Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Cokok Dahulu, Urusan Belakangan

Serangkaian penculikan terjadi di beberapa daerah. Surat penangkapan disusulkan. Tim Pembela Muslim siap menggugat.

21 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI baru beranjak siang ketika sebuah mobil Mitsubishi Colt T-120 pick up berhenti di depan bengkel Asmon Gatot, 45 tahun, di Jalan Antasari, Bandar Lampung. Dua orang turun dari mobil mencari Dani Sitorus, 32 tahun, montir bengkel, untuk memperbaiki shockbreaker mobilnya. Karena kawannya belum datang, Achmad Syafei menyuruh mereka kembali tengah hari. "Biasanya Bang Dani datang jam segitu," ujar buruh bengkel itu. Benar, Dani tiba sesuai dengan jadwal rutin. Achmad pun bercerita tentang dua orang yang mencarinya. Tak lama kemudian, mobil pick up itu muncul. Seorang langsung turun dan menjelaskan kepada Dani bahwa shockbreaker belakang mobilnya rusak. Ketika orang itu memutarkan mobilnya, Dani mengikuti. Tapi ternyata dua pria bertubuh kekar sudah menunggu di depan sebuah mobil Kijang yang diparkir sekitar 20 meter dari bengkel. Kejadian berlangsung cepat. Kedua orang itu langsung menangkap Dani. Karena sempat melawan, tinju sempat terlontar. Salah seorang penjemputnya mengeluarkan pistol, dan menempelkan baja dingin itu ke pinggang lelaki bertubuh tinggi besar ini. Dani tak berkutik dan langsung dibawa ke mobil Kijang bernomor polisi BE 181 JG. Hari itu, Jumat awal September lalu, suami Yuli Evrisanti, 25 tahun, ini diculik segerombolan orang. Karena suaminya tak pulang, dua hari kemudian, diantar Muchlis, tetangganya, sang istri lalu melapor ke kepolisian sektor setempat. Muchlis kebetulan anggota Satuan Logistik Denpal Korem 043 Garuda Hitam. Tapi Kapolsek tak serius menanggapi. "Katanya mobil dengan nomor polisi BE 181 JG tak ada di Lampung. Kalaupun ada, mereka pasti orang besar," kata Yuli menirukan ucapan polisi. Posisi Dani baru diketahui ketika beberapa relawan Medical-Emergency (Mer-C) menjenguk Ahmad Azzam, salah satu aktivisnya yang diciduk tim reserse Polda Metro Jaya atas tuduhan terlibat aksi terorisme—meski akhirnya tak terbukti. Selain Azzam, beberapa orang telah ditangkap, termasuk Dani. Kepada Azzam dan pembesuknya, Dani berpesan agar mereka menjemput istrinya yang tengah hamil tua. Saat dua relawan Mer-C menjemput Yuli, petugas Polsek Tanjung Karang Timur tiba-tiba datang mencegah. Polisi lalu membawa mereka ke kantor polisi, diikuti ketua RT setempat, Endrawansyah. Di kantor polisi, Pak RT disodori surat penangkapan, bertanggal 4 September 2003, dua hari setelah Dani "diambil". Ia dituduh terlibat kasus pengeboman gereja di Medan, Sumatera Utara. Tentu saja para tetangga kaget. Dani dan istri dikenal cukup bergaul. Mereka pun tahu bahwa Yuli adalah seorang mualaf, baru masuk Islam. "Dani sering ikut ronda dan salat jamaah di masjid," kata Endrawansyah, sang ketua RT. Rekan-rekan kerjanya pun terheran-heran. "Salatnya memang rajin, tapi tidak fanatik-fanatik amat. Salat zuhur saja hampir setiap pukul 14.30, karena banyak pelanggan," kata Achmad. Malang juga menimpa Abdul Hakim—bukan nama sebenarnya. Dua pekan lalu, seorang lelaki berkopiah asal-asalan menghampiri lelaki yang tengah membangun rumah kakak iparnya itu di sudut Kota Lampung. Tanpa banyak cakap, dipegangnya tangan Hakim. Karena melawan, tiga orang lainnya buru-buru turun dari mobil dan membantu meringkus. Hakim segera digelandang ke mobil gerombolan itu. Mereka langsung tancap gas. Di atas mobil, mata Hakim langsung ditutup lakban warna kuning. Kakinya diikat dan kedua tangannya diborgol. Selama perjalanan sekitar dua jam, dia duduk di lantai mobil. Tiba di suatu tempat, ia langsung dibawa ke sebuah kamar untuk menjalani pemeriksaan. Di dalam ruangan itulah penutup matanya baru dibuka. Tapi kedua tangannya tetap diborgol dan kaki tetap diikat. Selama diinterogasi, ia diberondong pertanyaan tentang sejumlah tokoh Islam, termasuk Abu Bakar Ba'asyir dan Abdullah Sungkar. "Sebagai alumni Ngruki 1979-1985, saya kenal, dong," kata bapak tiga anak itu. Para penculik menuduh dirinya terlibat Jamaah Islamiyah. Hakim mengakui, saat di Malaysia, ia sering mengisi pengajian di Al-Arqom, Partai Islam Se-Malaysia (PAS), dan Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM). Tapi ia tak pernah ikut pengajian di Pesantren Lukmanul Hakim, milik Ba'asyir. Polisi rupanya mencari tahu hubungan Hakim dengan Dani dan Abdullah Sonata. Kedua orang yang disebut belakangan ini, kata polisi, adalah pelaku pengeboman di sejumlah tempat. Kebetulan, mereka pernah ke rumah Hakim, awal Agustus lalu. "Tapi saya tidak tahu mereka ngobrolin apa, karena mereka ngobrol di musala, kemudian saya tinggal mengisi pengajian," ujar Hakim, yang mengaku tak kenal dekat dengan kedua orang itu. Dua hari Hakim dikorek habis-habisan. Tapi, karena tak mendapat keterangan berarti, sang target dibebaskan dan diantar pulang, pekan lalu. Namun penculikan itu telah membuatnya trauma. Wajahnya masih menyiratkan ketakutan teramat sangat. Ia bahkan tak berani menemui setiap tamu yang datang. Sebab, ia diancam, jika menceritakan ihwal penculikan itu kepada siapa pun, ia akan diciduk kembali. Setelah hendak diantar pulang, barulah surat perintah penangkapan yang ditandatangani A.K.B.P. Idham Azis, Kasat III/UM atas nama Direktur Reserse dan Kriminal Polda Metro Jaya, diberikan kepadanya. Dalam perjalanan pulang itu, polisi kembali menutup kedua mata hakim dengan lakban. Tutup mata itu baru dibuka setelah masuk kawasan Bandar Lampung. Hakim lalu diantar ke tempat ia diculik. Pengambilan paksa juga terjadi di Solo, Jawa Tengah. Penjual onde-onde bernama Suradi, 30 tahun, di Pasar Kliwon. Kejadian ini merembet pula pada Ihsan Miyarso, 40 tahun. Takmir Masjid Al-Muhtadin Waringinrejo, Grogol, Sukoharjo ini malah lenyap tanpa saksi. Semula, Ihsan pamit hendak ke Bank Syariah Mandiri di Jalan Slamet Riyadi, Solo, untuk mentransfer uang kepada anaknya yang nyantri di Pesantren Al-Mar'atush Sholehah, Bekasi, dan membayar rekening telepon. Tapi, sejak keluar rumah pagi itu, ia seolah ditelan bumi. Kabar baru datang Kamis sore dua pekan lalu. Ihsan menelepon istrinya, Desi Ruspia, dari Jakarta. Ia berpesan agar Desi dan anak-anaknya tidak khawatir karena dirinya baik-baik saja. Setelah itu, telepon terputus. Belakangan Desi baru tahu bahwa suaminya ditahan di Mabes Polri. Saat itu dua orang datang menyerahkan empat lembar surat yang memberitahukan penangkapan Ihsan—yang diduga melakukan tindak pidana terorisme. Di lembar yang lain, disebutkan bahwa Ihsan sudah dua kali dipanggil tapi tak memenuhi panggilan sehingga terpaksa dipanggil paksa. Penculikan juga dilakukan untuk membekuk Bambang Tutuko, 38 tahun, di Semarang. Ia dijemput paksa pada Ahad medio September lalu, ketika hendak mempresentasikan obat-obatan produk multilevel marketing di Jalan Menteri Supeno, Semarang. Di tengah perjalanan, sebelas polisi menangkap dosen Fakultas Teknik Sipil Universitas Semarang itu. Kabar ditangkapnya pria sederhana berkacamata minus itu baru diketahui istrinya dan Sutrisno, ketua RT, siang harinya. Saat itu tiga polisi berpakaian sipil mendatangi rumah Sutrisno dan memintanya menjadi saksi penggeledahan rumah Tutuko. Satu jam sebelumnya, seorang polisi telah mengembalikan mobil dan kedua anak Tutuko. Sumber di Polda Jawa Tengah mengatakan bahwa putra mantan Bupati Jepara Hisyom Prasetyo itu ditangkap bersama dua orang lain dan dituduh terlibat terorisme. Dua lainnya adalah Thamim, warga Malaysia, dan Syamsul Bahri, warga Jakarta. Minggu malamnya, ketiganya dibawa ke Polda Metro Jaya dengan penerbangan Garuda terakhir dari Bandara A. Yani Semarang. Serangkaian penculikan itu ternyata juga terjadi di Jakarta Utara, Bekasi, Depok, Tangerang, Cileungsi, dan beberapa tempat lain. Ditengarai saat ini ada sekitar 30 orang aktivis masjid telah diambil paksa. Beberapa orang dicokok dengan alasan terorisme, sementara yang lain hingga kini tak jelas benar motifnya. Rupanya, penangkapan puluhan orang ini adalah dampak kalapnya polisi. Kata seorang sumber di Mabes Polri, beberapa waktu lalu polisi dibuat bingung. Sementara pelaku bom DPR belum tertangkap, bom yang lebih dahsyat meledak di hotel JW Marriott. Polisi lalu memasang strategi tebar jaring. "Pukat harimau ditebar untuk menangkap orang-orang yang dicurigai terlibat dalam aksi peledakan bom," kata sumber itu. Malangnya, karena yang ditebar pukat, ikan teri pun terbawa juga. Hal ini terjadi pada kasus Ahmad Azzam dan Abdul Hakim, yang belakangan tak terbukti sehingga dilepaskan. Karena itu, Mahendradatta, Ketua Tim Pembela Muslim yang kini diminta membantu keluarga korban, berencana mempraperadilankan polisi. Penculikan itu dinilai melawan hukum. Apalagi polisi memberi tahu tetangga sang buruan bahwa mereka ditangkap sebagai tersangka teror. "Masyarakat bisa mengucilkan keluarganya, dan bahkan bisa jadi semacam dosa turunan, seperti stigma PKI dulu," ujarnya. Hanibal W.Y. Wijayanta, Fadilasari (Lampung), Sohirin (Semarang), dan Imron Rosyid (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus