KIOS itu kini dibiarkan teronggok. Ada wajan penuh minyak, kue setengah jadi, serta peranti penggoreng yang tercecer. Berantakan. Keranjang bambunya malah ditaruh di atap seng. Tampak betapa Suradi, pria kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, 30 tahun lalu, meninggalkan toko mungilnya yang biasa menjajakan onde-onde itu tanpa berkemas lebih dulu. Suradi diculik orang tak dikenal, begitu kabar mula yang berkembang di sana.
Suradi memang begitu cepat dicokok. Saat itu, selepas subuh, Senin dua pekan lalu, ia tengah asyik menggoreng onde-onde di kiosnya di pasar Kliwon, Solo, Jawa Tengah. Mendadak-sontak, datanglah dua orang berbaju putih dan berbadan besar. Tanpa banyak ba-bi-bu, Suradi yang hanya mengenakan kaus oblong hijau dan celana komprang diseret ke mobil Kijang biru bernomor polisi Karesidenan Kedu (AA) yang berhenti tanpa mematikan mesin. "Saya berteriak keras minta tolong sambil menggedor-gedor mobil, tapi mobil itu terus melaju," ujar Ahmadi, tetangga warung yang berdagang susu.
Sepekan kemudian, Sri Widiarti, istri Suradi, baru tahu bahwa polisilah yang "menculik" suaminya. Suradi ditangkap berdasarkan surat dari Markas Besar Polri berkop Badan Reserse Kriminal Polri Direktorat VI/Antiteror tertanggal 9 September 2003. Surat fotokopian itu ditandatangani Wakil Direktur Direktorat VI/Antiteror, Komisaris Besar Polisi Bekto Suprato. Suradi alias Abu Ustman alias Abu Zaid dituduh memberikan bantuan dan kemudahan kepada pelaku tindak pidana teroris, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 UU No 15 tahun 2003. "Kepolisian Wilayah Surakarta tidak terlibat dalam penangkapan ini," ujar Kepala Polwil, Komisari Besar Hasyim Irianto.
Widiarti mengaku bingung atas tuduhan polisi. Ia mengakui suaminya pernah ke Ambon selama empat bulan untuk "misi kemanusiaan", pada November 2000, bersama tim Kompak, LSM di bawah naungan Dewan Dakwah Islamiyah Solo. "Ia bilang mau membantu sesama muslim di Ambon, meski dilarang orang tuanya," tutur Widiarti, yang menikah dengan Suradi pada Maret 2000. Selebihnya, ia hanya aktif di pengajian Masjid Penumping atau Masjid Al-Ikhlas, Gading, juga di Solo. Sejak lulus Akademi Kesehatan Lingkungan Purwokerto, 1996, Suradi sering ikut pengajian Ja'far Umar Thalib, bekas Panglima Laskar Jihad. "Tapi dia juga bukan anggota Laskar Jihad," ujarnya.
Namun ia membantah suaminya veteran perang Afganistan maupun anggota Jamaah Islamiyah. Suradi pun bukan alumni Pesantren Al-Mukmin Ngruki asuhan Ustad Abu Bakar Ba'asyir yang kini disorot aparat. Amir Majelis Mujahidin Indonesia itu diganjar hukuman empat tahun penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 2 September lalu, karena "turut serta berbuat makar" dan memberikan pernyataan palsu untuk membikin KTP.
Sejauh mana keterlibatan Suradi dengan para teroris seperti dituduhkan aparat? Belum jelas benar. Cuma, sumber TEMPO di Polres Surakarta membisiki, sebelum berjualan onde-onde, Suradi adalah pedagang susu keliling. Ia tinggal di dekat Masjid Muhajirin Semanggi, Solo, berdekatan dengan rumah Ikhwanuddin, tersangka teroris Jamaah Islamiyah yang dikabarkan bunuh diri beberapa waktu lalu. Di Semanggi ini, polisi mencurigai enam titik target operasi karena menjadi tempat menyembunyikan bahan peledak. "Dia diduga tahu banyak peta dan tempat yang aman buat persembunyian," ujar sumber di kepolisian itu.
Suradi adalah satu dari 16 aktivis Islam yang menurut polisi ditangkap karena diduga terkait dengan tindakan teror. Namun, Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (Paham) mencatat bahwa jumlah orang yang dicokok polisi mencapai 30-an orang. Di antara mereka tercatat ada yang pernah ikutan membantu bertempur "saudaranya seiman", gerilyawan Afganistan, Moro, dan Ambon. Polisi mencokok mereka di Solo, Semarang, Jakarta, dan Lampung.
Kisah penangkapan Suradi itulah yang kemudian bikin geger. Polisi dituding melakukan penculikan. Pertama-tama diintai lalu dipaksa masuk mobil dan dibawa ke suatu tempat dalam kondisi mata tertutup. Beberapa di antaranya mengaku, selama di perjalanan disiksa. Keluarganya pun baru diberi tahu setelah beberapa hari kemudian. Bahkan, menurut Direktur Eksekutif Paham, Zainuddin, ada beberapa korban penculikan yang sampai kini belum diketahui nasibnya.
Polisi akhirnya angkat bicara. Awal pekan lalu, di depan anggota Komisi Pertahanan-Keamanan DPR, Kepala Polri Jenderal Polisi Da'i Bachtiar melansir nama-nama aktivis Islam yang ditangkap sebulan terakhir ini. Di antara mereka, ada Samsul Bahri alias Farhan (warga negara Malaysia), Suradi alias Abu Utsman alias Abu Zaid, Ihsan Miarso, Muhaimin Yahya alias Ziad, Solihin alias Soleh, Utomo alias Abu Farouq, Bambang Tutuko alias Abu Umar, Fadli dan Samuri alias Musthoffa alias Ari alias Arman. Kecuali Dani alias Abu Yasar yang sudah dibawa ke Medan, 19 tersangka itu kini ditahan di rumah tahanan narkoba Polda Metro Jaya (Baca Dari Sopir hingga Pakar Komputer).
Keruan saja ini menimbulkan gelombang protes. Para politikus dari berbagai fraksi di DPR angkat vokal. Sejumlah anggota dewan berkeras, dalam melakukan penangkapan, polisi telah melakukan penculikan dan menyalahi prosedur hukum. "Kami tidak ingin polisi sebagai penegak hukum bekerja di luar hukum," ujar Ahmad Sumargono dari Fraksi Bulan Bintang. Permadi, dari PDI Perjuangan, malah lebih keras. "Tim antiteror itu sepertinya kok banyak nonmuslimnya," katanya keheranan.
Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat juga ikut mengecam. Polisi, kata mereka, tengah memakai pukat harimau bernama antiterorisme untuk menangkapi aktivis masjid secara sembrono. Mereka lalu membentuk Tim Kuat (Korban Undang-Undang Antiterorisme) bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat seperti LBH, Paham, MMI, Mer-C, dan Tim Pembela Muslim. Zainuddin dari Paham menilai telah terjadi teror negara terhadap rakyat dalam kasus penangkapan ini. Ia mendasarkan pada nasib Suprapto yang ditangkap di Riau awal September lalu, yang hingga kini tak pernah ada dalam daftar pengumuman polisi. Lucunya, kata Zainuddin, yang disita hanya kertas mika dan dua gulung tali rafia. "Cara kerja polisi meyakinkan kami bahwa mereka telah melakukan penculikan dan teror kepada masyarakat," ujarnya.
Sejumlah istri "korban" dan saksi mata yang berujar kepada TEMPO menguatkan pandangan itu. Soalnya, suami mereka diambil paksa tanpa pemberitahuan dan surat penangkapan. Mereka umumnya diciduk ketika sedang bekerja atau di jalan. Dibawa paksa di bawah ancaman, ditutup matanya, dan digebuki di tengah jalan. Beberapa dipelesirkan dulu ke hotel dan diskotek. Ada pula yang diinterogasi oleh polisi asing. "Ada yang ditelanjangi dan dikurung di ruangan berpendingin. Ada pula yang disetrum," ujar Zainuddin kepada TEMPO.
Melihat "gelagat" opini publik makin memojokkan polisi, Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar, yang awalnya berkeras menganggap polisi sudah menaati prosedur, belakangan sikapnya melunak. Usai bertemu dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Kompleks Masjid Istiqlal Jakarta, Jumat pagi pekan lalu, Da'i mengakui adanya ketidaktertiban prosedur di lapangan. "Ke depan kita akan memperbaiki dan segera kita beritahukan kepada keluarga kalau ada penangkapan," ujar Kapolri.
Padahal, dasar hukumnya jelas. Menurut Undang-Undang Antiterorisme No. 15 Tahun 2003, polisi bisa menangkap seseorang jika berdasarkan informasi intelijen diduga kuat terkait dengan aksi teror. Polisi juga berhak menahan mereka untuk keperluan interogasi selama tujuh hari. Tapi rupanya mereka alpa bahwa di situ juga disyaratkan adanya otentifikasi Kapolri dan penetapan oleh pengadilan negeri setempat. Faktanya beda. "Kami belum pernah mengeluarkan surat penetapan penangkapan dan penahanan terhadap aktivis masjid di Solo yang dituduh terlibat terorisme sebagaimana diatur undang-undang itu," kata Mudzakir, Kepala Pengadilan Negeri Surakarta.
Polisi rupanya punya alasan sendiri. Mereka mengaku tak memakai data intelijen melainkan pengembangan berdasarkan keterangan para tersangka yang sudah ditangkap sebelumnya. Buktinya, Dani Sitorus, seorang aktivis yang ditangkap pada Jumat awal September lalu, tak lain adalah buron polisi dalam kasus peledakan bom Medan. Karena itu, tuduhannya adalah pelanggaran Undang-Undang No. 12 Tahun 1951 tentang Penguasaan dan Kepemilikan Senjata Api tanpa Kewenangan. "Klien kami dituduh sana-sini. Setelah susah dibuktikan, dituduh menjadi otak bom Medan," ujar Zainuddin.
Jika betul, niscaya kasus pria berperawakan tinggi itu amat berat. Soalnya, Dani alias Abu Yasar dituduh sebagai salah satu otak dan pelaku peledakan bom di tiga gereja di Medan pada Minggu, 28 Mei 2000. Ketiga gereja itu adalah GKPI di Jamin Ginting, Gereja HKBP di Jalan Sudirman, dan Gereja Katolik Kristus Raja di Jalan M.T. Haryono. Karena bom Medan diyakini polisi atas biaya dua tokoh penting Jamaah Islamiyah yang bertanggung jawab atas pengeboman di Bali, yakni Hambali dan Imam Samudra, maka Dani juga diduga punya kaitan dengan mereka. Sumber TEMPO di kepolisian menyebut Dani Sitorus alias Abu Yasar adalah orang yang meletakkan bom di dalam Gereja GKPI—melukai 30 orang—dengan cara menyamar sebagai jemaat.
Betulkah? Kepada TEMPO, istri kedua Dani, Yuli Eprisanti, 25 tahun, membantah tuduhan polisi. Dani, 32 tahun, sehari-hari hanyalah seorang montir shockbreaker di bengkel Asmon Gatot di Jalan Raya Antasari, Bandar Lampung. Polisi "menculiknya" pada 5 September lalu, dengan berpura-pura menjadi konsumen (baca Cokok Dahulu, Urusan Belakangan). Memang, Yuli, yang awal pekan lalu melahirkan anak keduanya, di sekretariat relawan Mer-C di Jakarta mengakui Dani asli orang Medan. "Kami tinggal di Lampung sejak sekitar setahun lalu. Tapi saya yakin suami saya tak bersalah," ujarnya kepada TEMPO.
Cokok-mencokok aktivis muslim ini buah kerja keras tim khusus antiteror yang dibentuk polisi. Di dalamnya ada nama kondang Brigadir Jenderal Polisi Gorries Mere, yang pernah menjemput "ratu ekstasi" Zarima ke Amerika Serikat, dan Amrozi, salah satu pelaku peledakan bom Bali. Selain itu, ada Ajun Komisaris Besar Polisi Carlo Tewu, Komisaris Jenderal Polisi Edwin Mappaseng, A.K.B.P. "Tim Kobra" Tito Karnavian, Brigjen Polisi Pranowo, dan Komisaris Besar Polisi Bekto Suprapto. Dua nama terakhir adalah direktur dan wakil direktur sebuah direktorat antiteror di Markas Besar Kepolisian RI.
Sejumlah anggota tim pemburu teroris ini baru saja dapat bukti hebat. Dari "nyanyian" Surono alias Fadli alias Satria, 31 tahun, yang diciduk di Solo dua pekan lalu, polisi juga menuai keberhasilan lain. Jumat pekan lalu, disita ribuan butir peluru dan puluhan kilogram bahan peledak di Jengglengan, Gayam Dompo, Karanganyar, Jawa Tengah. Ribuan peluru dan serbuk mesiu yang diduga aparat diproduksi PT Pindad itu dititipkan Surono di rumah Wagino dan Sunarno (lihat Amunisi di Balik Jerami).
Sungguh ampuh pukat antiterorisme yang ditebar polisi. Sebagai upaya mencegah terjadinya kejahatan kemanusiaan, langkah ini memang patut dipuji. Cuma, caranya masih perlu dibenahi. Agar tak ada lagi culik-menculik dengan model kekerasan tak terperi seperti dulu.
Adi Prasetya, Edy Budiyarso (Jakarta), Imron Rosyid (Solo), Fadilasari (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini