DARI mulut "korban penculikan", Jumat pekan lalu, polisi berhasil menyita barang bukti dahsyat: ribuan butir peluru dan puluhan kilo bahan peledak.
Adalah Surono alias Fadli alias Satria alias Abdul Bahri, 31 tahun, yang mengaku menyimpan barang-barang haram itu di dua rumah temannya yang tinggal di Gayam Dompo, Karanganyar, Solo, Jawa Tengah. Seperti puluhan aktivis masjid lainnya, anggota jemaah Masjid Al-Ikhlas, Sawahan, Tegal Gede, ini menjadi target. Ia diciduk polisi seminggu sebelumnya, saat tengah mengurus pajak STNK bermotor di Kantor Samsat Karanganyar.
Tapi Surono tak mau pasang badan sendiri. Ayah tujuh anak bertampang klimis tanpa jenggot ini mengatakan barang-barang ilegal itu milik Eko, warga Solo—ini nama baru yang masih menjadi tanda tanya polisi. Ia tak ingat persis kapan menerima empat kardus mi instan dan satu karung plastik berwarna putih bekas pupuk urea itu. "Saya tahu itu bahan peledak, tapi tidak tahu untuk apa," ujarnya kepada TEMPO. Dua kardus berisi 2.645 butir amunisi itu ia serahkan kepada Wagino, 33 tahun. Sisanya dititipkan di rumah Sunarno, yang bertetangga dengan Wagino.
Surono langsung digelandang polisi setempat dan tim dari Markas Besar Kepolisian RI ke rumah dua rekannya. Warga desa mendadak gaduh. Mereka lalu berkerumun di sekitar rumah Wagino, melihat polisi melakukan penggerebekan. Dari 2.645 butir peluru yang ditemukan di salah satu kamar, 472 di antaranya kaliber 5,56 mm, 1.375 biji kaliber 9 mm, 552 kaliber 30 mm, 200 kaliber 38 mm, serta 45 peluru kaliber 7,62 mm. Amunisi itu biasa digunakan buat pistol jenis FN, Revolver, senapan otomatis AK, serta M-16.
"Belum diketahui untuk apa dan dari mana amunisi ini," kata Kepala Kepolisian Resor Karanganyar, Ajun Komisaris Besar Amrin Remyco. Tapi, menurut sumber TEMPO yang menangani kasus ini, diduga bahan peledak tadi berasal dari industri peledak pelat merah, PT Pindad, Bandung, Jawa Barat, bikinan tahun 1993-1998. Dari tangan Wagino, polisi juga menyita lima buku: Tazkiyah Annas terbitan Pustaka Arafah, kitab Al-Aqiah, Al-Jihad Sabiluna, buletin Ar-Risalah, dan buku Menuju Kejayaan Islam. Belum jelas apakah kitab-kitab itu bagian dari "dokumen perjuangan". Tapi Al-Jihad Sabiluna kabarnya termasuk yang dikaji di Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, milik Ustad Abu Bakar Ba'asyir.
Perburuan berlanjut ke rumah Sunarno. Surono, yang wajahnya ditutupi sweater abu-abu, menjadi tontonan warga. Begitu pintu dibuka, ia langsung meminta sang empunya rumah menyerahkan barang yang pernah dia titipkan. Benar juga, dua kardus itu berisi serbuk berwarna cokelat, batangan berwarna cokelat, serta kabel listrik sepanjang 10 meter. Di dalam karung putih, serbuk dibagi-bagi menjadi 13 bungkusan plastik kecil, masing-masing seberat 1,3-1,4 kilogram. Hasil sementara timbangan polisi menunjukkan, berat serbuk yang diduga bahan baku bom itu tidak kurang dari setengah kuintal. "Itu bahan peledak dari Eko," ucapnya lirih dengan tangan diborgol.
Sunarno mengaku rikuh menolak permintaan Surono, yang menitipkan barang sekitar tiga bulan lalu, meski ia mengaku belum lama mengenal jebolan kelas 6 SD itu. Surono berjanji mengambil "barang panas" itu dua bulan kemudian. Lalu, sret, bungkusan didorong di kolong tempat tidur. "Setahu saya, itu bubuk cokelat," ujar Sunarno. Surono rupanya punya pertimbangan kenapa "barang gawat" itu dititipkan kepada Wagino. Rumah Wagino di Jenggringan itu memang tak mencolok mata, tertutup kebun singkong dan tumpukan jerami kering. Apalagi posisi rumah itu jauh dari keramaian kota. Tapi, "Saya tidak tahu isinya," kata Wagino memelas.
Saat ditanya TEMPO berkali-kali, Surono memilih diam dan hanya menggelengkan kepala. Ia malas menjawab saat ditanya adakah hubungannya dengan para tersangka anggota Jamaah Islamiyah dari Semarang—yang ditangkap polisi beberapa bulan lalu dan meninggalkan segepok "dokumen" tata cara merakit bom. "Saya capek, seharian belum makan," ujarnya. Tapi, dari tim Markas Besar Kepolisian RI yang dipimpin Ajun Komisaris Rahimad, diperoleh informasi bahwa Surono konon bertugas mengamankan bahan peledak dan amunisi sisa aksi bom Bali.
Jobpie Sugiharto, Imron Rosyid (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini