Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KPU menggelar PSU di Kuala Lumpur pada Ahad, 10 Maret 2024, berdasarkan rekomendasi Bawaslu.
Pemutakhiran data pemilih tetap ditengarai tidak valid dan terkesan tertutup.
Bawaslu juga menemukan intimidasi terhadap KPPS dan pengawas.
JAKARTA – Rosyid tidak bisa mencoblos dalam pemungutan suara ulang atau PSU di Kuala Lumpur, Malaysia, Ahad, 10 Maret 2024. Namanya tidak tertera dalam daftar pemilih tetap luar negeri (DPTLN) yang dimutakhirkan Komisi Pemilihan Umum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anak muda yang menolak disebutkan jati dirinya itu bercerita ia menerima surat undangan sebagai daftar pemilih tetap (DPT) pada 4 Februari lalu untuk mencoblos di Kotak Suara Keliling (KSK) 100. Namanya juga tercantum di halaman cek DPT online pada situs web KPU.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KPU menggelar PSU di Kuala Lumpur pada 10 Maret lalu. Namun Rosyid heran karena namanya kemudian tidak tercantum di situs web cek DPT online KPU. Di halaman cek DPT online muncul tulisan "Data Anda belum terdaftar!" saat Rosyid mengecek datanya. Rosyid pun pasrah tidak mencoblos lagi dalam PSU. "Ketika PSU, saya tidak terdaftar di DPT mana pun. Ini jadinya bagaimana KPU?" ujarnya lewat pesan video yang diterima Tempo pada Senin, 11 Maret 2024.
Baca Juga Infografiknya:
WNI antre untuk verifikasi data pemungutan suara ulang (PSU) Pemilu 2024 di World Trade Center, Kuala Lumpur, 10 Maret 2024. ANTARA/Virna Puspa Setyorini
KPU menggelar pemungutan suara ulang di Kuala Lumpur setelah tujuh anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Kuala Lumpur ditengarai memanipulasi data DPT di sana. PSU didasarkan pada rekomendasi Badan Pengawas Pemilu yang menemukan kasus tersebut. Ketujuh orang itu berstatus tersangka karena diduga menambah dan memalsukan data DPT setelah KPU mengeluarkan data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) sebanyak 493.856 untuk wilayah Kuala Lumpur.
Total DPT yang dilaporkan PPLN Kuala Lumpur adalah 447.258 pemilih. Data milik KPU yang telah dicocokkan dan diteliti langsung oleh petugas pemutakhiran data pemilih (pantarlih) hanya 64.148 pemilih.
KPU lantas memutakhirkan data DPT untuk PSU di Kuala Lumpur. Jumlahnya 62.217 pemilih atau 13 persen dari 491.152 pemilih dalam pemungutan suara pada 11 Februari lalu. Pemungutan suara ulang dilakukan dengan metode pencoblosan langsung di tempat pemungutan suara (TPS) di Putra World Trade Center serta metode KSK di 120 titik. Adapun 62.217 orang dalam DPT yang dimutakhirkan KPU ini terdiri atas 42.372 pemilih di TPS dan 19.845 pemilih dengan KSK.
Rosyid bukanlah satu-satunya orang yang mengalami masalah saat PSU. Anggota staf Pengelolaan Pengetahuan, Data, dan Publikasi Migrant Care, Trisna Dwi Yuni Aresta, juga mengalami kesalahan data saat memeriksa DPT miliknya. Trisna adalah perwakilan Migrant Care, pegiat pekerja migran, yang turut memantau PSU. Ia ikut mencoblos di Kuala Lumpur.
Trisna menuturkan, pada Ahad lalu, banyak terjadi perubahan sistem cek DPT online pada pukul 10.14-10.42 waktu setempat. Awalnya Trisna mengecek DPT online pukul 10.14. Di halaman tersebut, ia masih mendapati namanya dengan keterangan yang memperlihatkan statusnya sebagai pemilih DPTb. Namun data ini berubah ketika ia kembali mengecek pukul 10.42. Data Trisna pada halaman DPT online hilang dan hanya tertera DPT Sidoarjo, yang merupakan wilayah asalnya.
"Ini menimbulkan kebingungan bagi saya sebagai pemilih," ujar Trisna saat memaparkan temuannya dalam webinar Migrant Care, Ahad lalu. Sebenarnya bukan hanya Trisna yang bingung akibat berubahnya data. Sebab, kata dia, beberapa diplomat di Kuala Lumpur juga berstatus daftar pemilih khusus (DPK) yang harus mengikuti PSU.
PSU Dianggap Minim Sosialisasi
Migrant Care, lembaga yang turut memantau pemungutan suara ulang di Kuala Lumpur, menyebutkan pemutakhiran data DPT ditengarai tidak valid dan terkesan tertutup. Trisna mengatakan adanya ketidaksesuaian data DPT dengan DPK disebabkan oleh sosialisasi yang buruk. Ia mencontohkan, ada TPS yang memiliki 2.000 pemilih dalam DPT, tapi hanya didatangi 6-10 orang. Ketika tutup pada pukul 18.00 waktu setempat, TPS tersebut diketahui memiliki 200 DPK. "Sebetulnya, dengan beberapa kejadian ini, kami justru secara terbuka menantang KPU menuturkan data mana yang dimutakhirkan atau diverifikasi," ujarnya. "Tidak adanya data yang valid membuat WNI terhambat untuk menggunakan hak pilihnya."
Petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara luar negeri dengan metode kotak suara keliling menunjukkan amplop tersegel dalam rekapitulasi penghitungan hasil pemungutan suara ulang (PSU) di Kuala Lumpur, Malaysia, 11 Maret 2024. ANTARA/Virna Puspa Setyorini
Trisna juga menilai PSU di Kuala Lumpur dilakukan asal-asalan. Dia menyebutkan KPU tidak siap menggelar PSU di Kuala Lumpur meski mendatangkan langsung 124 anggota staf dan anggota KPU.
Trisna mencontohkan, panitia kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) baru direkrut dan diumumkan pada 8 Maret lalu atau dua hari sebelum PSU. Menurut dia, waktu dua hari tidak cukup untuk memberikan bimbingan teknis kepada petugas KPPS.
Dia membandingkannya dengan pemungutan suara pada 11 Februari lalu. Pelaksanaan bimbingan teknis bagi KPPS tidak terawasi dengan baik. Pemungutan suara di luar negeri, termasuk Malaysia, berlangsung lebih awal dibanding di Tanah Air, yang digelar pada 14 Februari lalu.
Akibatnya, kata Trisna, sejumlah kesalahan terjadi saat KPPS menuliskan data di formulir C-hasil plano dari TPS. Menurut dia, data jumlah suara dari hasil pemungutan suara di TPS tidak ditulis dengan baik, bahkan ada kesalahan menulis angka.
Selain mendapati perekrutan yang mendadak, Migrant Care menemukan buruknya persiapan KPPS. Trisna menuturkan, menjelang PSU, masih ada petugas KPPS yang kebingungan di TPS mana dia ditempatkan. Serupa dengan petugas KPPS, ada petugas registrasi baru dikabari bahwa mereka ditunjuk melakukan tugas pendaftaran pada pukul 3 dinihari atau beberapa jam sebelum pemungutan suara ulang. "Padahal petugas registrasi ini berperan penting karena akan menyeleksi atau memverifikasi beberapa pemilih untuk memasuki area TPS," ujarnya.
Minimnya sosialisasi menjadi sebab rendahnya partisipasi pemilih dalam PSU di Kuala Lumpur. Migrant Care mendapati KPU tidak memberikan sosialisasi yang cukup karena masih banyak warga negara Indonesia yang baru mengetahui ada PSU di Kuala Lumpur. KPU juga dinilai tidak menyediakan meja khusus informasi di lokasi pemungutan suara. Walhasil, banyak pemilih yang kebingungan saat di lokasi pemungutan suara. Apalagi quick response (QR) code atau kode respons cepat yang disediakan KPU memuat iklan yang cukup lama sebelum dialihkan ke halaman cek DPT online sehingga membingungkan pemilih.
"Ketika mereka membuka, tidak bisa langsung cek DPT online. Padahal mereka seharusnya tinggal memindai QR code dan dialihkan untuk mengisi paspor atau KTP. Itu pun masih banyak data DPT yang tidak terdaftar," kata Trisna.
Masalah lain adalah kotak suara keliling yang dikembalikan ke gedung World Trade Center karena tidak ada penanggung jawab di lokasi. Kotak suara keliling yang dikembalikan adalah KSK 49 dan 95. Kemudian tidak ada manajemen yang baik untuk menata kerumunan oleh KPU sehingga sempat terjadi gesekan keributan dengan pemilih lain.
Minimnya kehadiran petugas KPU juga dimanfaatkan broker atau pendukung calon legislatif untuk memobilisasi pemilih di depan TPS. Trisna mengatakan, saat berjalan ke TPS, dia diberi kertas selebaran untuk memilih salah satu calon legislator. "Usut punya usut, pemilih diminta membuat rekaman video saat mencoblos. Video itu lalu ditukarkan dengan sejumlah uang ringgit," ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan masalah terbesar dalam PSU di Kuala Lumpur adalah data pemilih tidak akurat, sosialisasi tidak berjalan, serta calon legislator diduga melakukan berbagai cara untuk memobilisasi dan mempengaruhi suara pemilih. Titi ikut memantau langsung PSU di Kuala Lumpur. "Diduga caleg masih berkampanye saat pemungutan suara dan ada yang nekat melakukan politik uang di lokasi PSU berdasarkan hasil pemantauan," katanya melalui pesan tertulis kepada Tempo, kemarin.
Dosen bidang kepemiluan studi hukum tata negara di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini mengatakan ketidakakuratan DPT tersebut membuat pemilih tidak bisa menyalurkan hak pilih. Menurut dia, banyak pemilih yang terdaftar dalam DPT dan menggunakan hak pilih pada pemungutan suara 11 Februari lalu, tapi tidak terdaftar saat PSU.
"Hal ini menimbulkan pertanyaan dan keraguan besar atas kredibilitas PSU di Kuala Lumpur. Alih-alih menjawab persoalan akurasi DPT, KPU kembali mengulangi ketidakprofesionalannya dalam menyusun DPT," ujarnya.
Dua komisioner KPU yang mengawasi langsung pelaksanaan PSU di Kuala Lumpur, Idham Kholik dan Betty Epsilon Idroos, belum merespons permintaan konfirmasi Tempo perihal temuan lembaga pemantau dan masalah penyelenggaraan PSU tersebut.
Lancar tapi Dengan Catatan
Adapun Bawaslu, lewat keterangan tertulisnya kemarin, menyampaikan PSU di Kuala Lumpur berjalan lancar dengan catatan. Anggota Bawaslu, Puadi, menuturkan, dari hasil pemantauan lembaganya, penyelenggara telah menggelar PSU sesuai dengan prosedur. "Hanya, memang yang perlu menjadi catatan itu tingkat partisipasi, kaitannya dengan jumlah pemilih yang berkurang," katanya, kemarin.
Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas Bawaslu, Lolly Suhenty, mengakui PSU yang dilaksanakan melalui metode TPS dan KSK menimbulkan masalah pada partisipasi pemilih. Dia menjelaskan, di satu sisi ada lokasi yang tingkat partisipasinya turun, sementara di sisi lain ada data DPK yang meningkat drastis.
Bawaslu mengakui PSU di Kuala Lumpur juga diwarnai sejumlah aksi. Lolly bercerita, panitia PSU kesulitan mengontrol pemilih DPK yang berkeberatan menunggu satu jam sebelum waktu pencoblosan berakhir, seperti yang terjadi di KSK 020, 102, dan 103.
Lolly menyampaikan catatan lain Bawaslu, seperti pembukaan pelaksanaan PSU yang tidak tepat waktu, tidak ada pembacaan sumpah pada pembukaan TPS, tidak ada DPTLN yang ditempel di TPS, dan keterbatasan personel di bagian pendaftaran. Akibatnya, panitia penginput data pemilih mengalami hambatan.
Bawaslu juga menemukan intimidasi terhadap KPPS dan pengawas TPS atau KSK oleh sejumlah pemilih. Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan kasus tersebut terjadi di KSK 39 di wilayah Klang. Para pemilih tidak sabar menunggu dan tak terima setelah ditegur pengawas dan KPPS karena melanggar aturan, seperti memotret kertas suara yang sudah dicoblos, mengarahkan pemilih untuk memilih salah satu kandidat di area KSK, mengintip pemilih lain ketika mencoblos, serta mengganggu keamanan.
Bagja mengatakan Bawaslu telah mengumpulkan bukti intimidasi dan identitas beberapa pemilih yang diduga terlibat. "Kami akan sampaikan ke Sentra Penegakan Hukum Terpadu atau Sentra Gakkumdu untuk dilakukan penegakan hukum agar menjadi evaluasi dan perhatian masyarakat yang ingin mengintimidasi penyelenggara pemilu," katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo