Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Letjen TNI Djaja Suparman:''Isu Kudeta Militer Selalu Diembuskan''

2 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MILITER merancang kudeta? Inilah kabar yang memenuhi Jakarta, belakangan ini. Desas-desus yang kini sudah menjadi diskusi di banyak tempat itu menyebut sejumlah perwira gerah melihat sikap lembek pemerintah terhadap berbagai gerakan separatisme dan membiarkan tubuh militer diobok-obok. Bekas Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal (purn.) TNI Rudini, juga melempar sinyalemen seperti itu.

Buntutnya, para petinggi Markas Besar TNI sampai perlu menegaskan kesetiaannya pada Istana. Ikrar diangkat langsung Panglima TNI Laksamana Widodo A.S. ketika Gus Dur dan Megawati berbuka puasa bersama pimpinan TNI di Balai Sudirman. Jakarta, Selasa pekan lalu. Dua hari setelah itu, di depan upacara ulang tahun Kodam Jaya, giliran Pangdam Jaya Mayjen TNI Ryamizard Ryacudu yang menyatakannya. Selepas magrib sehari sebelumnya, kabarnya Menko Polkam Jenderal Wiranto juga bersumpah setia saat menghadap Presiden Wahid di Istana.

Siapa lempar ''bola"? Banyak orang menoleh ke arah Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen TNI Djaja Suparman. Maklum, ketika menyambangi Brigade Infanteri VI Palur, Solo, 14 Desember lalu, Djaja melempar statemen keras. ''Pemanggilan sejumlah jenderal TNI ke Dewan Perwakilan Rakyat dan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP) Timor Timur akan membuat prajurit sakit hati dan bersikap membabi buta," kata lulusan Akademi Militer 1972 kelahiran Sukabumi, 11 Desember 1949, itu.


Benarkah? Terkaitkah pernyataan itu dengan isu pengambilalihan kekuasaan?

''Tidak ada kaitannya," kata mantan Pangdam Jaya (1998) dan V/Brawijaya (1997) ini sambil terbahak kepada Karaniya Dharmasaputra dan Arif A. Kuswardono dari TEMPO, yang menemuinya Jumat pekan lalu di Jakarta. Berikut petikan wawancara itu.

Apa sebenarnya maksud pernyataan Anda bahwa pemanggilan para jenderal oleh KPP membuat prajurit sakit hati dan bisa bersikap membabi buta?

Yang membuat polemik itu kan media (tertawa). Semua ditanyai pendapatnya, akhirnya keluar dari substansi masalah. Cerita lengkapnya begini. Waktu itu saya berdialog dengan satuan Kostrad yang ada di Jawa. Saya merasakan adanya keresahan, ketidakadilan, tidak adanya kepastian hukum dan ketakseimbangan antara jaminan hidup prajurit dan keluarganya dan beban pengabdian mereka. Kondisi ini sangat berbahaya bila pemimpin tidak tanggap. Karena itulah, saya lalu menjelaskannya secara gamblang dengan bahasa prajurit, agar moril mereka terpelihara. Saya ajak mereka untuk menyikapinya dengan arif. Saya juga minta KPP untuk melindungi hak asasi para jenderal itu, untuk menegakkan kebenaran berdasarkan fakta, tidak berlatar belakang politik. Tapi, yang muncul di media cuma wacana ''prajurit bisa sakit hati" itu. Dan para penanggap terjebak, seolah-olah saya menekan KPP, tidak reformis, arogan. Sama sekali tidak. Ini kondisi nyata dan upaya seorang pemimpin untuk menyelesaikan masalah yang dirasakan bawahannya. Jangan dikaitkan dengan masalah politik.

Seberapa besar keresahan itu?

Besar sekali. Pemanggilan KPP adalah puncak ketidakpuasan prajurit. Beberapa bulan lalu mereka membaca copy selebaran internet berisi daftar 37 jenderal dan perwira menengah yang dituduh melanggar hak asasi di TimTim dan harus diadili di Mahkamah Internasional. Coba bayangkan, kalau seperti itu, habis sudah pemimpin TNIAD. Hancur TNIAD. Sakit, enggak? Apalagi, melalui publikasi media, vonis sepertinya sudah dijatuhkan. Nah, ''vonis" kepada para jenderal itu menjadi bahasan prajurit, lalu terakumulasi jadi ketidakpuasan. Mereka kan bisa sakit hati. Saya bilang, bukan hanya prajurit, saya pun bisa sakit hati kalau caranya seperti itu. Apalagi, sejak dua tahun lalu, tekanan kepada TNI sangat besar. Di sisi lain, para prajurit tanpa henti mengamankan Aceh, Ambon, Kalimantan, Riau, TimTim. Lalu, apa yang mereka dapatkan? Hanya jadi korban. Gugur, cacat, atau luka. Masih juga dihujat, dituding melanggar hak asasi, diadili lagi. Kalau memang salah, kami siap menanggung risiko. Tapi melalui proses hukum yang adil. Sekarang ini tak ada payung hukum yang membela hak asasi prajurit, yang juga manusia itu. Itu situasi yang saya gambarkan supaya masyarakat memahami perasaan prajurit.

Tapi, bukankah pemeriksaan KPP itu bisa menghindarkan para jenderal dari Mahkamah Internasional?

Masalahnya bukan di situ. Sikap TNI sudah jelas, tunduk kepada hukum. Tapi, prosesnya sendiri harus berdasarkan pada aturan hukum dan hak asasi.

Lalu, kenapa dari kalangan militer sendiri, misalnya Mayjen Agus Wirahadikusumah, mengeluarkan tanggapan keras terhadap statemen Anda?

Kalau wartawan yang bertanya menjelaskan konteks masalahnya secara lengkap, pasti jawaban Mayjen Agus Wirahadikusumah akan sama seperti saya.

Bukankah itu menunjukkan perpecahan internal TNI? Bahkan juga, kabarnya, antara sejumlah pimpinan militer dan Presiden Gus Dur?

TNI yang mana? Kalau tidak salah, yang membentuk opini seperti itu kan koran, ha-ha-ha .… Kalimat ''perpecahan" seperti itu tidak ada dan tidak akan pernah ada. Sampai sekarang, TNI tetap solid. Kalau tidak, apa jadinya? Soal beda pendapat, itu wajar, perwujudan demokrasi. Tapi kalau sudah diputuskan dan ternyata berbeda dengan pendapat pribadi, ya, harus tunduk.

Pernyataan Anda, ''prajurit bisa bersikap membabi buta", itu terkait dengan ramainya sinyalemen kudeta militer?

Tidak ada kaitannya. Kalau dilihat dengan kacamata kuda, kesimpulannya bisa seperti itu. Tapi, kalau kita pahami secara komprehensif, kondisi itu tidak bisa dikaitkan dengan ramainya sinyalemen kudeta militer. Di TNI, dari organ terendah sampai tertinggi punya pemimpin yang dipanuti prajuritnya. Bingkai pengabdiannya sudah jelas Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan Jati Diri TNI. Tidak akan keluar dari situ. Kecuali bila kepentingan politik masuk lalu mendominasi tubuh TNI. Kalau sudah begitu, saya tidak tahu apa yang akan terjadi….

Kabarnya, pemikiran kudeta mulai berkembang di sejumlah perwira yang menilai Presiden Wahid terlalu lembek menghadapi separatisme dan malah mengorbankan TNI.

Dari mana berita itu? Sama sekali tidak ada pemikiran dan keinginan untuk kudeta militer. Yang saya ketahui, selama dua tahun ini isu kudeta militer memang selalu diembus-embuskan dalam percaturan politik. Tujuannya untuk memojokkan TNI dan menimbulkan rasa tidak percaya dari rakyat.

Anda kerap dilihat sebagai ''orang Wiranto". Seberapa dekat hubungan Anda dengan Wiranto?

Ha-ha-ha ..., saya ini sudah kenyang difitnah. Supaya Anda tahu, selama 2,5 tahun menjabat Pangdam di Ja-Tim dan Jakarta, saya pernah dituding anti-Habibie, orangnya Benny Moerdani, orangnya Tutut, Hartono, kelompok Partai Sosialis Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Merah Putih, Hijau. Sekarang, orang Wiranto. Nah, lengkap sudah tudingan itu. Saya ini prajurit profesional yang tidak pernah bermain politik. Panutan saya adalah Panglima TNI dan Kasad. Siapa orangnya tidak jadi masalah. Soal kedekatan, saya merasa dekat dengan siapa saja. Apalagi pada masamasa sulit dalam mengawal dan mengamankan negara ini, kami samasama menguras tenaga, pikiran, waktu. Ada ikatan batin. Tapi tidak ada kaitannya dengan ''polemik sakit hati" itu.

Ada yang menilai Anda jenderal tak reformis….

Apa arti, kriteria, dan tolok ukur seseorang reformis atau tidak? Target saya bukan mendapat julukan jenderal reformis atau tidak reformis, tapi apa yang terbaik yang bisa saya kerjakan untuk TNI, rakyat, bangsa dan negara tercinta ini. Kuncinya, pengabdian yang dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Mahaesa.

Anda dikenal dekat dengan kelompok Islam yang dinilai ''garis keras", Front Pembela Islam (FPI), misalnya.…

Sebagai Pangdam Brawijaya, Pangdam Jaya, ataupun selaku pribadi, saya dekat dengan semua organisasi dan ulama. Bukan hanya Islam. Juga Kristiani, Hindu, Buddha, Konghucu. Di kalangan Islam, saya juga dekat dengan semuanya, bukan hanya dengan FPI. Kalau saya dekat dengan kelompok Islam, lantas dikatakan Taliban ..., ha-ha-ha. Pikiran seperti ini harus diubah. Kalau tidak, kita tidak akan maju. Yang ada hanya curiga, lantas menuduh orang, memfitnah.

Kenapa Anda sampai dituding berada di balik penyerangan Wisma Doulos?

Ini yang saya katakan fitnah. Enam hari lalu saya mendengar dari berbagai lapisan, isu yang dikembangkan di luar berbunyi: Letjen Djadja Suparman berada di balik penyerangan Wisma Doulos. Saya minta Kodam, polisi, serta rekanrekan saya, tangkap saja jika ada yang bicara seperti itu. Ini pelanggaran hukum dan hak asasi (tertawa).

Saat sidang umum lalu, Anda dikaitkan dengan pengerahan masa kelompok Islam tertentu untuk mendukung pencalonan Habibie.

Saya katakan, saya bukan orang politik. Saya tentara profesional. Soal dukung-mendukung bukan urusan saya. Buktinya apa? Coba yang bicara seperti itu berhadapan dengan saya. Sidang umum bukan tanggung jawab saya, tapi Kapolda Metro Jaya. Saya hanya membantu pasukan bila polisi tidak bisa mengatasi situasi.

Tudingan lain, Anda membekingi jaringan peredaran narkoba di Ibu Kota.

Apa saya ada tampang seperti itu? Sebenarnya saya mau menuntut TEMPO karena tulisan majalah Anda (rubrik Investigasi TEMPO edisi 40) tidak menghormati hak asasi dan menginjakinjak hukum. Di sisi lain, tim investigasi Anda tahu persis orang-orang yang disebut mafia narkoba, tapi tidak melaporkannya ke polisi. Yang dipublikasikan malah orang lain, aparat TNI dan Polri. Fitnah lagi. Ada apa dengan tulisan itu?

Kenapa tudingan miring begitu gencar menerpa Anda?

Yang miring itu yang menuding (tertawa). Kalau soal tudingan, sejak letnan dua saya sudah merasakannya. Apalagi setelah kolonel sampai sekarang. Gencar sekali. Yang penting kita harus yakin, tak ada yang bisa melebihi Allah swt.

Apa motifnya?

Saya tidak tahu. Bisa jadi karena saya orang yang tidak bisa diajak ke kiri atau ke kanan. Atau bisa juga karena saya dianggap berbahaya untuk kepentingan mereka.

Maksud Anda, ada yang menjadikan Wiranto dan Anda sebagai target politik?

Saya banyak mendengar bisik-bisik ada rangkaian target sebagai bahan pembentukan opini secara terus-menerus. Sampai TNI amblas. Motonya: sikat terus TNl sampai mampus.

Siapa, sih, mereka itu?

Saya kurang paham, tapi saya mengerti siapa sumbernya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum