sebagai dasar kebijakan bisnis perusahaan media
Senada dengan Ika, Manajer Advokasi SEJUK, Tantowi Anwar, juga menillai media seharusnya tidak mengaplifikasi ujaran kebencian. Media, menurut Tantowi, seharusnya mempelajari latar belakang peristiwa terkait isu keberagaman.
Perusahaan media massa, menurut pria yang akrab di sapa Thowik itu, seharusnya mengakui HAM sebagai dasar kebijakan bisnis mereka. Hal itu, menurut Tantowi penting untuk menjaga prinsip anti-diskriminasi dan menghindari marginalisasi terhadap komunitas LGBTIQ di media massa.
“Penting bertanggung jawab melalui pemberitaan yang tidak meminggirkan minoritas LGBTIQ yang berujung pada kekerasan dan persekusi,” ujar Thowik.
Seperti diketahui, acara ASEAN Queer Advocacy Week yang seharusnya digelar di Jakarta pada 17-21 Juli mendatang batal digelar setelah adanya desakan dari berbagai pihak. ASEAN Sogie Caucus sebagai penyelenggaran acara itu menyatakan, mereka sebenarnya ingin menggelar dialog antara pemerintah dengan kelompok-kelompok yang mengalami diskriminasi berdasarkan orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender, dan karakteristik seks mereka (SOGIESC).
"Visi bersama kami tentang kawasan ASEAN yang inklusif didasarkan pada keberadaan ruang aman bagi masyarakat sipil dan pemegang hak untuk belajar tentang lembaga tersebut, untuk membahas masalah yang penting bagi mereka, dan untuk secara kolektif menggunakan hak kami untuk secara bebas mengekspresikan pandangan kami tentang bagaimana ASEAN memajukan, atau tidak, hak asasi masyarakat kita," ujar mereka dalam pernyataan tertulisnya.