Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suradi Suradi, cuma itu nama yang dikenal keluarganya. Tapi polisi menyebut pria kelahiran 1 Maret 1973 itu punya dua nama alias, yakni Abu Ustman dan Abu Zaid. Ia lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah. Di situ pula ia merampungkan pendidikannya hingga tingkat menengah. Ia selalu mendambakan sebuah lingkungan yang bersih. Itu sebabnya, setamat sekolah menengah, ia masuk Akademi Kesehatan Lingkungan di Purwokerto. Berhasil. Ia lulus tahun 1996. Di kota itu ia rajin mengikuti pengajian yang digelar oleh Ja'far Umar Thalib. "Tapi dia bukan anggota Laskar Jihad," kata Widiarti, istrinya, yang dinikahinya tahun 2000. Sesudah pernikahan itu, ia hijrah ke daerah Semanggi, Solo. Menyambung hidup keluarganya, ia menjadi penjual onde-onde. Entah karena sibuk berdagang, Suradi jarang berkumpul dengan para tetangganya, kecuali di Masjid Al-Ikhlas kota itu. Di masjid itu, Suradi sering ikut pengajian serta menjadi muazin pada salat subuh. "Orangnya pendiam, dia selalu salat lima waktu di masjid," ujar Sunarto, tetangganya. Tanggal 8 September lalu, beberapa pria berbadan tegap membekuknya, persis ketika ia sedang sibuk-sibuknya menggoreng onde-onde. Belakangan diketahui, para penangkap itu adalah polisi. Ia dikenai Pasal 13 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003, yaitu membantu pelaku tindak pidana teror. Widiarti, sang istri, membantah semua tudingan itu. Widiarti menyebutkan bahwa suaminya memang pernah ke Ambon, November 2000, bersama tim dari KOMPAK, Dewan Dakwah Islamiyah (DDI) Solo. Di sana ia cuma empat bulan. "Waktu itu dia bilang mau membantu sesama muslim," tutur Widiarti. Suradi kini ditahan di Polda Metro Jaya.
Ikhsan Miyarso Para tetangganya di Waringinrejo, Sukoharjo, cuma mengenalnya sebagai takmir Masjid Al-Muhtadin yang memiliki usaha percetakan. Usianya 40 tahun, punya empat orang anak dari perkawinannya dengan Desi Ruswanti. Ia diambil aparat keamanan, Senin 8 September lalu, ketika mengirim uang untuk anak sulungnya yang belajar di sebuah pesantren di Bekasi, Jawa Barat. Kini ia ditahan di Polda Metro Jaya. Aparat menudingnya terlibat sejumlah aksi teror di Tanah Air, tapi istrinya membantah. Selama ini, tutur istrinya, Ikhsan tak pernah pergi jauh dari kampungnya di Waringinrejo itu. Ia cuma sibuk mengurus percetakan. Wahyuddin, Wakil Direktur Pondok Pesantren Ngruki, Solo, yang mengaku kenal dengan Ikhsan, menuturkan bahwa Ikhsan kerap diundang ke Ngruki jika ada acara pengajian. "Terakhir, dia diundang acara bedah buku di sini," ujar Wahyuddin. Walau tetangga dekat, Wahyuddin tidak tahu banyak soal aktivitas Ihksan. Soalnya, masing-masing punya kesibukan segudang.
Abdul Hakim(bukan nama sebenarnya) Alumni Pesantren Ngruki, Solo, Jawa Tengah, tahun 1980-an. Tahun 1994, ia hijrah ke Malaysia dan bekerja secara serabutan di sana. Pernah menjadi kuli bangunan, ia giat memberi pengajian di berbagai tempat seperti Al-Arqom dan Partai Islam Se-Malaysia. Cuma setahun dia di negeri jiran itu, lalu mudik ke Lampung akhir 1995. Menyambung hidup istri dan tiga anaknya, pria berusia 40 tahun ini giat menjual susu sapi segar, juga bekerja sebagai kuli bangunan. Sang istri membuka usaha jahitan busana muslim. Walau tak makmur-makmur amat, dapur keluarganya bisa mengepul. Ia dijemput polisi dua pekan lalu di rumahnya di Lampung. Ia disangka sengaja memberi bantuan kepada sejumlah tersangka teroris, melanggar Undang-Undang No. 15 Tahun 2003. Saat pemeriksaan, ia juga ditanya soal hubungannya dengan Abu Bakar Ba'asyir, Amir Majelis Mujahidin Indonesia. "Sebagai alumni Pesantren Ngruki, jelas saya kenal dong," katanya kepada TEMPO, yang menemuinya di sebuah tempat di Lampung.
Bambang Tutuko Ia seorang dosen, pakar komputer, juga giat dalam bisnis Herba Plasma Al-Wahdah, sebuah bisnis multilevel marketing. Usianya 38 tahun, putra Hisyom Prasetya, bekas Bupati Jepara. Dari semua orang yang ditekuk polisi, Bambang-lah yang memiliki tingkat pendidikan paling tinggi. Ia lulus dari Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang, 1991. Setelah lulus, ia mengajar di Universitas Semarang, sebuah perguruan tinggi yang didirikan para alumni Undip. Kampus itulah yang mengirimnya ke program magister manajemen Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang dirampungkannya tahun 1998. Tutuko pernah mengikuti kursus singkat komputer di Johor, Malaysia. Keberangkatan Tutuko ke Malaysia bukan atas tugas dan pembiayaan kampus. "Sekembali dari Malaysia, dia semakin khusyuk berdoa, tapi tidak ada perilakunya yang mencurigakan," kata Widjatmoko, Ketua Alumni Undip, bekas Rektor Universitas Semarang. Selain menjadi dosen, Bambang Tutuko juga menjadi kepala unit pelayanan teknis laboratorium komputer. Ia ditangkap tim gabungan Polda Metro Jaya dengan Polda Jawa Tengah, 14 September lalu.
Suprapto Kawan-kawannya cuma mengenalnya sebagai seorang sopir di pabrik Caltex, Riau. Ia sering sakit-sakitan dan sudah lama mengidap asma. Tapi, bagi polisi, Suprapto adalah juru kunci untuk membuka jaringan teror bom yang meletus di Riau beberapa waktu lalu. Itu sebabnya, aparat sigap membekuknya pertengahan Agustus lalu di Jalan Bhakti Bengkalis, Riau. Menurut Esti, istri Suprapto, suaminya itu dituduh menyimpan bahan peledak di rumahnya sebanyak tiga kardus mi instan, setahun lalu. Versi aparat, bahan peledak itu persis ramuan bom yang meletus di Hotel Marriott beberapa waktu lalu. Tapi Suprapto menyangkal semua tudingan itu. Barang-barang itu, kata Esti, titipan karib suaminya yang bernama Purwadi, yang dikenal sebagai pengusaha susu kedelai. Purwadi ini sudah pula dibekuk polisi. Suprapto mengira kardus-kardus itu berisi susu kedelai. Suprapto, kata Esti, memang aktif mengaji di Wisma Mutiara, Bengkalis, Riau. Menurut Slamet, pengacara dari Pusat Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM), yang menangani kasus Suprapto, anggota kelompok pengajian itu sudah banyak yang ke Ambon, Poso, dan Afganistan. Tapi, "Suprapto belum pernah ke satu tempat pun," tutur Slamet.
Ahmad Azzam Ia pernah kuliah di Universitas Trisakti, aktif di Medical Emergency Rescue Committee (Mer-C), sebuah organisasi sosial, bagian bantuan logistik. Ia punya keahlian memotret, juga memasak. Empat hari sebelum rezim Taliban jatuh, bersama Jose Rizal, relawan Mer-C lainnya, Azzam terbang ke Afganistan. Ia masuk negeri itu persis ketika bom-bom maut membombardir Kandahar, kota kedua di negeri itu. Azzam juga pernah dikirim untuk memberikan bantuan medis kepada korban banjir di Muara Gebong dan ke Nunukan, Kalimantan. Menurut Jose Rizal, untuk menghidupi keluarganya, Azzam giat menjual madu, kerupuk, dan makanan kecil lainnya. Jose mengakui—seperti dirinya juga—Azzam mempunyai pengetahuan militer seperti bom dan lain-lain. "Namun, hal itu kami ketahui karena kami pernah tinggal di daerah konflik," katanya. Azzam ditangkap polisi di rumahnya, Pekayon, Bekasi, akhir Juli lalu. Ia dijerat dengan Undang-Undang Darurat No.12 Tahun 1951 tentang Kepemilikan Senjata Api dan Bahan Peledak. Tapi, belakangan, semua tudingan itu tidak terbukti. Ia lalu dibebaskan. Wenseslaus Manggut, Fadilasari (Lampung), Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo