Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Akhir Getir Karier Emir

Emirsyah Satar menyelamatkan Garuda Indonesia dari ancaman kebangkrutan. Dianggap berhasil meski terlilit utang.

30 Januari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CITRA positif Emirsyah Satar ambyar karena menjadi pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan tuduhan menerima suap dari Rolls-Royce Plc. Kesan ramah dan peduli anak buah yang selalu dia tunjukkan selama sembilan tahun memimpin PT Garuda Indonesia Tbk berubah menjadi kegeraman. "Dia harus meminta maaf," kata Singgih Handoyo, Kepala Komunikasi Eksternal Garuda pada 2008, pekan lalu. "Karyawan telanjur percaya kepadanya."

Status tersangka menjadi antiklimaks perjalanan karier laki-laki kelahiran Jakarta, 28 Juni 1959, itu. Ia banyak menduduki jabatan penting selepas lulus dari Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 1985.

Emir pernah menjabat Assistant Vice President of Corporate Banking Group Citibank. Kemudian menjadi General Manager Corporate Finance Division Jan Darmadi Group Jakarta, Presiden Direktur PT Niaga Factoring Corporation Jakarta, dan Managing Director (CEO) Niaga Finance Co Ltd Hong Kong.

Pada 1998-2003, ia menjadi Direktur Keuangan Garuda, tapi hanya sebentar karena pindah ke PT Bank Danamon Indonesia dengan jabatan Deputi CEO. Baru pada 21 Maret 2005 dia kembali ke Garuda. Kala itu perusahaan ini sedang terpuruk. Utangnya US$ 845 juta dengan arus kas negatif. Saking jeleknya, Garuda disebut Wall Street Journal sebagai maskapai penerbangan terlemah di Asia karena pelayanannya buruk dan terlilit utang.

Menteri Badan Usaha Milik Negara waktu itu, Sugiharto, memilihnya menjadi direktur utama menggantikan Indra Setiawan. Emir diharapkan mengangkat kinerja Garuda yang melempem. "Perubahan manajemen untuk memperkuat posisi Garuda," ujar Sugiharto seperti dikutip buku Kisah Transformasi di Garuda Indonesia: From One Dollar to Billion Dollars Company.

Emir tak langsung setuju ketika diminta menjadi bos Garuda. Garuda yang hampir kolaps membuatnya jeri juga menangani perusahaan itu. Tapi Sugiharto disebutnya meminta dia agak keras. "Saya enggak enak," kata Emirsyah. "Istri saya bilang, siapa lagi yang mau membantu negara?"

Sejak itu Emir menangani Garuda. Ia merestrukturisasi dan menjual sejumlah aset perusahaan untuk menutupi utang, dan meminta suntikan modal. Pada 11 Februari 2011, Garuda go public di bursa saham. Sahamnya sempat mencatatkan nilai US$ 1,8 miliar di Bursa Efek Indonesia. Padahal, pada 1998, nilai saham Garuda tak sampai US$ 1 per lembar.

Performa Garuda yang membaik setelah masuk bursa membuat maskapai itu mendapat sejumlah penghargaan bergengsi. Antara lain The Best International Airline dari lembaga riset Australia Roy Morgan pada 2012 dan The World's Best Regional Airline dari lembaga riset industri penerbangan Skytrax pada tahun yang sama. Ketika itu Garuda menjadi maskapai bintang empat dengan peringkat kedelapan terbaik di dunia.

Meski begitu, Garuda di bawah Emir sebenarnya rugi. Pada semester pertama 2011, misalnya, perusahaan itu merugi Rp 185 miliar. Garuda juga merugi Rp 19 miliar pada paruh pertama 2012 dan Rp 429 miliar pada kuartal ketiga 2013. Kerugian membengkak Rp 2,7 triliun pada semester pertama 2014. Kala itu, Emir beralasan, kerugian karena beban operasional penerbangan yang meroket dan harga bahan bakar yang tinggi.

Seorang pejabat Garuda mengatakan neraca keuangan Garuda terlihat sehat di bawah Emir karena ia menggeser beban perusahaan tahun berjalan ke neraca keuangan tahun berikutnya. "Begitu juga tahun-tahun berikutnya," katanya.

Menurut dia, utang perusahaan lebih dari US$ 350 juta baru diketahui ketika direktur baru menggantikan Emir, yang mundur pada 11 Desember 2014. Emir kini menjabat Chairman MatahariMall.com dan Board of Executive Lippo Group.

Vice President Corporate Communications Garuda Indonesia Benny S. Butarbutar tak memberi komentar atas jumlah utang jumbo itu. Ia hanya mengatakan, "Garuda memang mengalami kerugian."

Emir belum mau berkomentar. Surat permohonan wawancara Tempo dijawab lewat pengacaranya, Luhut Pangaribuan. "Dia belum mau bicara kepada pers," kata Luhut.

Prihandoko, Anton Aprianto, Anton Septian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus