Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah; dan pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, sependapat dengan usulan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengenai angka ambang batas parlemen ideal pemilu di Indonesia. Keduanya menilai angka parliamentary threshold sebesar 1 persen akan mampu menjaga hasil pemilu tetap proporsional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dibanding 4 persen, tentu dengan angka 1 persen, jumlah suara terbuang jauh lebih sedikit,” kata Herdiansyah, Jumat, 1 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski angka 1 persen dianggap ideal, Herdiansyah tetap menghendaki pemilu legislatif tanpa ambang batas parlemen atau nol persen. Tapi pemilu tanpa parliamentary threshold itu akan sulit diterima partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat.
Ia menyarankan pemilu calon anggota legislatif tanpa ambang batas parlemen tetap dapat mewujudkan agenda penyederhanaan partai politik. Caranya, jumlah daerah pemilihan dikurangi. Lalu kuota kursi DPR per daerah pemilihan dibatasi hanya 6-8. “Dengan cara ini, logikanya, partai yang berpotensi dapat kursi hanya 6-8 itu,” katanya.
Adapun Titi Anggraini berpendapat bahwa argumentasi Perludem mengenai ambang batas parlemen 1 persen sangat beralasan. Sebab, angka 1 persen mampu menyaring partai politik yang memiliki dukungan signifikan dan dapat memperkecil suara terbuang sehingga hasil pemilu tetap proporsional.
“Argumentasi Perludem dalam permohonannya sangat beralasan untuk menjadi kebijakan yang dipilih pembentuk undang-undang,” kata Titi.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) memimpin jalannya sidang perkara nomor 116/PUU-XXI/2023 mengenai uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait ambang batas parlemen di Gedung MK, Jakarta, 29 Februari 2024. ANTARA/Aditya Pradana Putra
Dua hari lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi Pasal 414 ayat 1 UU Pemilu yang mengatur tentang ambang batas parlemen paling sedikit sebesar 4 persen. Mahkamah Konstitusi menyatakan ambang batas parlemen sebesar 4 persen tetap berlaku pada Pemilu 2024, tapi berlaku secara konstitusional bersyarat pada Pemilu 2029 dan pemilu berikutnya setelah angka parliamentary threshold diubah. Mahkamah Konstitusi menyatakan besaran angka ambang batas perlemen harus tetap dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional, terutama mencegah besarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR. Lalu perubahan ambang batas parlemen tersebut harus ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyederhanaan partai politik.
Baca Juga:
Perludem, sebagai pemohon uji materi terhadap Pasal 414 ayat 1 UU Pemilu, menawarkan rumus mengukur ambang batas parlemen yang dipakai oleh Taagepera. Konsep Taagepera merupakan gabungan konsep representasi, tapi juga memiliki sifat eksklusif atau tidak serta-merta partai politik mudah untuk mendapatkan kursi parlemen.
Rumusan Taagepera itu adalah sebagai berikut: T = 75%/((M+1)* √E) atau T = 75%/((S/E)+1)* √E) atau T = 75%/((S+E)/E*√E). M adalah rata-rata besaran daerah pemilihan. S adalah jumlah kursi parlemen. Kemudian E adalah jumlah daerah pemilihan.
Rumus itu lantas disimulasi dengan menghitung rata-rata besaran daerah pemilihan, jumlah kursi, dan jumlah daerah pemilihan di empat pemilu DPR terakhir. Hasilnya, ambang batas parlemen efektif untuk Pemilu DPR adalah 1 persen dari suara partai politik nasional.
“Bisa saja pembentuk undang-undang nanti pakai rumus itu. Yang penting harus ada penghitungan yang rasional,” kata Khoirunnisa Nur Agustyati, Direktur Perludem, Jumat kemarin.
Anggota DPR RI mengikuti Rapat Paripurna di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 6 Februari 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay, juga sependapat dengan rumus ambang batas yang diusulkan oleh Perludem. Namun Hadar menyarankan agar pemilu legislatif tidak semata-mata bersandar pada angka ambang batas parlemen.
Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum itu meminta pembentuk undang-undang ikut mempertimbangkan calon legislator tertentu yang mendapat suara signifikan di pemilu tapi partainya tak lolos parliamentary threshold.
“Kalau ada caleg di daerah pemilihan tertentu memperoleh suara banyak dan masuk kriteria mendapat kursi, semestinya dibolehkan (lolos ke DPR),” kata Hadar. “Menurut saya, keadilan itu lebih penting diprioritaskan daripada hendak memperkecil jumlah partai dengan cara yang tidak adil.”
Hadar berpendapat, penurunan angka parliamentary threshold hingga 1 persen tidak secara otomatis menciptakan multipartai yang ekstrem di DPR. Sebab, saringan awal partai politik peserta pemilu berada di KPU. Peserta pemilu tidak akan banyak ketika KPU ketat dalam memverifikasi partai politik.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, tidak sependapat dengan peniadaan parliamentary threshold atau nol persen. Ia menilai pemilu tanpa ambang batas parlemen akan menciptakan multipartai ekstrem di Senayan.
“Semakin banyak partai di parlemen akan menjadikan tidak efektif proses pengambilan keputusan karena harus memperhitungkan fraksi dengan 1-2 kursi saja,” kata dia.
Ia mengusulkan ambang batas parlemen berada di angka 2,5 persen. Angka parliamentary threshold ini pernah dipakai pada Pemilu 2009. Hasilnya, dari 38 partai politik peserta pemilu, hanya sembilan partai politik lolos ke Senayan.
Komisioner KPU, Idham Kholik, enggan menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Ia hanya menegaskan bahwa KPU merupakan pelaksana Undang-Undang Pemilu. “Dalam menyelenggarakan pemilu, KPU harus melaksanakan prinsip berkepastian hukum,” kata Idham.
Anggota Badan Pengawas Pemilu, Herwyn J.H. Malonda, mengatakan penghapusan ambang batas parlemen sebesar 4 persen itu akan membuat kompetisi antar-partai politik maupun antar-calon legislator untuk mendapatkan kursi DPR bakal berjalan semakin ketat. Konsekuensinya, kerja-kerja pengawasan pemilu berikutnya juga akan semakin dinamis.
“Dalam perubahan UU Pemilu nanti, perlu adanya (penambahan) jumlah pengawas pemilu di tingkat tempat pemungutan suara, desa-kelurahan, kecamatan, dan kabupaten, serta penguatan kewenangan Bawaslu,” kata Herwyn.
RUSMAN PARAQBUEQ | ANDI ADAM FATURAHMAN | EKA YUDHA SAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo