SETELAH kapal Permata II tenggelam (TEMPO 3/9-77) tiba-tiba
banyak pihak berbicara perkara angkutan dari dan ke Kotabaru di
Pulau Laut itu. Gusti Syamsir Alam Bupati Kotabaru, umpamanya
menuntut agar Pemda Kalimantan Selatan secepatnya meneruskan
proyek pembuatan jalan tembus Asam-Asam ke Pagatan. Sebab dari
Pagatan (kota di pulau Kalimantan yang terdekat dengan Pulau
Laut) ke Kotabaru hanya memerlukan waktu 6 jam. Permintaan ini
tentu saja karena tak ada lagi kapal khusus sebagai penghubung
pulau kecil itu dengan Banja,rmasin setelah KM Permata II tiada
lagi.
Harapan Syamsir Alam rupanya sulit diterima. Sebab jalan tembus
seperti dimintanya membentang sepanjang sekitar 80 Km. "Duit
dari mana yang harus disedot untuk itu" tanya seorang pejabat di
kantor Gubemur Kalimantan Selatan. Karena itu diperkirakan
paling cepat dalam waktu 2 tahun lagi jalan tembus yang memang
sudah lama dirancang itu dapat terujud.
Menilik keadaan serupa itu maka Maulana, Ketua DPRD Kotabaru,
cepat-cepat mengalihkan perhatiannya ke Stagen, di luar kota
Kotabaru. "Pelabuhan udara itu harus ditingkatkan" ucapnya,
"sesuai dengan janji Dirjen Perhubungan Udara." Pelabuhan Udara
Stagen yang ada sekarang setiap hari didarati 3 buah pesawat
kecil, masing-masing Merpati, DAS dan Gatari. Panjang
landasannya hanya 65 meter. Menurut Maulana landasan itu harus
ditingkatkan sehingga dapat didarati Fokker 27. Sebab tambah
Maulana, dari sekitar 134.000 jiwa penduduk di Pulau Laut,
sekarang ini memang banyak yang sudah suka naik pesawat
dibanding jalan laut yang terkenal berombak ganas -- walaupun
dengan tarif penerbangan Rp 13.000 untuk Banjarmasin-Kotabaru
tak semua penduduk Pulau Laut mampu membayarnya.
AE-31
Tapi yang pasti Gubernur Kalimantan Selatan sendiri belum lama
ini menerima tuntutan agar angkutan kapal dari Asam-Asam ke
Kotabaru dan sebaliknya dihapus saja. Alasannya: tenggelamnya
Permata II dan sejumlah kecelakaan lainnya di kawasan itu adalah
karena jurusan pelayaran itu memang berbahaya. Bahkan setengah
kalangan menganggap jalur pelayaran itu sama halnya dengan
menempuh perjalanan maut.
Berlawanan dengan itu, menurut Gubemur Subardjo justru pelayaran
melalui jalur itu masih cukup efektif untuk dipertahankan. Tentu
saja bahaya akan selalu ada, "kalau penumpang yang dibawa
berlebihan atau kapal barang dijadikan kapal penumpang" kata
gubernur itu. Karena itu, tambahnya, kalau angkutan kapal ini
dihapus, "Iha orangorang sana pakai apa, menunggu jalan tembus
Asam-Asam-Pagatan rampung." Menurut Subardjo pengangkutan dengan
kapal udara tentu hanya untuk sebagian kecil penduduk pulau itu
saja.
Sementara menunggu jalan tembus yang belum tentu kelanjutannya
itu, Subardjo tiba-tiba teringat akan AE 31. Ini adalah nama
sebuah kapal milik Perhubungan Laut (kapal ransum). "Kapal itu
harus dioperasikan lagi" cetus Subardjo. Tapi kapal itu dilarang
oleh Dirjen Perhubungan Laut untuk diomprengkan di luar
pemakaiannya yang khusus itu. "Saya akan menghadap Dirjen minta
rekomendasi" sahut Mujiman SH, Kakanwil V Perhubungan Laut
Banjarmasin. Diizinkan atau tidak, tunggu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini