Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hujan Desakan Mencopot Gelar Profesor Anwar

Gelar guru besar atau profesor kehormatan Anwar Usman didesak dicopot. Obral gelar berbahaya bagi kepentingan akademis. 

13 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hakim Konstitusi Anwar Usman di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 8 November 2023. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah akademikus mendesak Kementerian Pendidikan mencopot gelar guru besar atau profesor kehormatan Anwar Usman.

  • Pelanggaran etik berat yang dilakukan hakim konstitusi itu mencederai muruah perguruan tinggi.

  • Rektor Unissula berencana mengkaji pencopotan gelar profesor kehormatan Anwar Usman.

JAKARTA – Sejumlah akademikus mendesak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi segera mencopot gelar guru besar atau profesor kehormatan Anwar Usman. Mereka menilai pelanggaran etik berat yang dilakukan hakim konstitusi itu mencederai muruah perguruan tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Koordinator Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa, mengatakan pelanggaran etik Anwar merusak muruah perguruan tinggi, yakni menjunjung tinggi integritas. Satria menilai Kementerian Pendidikan harus segera bersikap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kampus dan Kementerian Pendidikan harus memastikan profesor adalah gelar untuk mengemban mandat yang sangat tinggi dalam menjaga integritas akademis. Dipertahankannya gelar yang diemban Anwar Usman akan merusak integritas perguruan tinggi,” ujar ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Surabaya ini kepada Tempo pada Ahad, 12 November 2023.

Anwar mendapat gelar profesor kehormatan dari Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang pada 11 Maret 2022. Satria mengatakan Unissula harus meninjau ulang pemberian gelar itu. Menurut Satria, dalam aturannya, gelar profesor kehormatan harus dicopot bila penerimanya mendapat sanksi etik sedang atau berat. Aturan tersebut merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi.

Hal ini bermula dari putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada Selasa, 7 November 2023. MKMK menyatakan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman melakukan pelanggaran etik berat dan mencopot Anwar dari jabatannya sebagai Ketua MK. MKMK dipimpin Jimly Asshiddiqie serta beranggotakan Wahiduddin Adams dan Bintan R. Saragih. MKMK, dalam pemeriksaan sidang etik, menyatakan bahwa Anwar terbukti memiliki konflik kepentingan saat menguji dan memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshidiqqie didampingi anggota MKMK, Wahiduddin Adams (tengah), bersiap memimpin sidang atas Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (kiri) dalam dugaan pelanggaran kode etik di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 31 Oktober 2023. TEMPO/Hilman Fathurrahman W. 

Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah permohonan uji materi terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu. Pasal itu mensyaratkan batas usia calon presiden dan wakilnya adalah 40 tahun. Uji materi tersebut diajukan Almas Tsaqibbirru Re, mahasiswa asal Surakarta yang mengklaim sebagai pengagum Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo yang juga putra sulung Presiden Joko Widodo.

MK, dalam putusannya pada 16 Oktober 2023, selain frasa “berusia 40 tahun”, menambahkan klausa “pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah”. Putusan ini memuluskan langkah Gibran, yang juga keponakan Anwar Usman, maju sebagai bakal calon wakil presiden. Anwar memiliki kekerabatan keluarga karena menikah dengan Idayati, adik Presiden Joko Widodo.

Selain itu, MKMK menyatakan Anwar terbukti membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Namun tidak disebutkan intervensi yang dimaksudkan. Putusan MKMK juga memerintahkan Wakil Ketua MK Saldi Isra menyelenggarakan pemilihan Ketua MK.

MKMK juga melarang Anwar menyidangkan perkara yang berhubungan dengan sengketa pemilu. Dissenting opinion atau beda pendapat terjadi dalam putusan sidang etik tersebut. Bintan Saragih menilai pelanggaran etik berat seharusnya membuat Anwar diberhentikan dengan tidak hormat sebagai hakim konstitusi, bukan hanya dicopot sebagai Ketua MK.

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah) seusai pembacaan putusan uji materi batas usia calon presiden dan calon wakil presiden di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 23 Oktober 2023. TEMPO/Hilman Fathurrahman W. 

Dengan adanya fakta tersebut, Satria Unggul meminta Kementerian Pendidikan mendorong Unissula segera meninjau ulang gelar profesor kehormatan Anwar Usman. Menurut Satria, gelar kehormatan adalah gelar yang diberikan kepada orang yang punya dedikasi luar biasa atas kualifikasi akademis, profesionalitas, ilmu pengetahuan, karya, dan nilai kemanusiaan.

Satria menilai Anwar Usman tidak layak menyandang gelar profesor kehormatan karena terbukti melanggar etik. “Pun menjadi komitmen Kementerian Pendidikan menjaga muruah akademis perguruan tinggi,” ujarnya.

Dihubungi secara terpisah, pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, mengatakan pencopotan gelar profesor kehormatan menjadi ranah perguruan tinggi sebagai pemberi gelar. Namun, Edi menilai, Kementerian Pendidikan juga bisa mendorong perguruan tinggi segera melakukan penyelidikan. “Kasus pencabutan gelar profesor kehormatan rasanya tidak banyak mencuat ke publik. Tapi sikap Kementerian Pendidikan seperti apa dan bagaimana, kami juga tidak tahu,” ujar Edi, kemarin.

Dalam proses peninjauan ulang gelar, menurut Edi, perguruan tinggi perlu mengumpulkan profesor dan dosen selaku pemberi gelar profesor kehormatan kepada Anwar. Mereka mengkaji ulang kelayakan Anwar Usman yang telanjur diberi gelar kehormatan. “Jika ditemukan dan dianggap tak layak lagi, tim mengusulkan pencabutan ke menteri,” ujar Edi menjelaskan.

Adapun Rektor Unissula Gunarto mengatakan kampusnya berencana mengkaji pencopotan gelar profesor kehormatan Anwar Usman. Dia bersama tim akan meninjau sejumlah mekanisme yang biasa dilakukan dalam mencopot gelar profesor kehormatan. Unissula akan memanggil pengusul pemberi gelar kehormatan dan Anwar Usman. Setelah itu, kedua pihak akan berdiskusi mengenai nasib gelar profesor kehormatan Anwar. Kemudian hasilnya diserahkan kepada senat perguruan tinggi. “Persetujuan pencopotan atau tetap dipertahankan gelar guru besar kehormatan ada di tangan Senat Unissula,” ujar Gunarto.

Gunarto menjelaskan, Anwar Usman diberi gelar profesor kehormatan karena dedikasinya. Anwar dinilai memutus dengan adil sejumlah sengketa yang ditangani MK. “Anwar dinilai berprestasi telah memutus dengan adil sengketa pemilihan presiden 2019 yang diajukan ke MK dan Indonesia lepas dari perpecahan kubu masing-masing calon,” kata Gunarto.

Tak hanya itu, dia melanjutkan, Anwar juga memiliki sejumlah karya akademis di bidang ilmu hukum. Anwar memiliki artikel di jurnal internasional berindeks Scopus. Jurnal terindeks Scopus kerap dipakai oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan sebagai acuan jurnal internasional bereputasi.

Anwar juga dinilai aktif dalam berbagai aktivitas akademis di Unissula. Di antaranya Anwar mengajar serta menjadi penguji ujian tertutup dan terbuka program doktoral (S-3) ilmu hukum Fakultas Hukum Unissula. “Dia juga melakukan riset bersama dosen fakultas hukum,” kata Gunarto. Karena itu, Anwar diusulkan oleh tiga guru besar bidang hukum menerima gelar profesor kehormatan dan usulan itu disetujui senat.

Namun, bagi Edi, pemberian gelar profesor kehormatan ditengarai memiliki kepentingan tertentu. Di Indonesia, kata dia, pemberian gelar profesor didasari motif politis dan ekonomi. “Hal ini bisa dilihat dari siapa saja yang memperoleh gelar-gelar tersebut,” kata Edi.

Menurut Edi, pemberian gelar dengan motif politis bertujuan memuluskan proyek atau program kampus dengan bantuan jaringan penerima gelar. Motif ekonomi, kata dia, juga hampir sama. Harapannya, bisa saja kampus memperoleh cipratan berupa proyek atau bantuan pembangunan kampus.

Obral Gelar Profesor Kehormatan

Anggota KIKA dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan perguruan tinggi belakangan ini tampaknya berlomba-lomba memberikan gelar profesor kehormatan kepada politikus dan pejabat negara. Menurut Herdiansyah, obral gelar ini dinilai berbahaya bagi kepentingan akademis karena bisa dianggap memperdagangkan gelar yang justru merusak muruah perguruan tinggi. “Ironis dan parahnya, hal ini seakan-akan dilegalkan oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 38 Tahun 2021,” kata Herdiansyah kepada Tempo, kemarin.

Menurut dia, fenomena ini terjadi karena diduga ada politik transaksional di baliknya. Politikus dan pejabat negara membutuhkan prestise tanpa bersusah payah. Di sisi lain, perguruan tinggi membutuhkan asupan pendanaan melalui jejaring elite dan proyek-proyek infrastruktur pendidikan. “Begitulah simbiosis mutualismenya,” ujar Herdiansyah.

Herdiansyah mendorong agar kampus menolak atau tidak mudah memberikan gelar profesor kehormatan. Ada tiga alasan penolakan itu. Pertama, pemberian gelar profesor kehormatan kepada mereka dari sektor non-akademis, terutama politikus dan pejabat negara, tidak sesuai dengan prinsip kepantasan. Dia menyebutnya seperti melelang murah harga diri perguruan tinggi. “Sebab, yang pantas mendapatkan jabatan profesor hanya mereka yang konsisten bekerja di sektor akademis,” ujarnya.

Kedua, Herdiansyah melanjutkan, profesor atau guru besar merupakan jabatan, bukan gelar. Sebagai jabatan, melekat kewajiban-kewajiban akademis yang harus dilaksanakan. Dalam keadaan itu, kewajiban tersebut mustahil dilakukan orang-orang yang bekerja di sektor non-akademis.

Hal ketiga, menurut dia, pemberian gelar kepada politikus dan pejabat dinilai tidak berangkat dari basis penilaian berdasarkan kaidah-kaidah akademis. “Tapi dibangun atas dasar politik transaksional yang ukurannya sangat subyektif,” ujar Herdiansyah.

Dalam kesempatan terpisah, guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Sigit Riyanto, mengatakan pengangkatan profesor kehormatan justru merendahkan martabat perguruan tinggi. Kebijakan otoritas perguruan tinggi yang didasari kepentingan pragmatis individu atau kelompok sama saja menggadaikan etika dan standar akademis. Hal ini, menurut dia, bertentangan dengan karakter cendekiawan, bahkan membusukkan institusinya.

“Tanpa komitmen untuk merawat dan mempertahankan intelektualitas, nilai-nilai etis, dan integritas akademik, institusi pendidikan tinggi akan terperosok pada praktik kumuh dan pembusukan institusional,” ujarnya, kemarin.

Sigit mengatakan implikasi lebih jauh dengan mempertahankan gelar profesor kehormatan adalah rusaknya tata kelola serta menurunnya standar proses dan mutu akademis. Akibatnya, perguruan tinggi bisa dianggap makin tidak kompetitif, bahkan pendidikan serta pengembangan ilmu mengalami involusi karena rusaknya tradisi dan etos keilmuan.

Lagi pula, kata Sigit, istilah guru besar kehormatan di Indonesia berbeda dengan honorary professor di negara-negara lain yang sudah mapan standar dan tradisi akademisnya. Dia menjelaskan, honorary professor diberikan kepada akademikus yang sebelumnya sudah menyandang gelar profesor di universitas lain. Gelar honorary professor diberikan kepada akademikus tersebut karena universitas lain itu membutuhkan kepakaran dan reputasinya dalam melakukan riset. “Karena itu, diberi post sebagai honorary professor di universitas yang berkepentingan,” kata Sigit.

Sigit mencontohkan sosok hakim Theodor Maron. Theodor adalah profesor di Graduate Institute of International and Development Studies (IHEID), Geneva, Swiss. Namun, karena pengabdiannya pada peradilan pidana dan hukum humaniter internasional, dia diberi gelar honorary professor oleh Universitas Oxford, Inggris.

Tempo belum mendapat konfirmasi dan tanggapan dari Anwar Usman serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tempo mencoba menghubungi pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nizam; dan Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat, Anang Ristanto, untuk meminta konfirmasi dan tanggapan. Namun, sejak Ahad pagi, keduanya tidak merespons pesan berupa pertanyaan yang dikirim Tempo. Saat dihubungi, mereka juga belum merespons hingga berita ini diturunkan.

HENDRIK YAPUTRA | JAMAL ABDUL NASHR (SEMARANG)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus