Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jalur Darah Banyuwangi-Malang

Inikah episode berikut dari peristiwa Banyuwangi? Sejumlah orang dibantai di Malang Selatan karena tudingan dukun santet.

2 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA mayat tergantung di bubungan sebuah gubuk reot. Berlumur darah, tubuh-tubuh itu remuk dibantai massa. Mereka tiga beranak-pinak: Matrawi, 70 tahun; istrinya, Bugimah, 65 tahun; dan anak mereka, Bukhari, 35 tahun. Pemandangan memualkan itu terjadi Kamis subuh, 9 Desember silam, di Desa Harjokuncaran, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Padahal, ihwalnya cuma sebuah tudingan. Bugimah, perempuan renta itu, dituding sebagai dukun santet. Sekejap kemudian, ratusan warga langsung berkerumun dengan parang terhunus. Lalu,… cras… cras…, darah pun muncrat. Tiga orang tersangka lalu diciduk polisi. Eh, warga yang sudah seperti kesetanan itu malah menyerbu dan membakar markas Polsek tempat para tersangka itu ditahan. Setelah itu, gelombang pembantaian menderu. Dalam tempo dua pekan, kawasan yang dikenal dengan Malang Selatan ini menelan delapan nyawa dan satu korban luka parah. Dan episode horor peristiwa Banyuwangi—pembunuhan dukun santet yang hingga kini masih gelap itu—seperti akan bersambung. September hingga Oktober 1998 silam adalah masa tergelap bagi kawasan di tapal kuda Jawa Timur itu. Hampir tiap hari, potongan mayat "dukun santet" ditemukan tak utuh atau paling tidak tercabik-cabik. Pembantaian massal dilakukan tidak hanya dengan teramat keji, tapi juga begitu terang-terangan. Bak wabah menular, menurut data tim investigasi NU, aksi jagal merembes ke tujuh daerah, mulai dari Banyuwangi, Jember, Pasuruan, Situbondo, Bondowoso, Pamekasan, dan Sampang. Tak kurang dari 253 jiwa melayang sia-sia. Tujuh puluh persen di antaranya adalah warga nahdliyin, yang sama sekali bukan tukang tenung. Banyak di antaranya malah kiai, guru mengaji, atau santri. Sang maut lalu bergentayangan di Malang. Di Kota Apel ini, yang dibantai bukan cuma mereka yang dicap juru sihir. Pembantaian sadistis juga terarah ke siapa pun yang dituding "ninja", sebutan untuk mereka yang dicurigai penjagal para kiai. Masih sulit dilupakan ketika warga Desa Sumberrejo, Kecamatan Bantur, yang lagi marah mendidih, dengan buas membunuh Arifin, lalu mengarak penggalan kepala Arifin yang masih meneteskan darah segar itu. Padahal, pemuda malang itu terbukti kemudian adalah seorang anak gila yang sial. Dan setahun kemudian, yakni saat ini, di tengah kesucian Ramadan, episode kebiadaban itu "diputar ulang". Bahkan dengan modus yang hampir sama. Tak semua korban adalah mereka yang dikenal sebagai dukun santet. Dari delapan korban, cuma tiga yang kerap disebut-sebut "suka menyihir orang". Selain menewaskan Bugimah itu, amuk massa menewaskan seorang janda di Desa Patukrejo, Kecamatan Kalipare, bernama Siamah, 45 tahun, dan Marinah alias Mbok Wo di Desa Pitrang, Kecamatan Kalipare. Kebetulan ketiga-tiganya wanita. Selebihnya, selain petani biasa, adalah justru santri atau guru mengaji. Munakib Al Subari, 60 tahun, misalnya. Selasa malam pekan lalu, guru mengaji dengan banyak santri itu baru saja usai salat isa. Tiba-tiba saja massa bergerombol di depan rumahnya di Desa Pitrang. Dan tanpa ba-bi-bu lagi, bak kesetanan mereka merajang tubuh Munakib. Munakib pun tersungkur tak bernyawa di hadapan istri dan kedua anaknya. Dua hari kemudian, giliran elmaut menjemput Munatip, 50 tahun. Di sebuah musala di Desa Sumberkerto, Kecamatan Pagak, usai salat tarawih, petani santri itu dijagal bahkan ketika ia belum lagi selesai melantunkan ayat Quran. Para algojonya lalu menyeret tubuh yang lagi meregang nyawa itu ke tengah kebun, sebelum akhirnya dibantai tanpa ampun. Ironisnya, baru saja siang hari itu rombongan Wakil Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur, Brigjen Sudirman Ail, memantau ke lapangan. Mayat para korban bergelimpangan di empat kecamatan: Bantur, Sumbermanjing, Pagak, dan Kalipare. Kawasan ini terpencil. Jalur sepi 30 kilometer yang menghubungkannya dari Kota Malang cuma jalan sempit berkelok dengan jurang menganga di kedua tepinya. Kendaraan umum yang melintas tak banyak. Jika sore tiba, yang ada cuma gelap-gulita. Padahal, tak seperti daerah tapal kuda di Banyuwangi dan sekitarnya, Malang Selatan tak beken sebagai kawasan santet. Satu-satunya yang diingat orang, daerah ini pernah jadi basis PKI ketika peristiwa Blitar meletus. Ini juga bukan basis NU. Meski, menurut seorang pengurus NU Jawa Timur, jemaah NU memang tengah berkembang di sana. Ada banyak "NU Mualaf"—warga yang baru ikut bergabung. Maka, kalangan nahdliyin pun langsung bergerak. Sebuah tim investigasi bernama Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Malang Selatan dibentuk. Untuk mengamankan para kiai di daerah rawan, Banser (satuan tugas NU) dikerahkan. Pekan ini, dua peleton Banser bersiaga di Kalipare. Seperti halnya di Banyuwangi, kali ini pun para petinggi NU meyakini ada motif politik di baliknya. "Secara kasat mata, kok, tidak mungkin kalau hanya karena balas dendam,'' kata Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor Jawa Timur, Farchan S.A.A. Soalnya, menurut Farchan, yang juga terlibat dalam TPF Banyuwangi, hasil penyelidikan mereka terdahulu itu jelas menunjukkan adanya motif politik yang ingin menggerogoti tubuh NU. Karena itulah, kendati TPF belum lagi merampungkan penyelidikannya, ia yakin betul bahwa peristiwa ini keping kecil dari suatu megakonspirasi untuk menggoyang pemerintahan Gus Dur. Pelakunya, katanya menengarai, adalah barisan sakit hati yang terserimpung langkah Presiden Gus Dur. Nada suara Ketua Umum PBNU K.H. Hasyim Muzadi serupa. Ia mensinyalir adanya kelompok yang telah lama merancang operasi ini. Dan sekarang, ketika kontrol pemerintah terhadap keamanan lemah dan sistem intelijen lagi loyo, adalah saat yang tepat. Maka, kiai asal Malang itu mewanti-wanti aparat agar mewaspadai daerah rawan seperti Blitar Selatan, Tulungagung, Trenggalek, hingga Ponorogo. Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Kiai Nur Iskandar S.Q., pun mengamininya. Gus Dur, menurut Gus Nur, akan segera dilapori hasil investigasi TPF, yang akan rampung dua-tiga hari menjelang Lebaran. Buntutnya, aparat keamanan kontan kelabakan. Tak kurang, Wakapolda Brigjen Sudirman terjun langsung ke lapangan. Di sana ia tak cuma memberi arahan. Para tersangka pun diinterogasinya sendiri. Kekuatan personel aparat dilipatgandakan. Polda Jawa Timur menerjunkan pasukan tambahan untuk memperkuat jajaran Kepolisian Wilayah dan Resor Malang. Sampai Ahad kemarin, sudah 14 peleton Brimob dan Dalmas disiaga-satukan. Panglima Kodam V/Brawijaya, Mayjen Sudi Sialalahi, juga memperbantukan antara lain satuan intelijen, untuk membekuk sang provokator yang konon terus bergentayangan menebar maut. Toh, langkah aparat kembali dikritik tak cukup sigap, khususnya dalam mengantisipasi dan melokalisasi peristiwa. Tapi hal itu ditepis Kapolda Jawa Timur, Mayjen M. Dayat. Menurut Dayat, begitu terjadi pembunuhan di Kalipare, pihaknya langsung menerjunkan sekompi pasukan. Cuma, pasukan tak bisa cepat dimobilisasi lantaran medan yang berjauhan. Hingga pekan lalu, aparat telah menjaring 34 tersangka. Dari mulut mereka meluncurlah nama Maryono. Lelaki berusia 34 tahun ini begundal asal Jakarta dan baru lepas bui karena terlibat perampokan. "Ia diduga sebagai aktor intelektual,'' kata Kepala Dinas Penerangan Polda Jawa Timur, Letkol Sutrisno T.S. Para tersangka juga mengaku dibayar. Salah seorang menyebut angka Rp 3 juta yang diberikan Maryono. Sayang, preman itu keburu buron. Dari hasil pemeriksaan, adakah motifnya politis? Menurut Kapolda, cuma kriminal murni dan tak bisa disamakan dengan peristiwa Banyuwangi. Tapi penjelasan "kriminal murni" itu rupanya sudah tak laku di kalangan NU. "Jangan mengulang cerita Banyuwangi,'' kata seorang pengurus NU Jawa Timur dengan gusar. Maklum, ketika kasus Banyuwangi meledak, aparat memang selalu mengulang rumus "kriminal murni" itu. Sebuah kesimpulan yang selalu ditentang para petinggi NU. Dan para petinggi militer pun bakal makin pusing jika tak tuntas mengurus kasus ini. Sewaktu korban Banyuwangi berjatuhan, kesabaran para pemimpin NU pun habis. Tekanan keras lalu mereka desakkan ke pemerintah dan militer. Mereka bahkan sampai mengancam akan membawa kasus itu ke mahkamah internasional. Buntutnya, Markas Besar TNI Cilangkap sampai menurunkan tim khususnya. Bupati Banyuwangi, Purnomo Sidik, yang dianggap memicu pembantaian dengan menebar lis dukun santet, gencar didemo supaya turun dari jabatannya. Kabarnya, Ketua Umum PBNU waktu itu, Gus Dur, pun sampai turun tangan mendesak Cilangkap agar merotasi jajaran komando di daerah itu. Hasilnya, sejumlah petinggi militer mencelat dari jabatannya. Panglima Kodam V/Brawijaya, Mayjen Djoko Subroto, yang dinilai gagal, diganti Mayjen Ryamizard Ryacudu. Sebelumnya, menyusul pencopotan tiga kapolsek di Banyuwangi, Kapolres Banyuwangi Letkol Eddy Murdiyono pun mendadak diganti. Dan kini, pengurus NU kembali mengultimatum aparat. Mereka bakal kembali melancarkan tekanan serupa jika kasus itu, "Tak dapat ditangani." Karaniya Dharmasaputra, Adi Prasetya (Jakarta), Jalil Hakim (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus