Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Arswendo

Arswendo sebuah fenomena baru dalam pers indonesia memulai kariernya dari bawah. kemudian memimpin "monitor" dan "hai". berpindah-pindah agama. kasus angket monitor akibat arswendo kurang peka agama.

27 Oktober 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA sebenarnya yang kau cari, Arswendo? Pertanyaan tersebut, beberapa hari terakhir ini, bertubi-tubi ditudingkan pada pemimpin redaksi Monitor ini, menyusul geger yang timbul akibat "angket" tabloid ini, yang mencantumkan Nabi Muhammad saw. pada peringkat ke-11. Di saat emosi menggelegar, di kala rasa marah berkecamuk, orang memang cenderung untuk mencari-cari udang di balik batu. Mungkin udang itu memang ada, mungkin pula tidak. Namun, dengan mendinginkan emosi, kita mungkin akan bisa melihat persoalannya dengan lebih proporsional. Arswendo Atmowiloto sebenarnya adalah sebuah fenomena baru dalam pers Indonesia. Ia mulai kariernya dari bawah sekali: menulis untuk majalah dinding. Kemudian ia mulai mengirimkan tulisan-tulisannya ke berbagai media massa. Lalu jadilah ia salah satu penulis Indonesia yang paling produktif. "Saya menulis karena bisanya cuma memang menulis. Motivasinya: cari uang dan komunikasi," kata Arswendo, dalam majalah Horison, 1989. Kemudian Arswendo memimpin majalah Hai. Lalu, juga Monitor. Di sini, acara televisi diramunya bersama paha, dada, dan kode buntut. Resep ini ternyata cespleng. Oplah Monitor mencapai lebih dari 600 ribu, suatu prestasi baru dalam sejarah pers Indonesia. Resep ini kemudian diterapkan di majalah-majalah lain yang di bawah supervisi Arswendo, antara lain Jakarta-Jakarta dan Tiara. Maka, lahirlah kiat baru dalam jurnalisme Indonesia: jurnalisme ser dan lher -- istilah yang sering digunakan "majalah terpanas di Jakarta", Jakarta-Jakarta, yang oplahnya dinyatakan lebih dari 80 ribu. Jurnalisme ser dan lher segera mengundang banyak protes karena dianggap mengeksploitasi "keindahan wanita". Toh Arswendo, yang mengakui ia memang mengeksploitasi seks, jalan terus. Kerja keras, inovasi baru, juga keberuntungan, tampaknya terus memayungi lelaki kelahiran Solo yang stel kendo dan suka bercanda ini. Keberhasilan bisa membuat orang alpa. Apakah ini yang kemudian terjadi pada Arswendo? Yang jelas, Arswendo memang tidak punya filsafat hidup yang jelas. "Pokoknya, jalan. Hidup saya ini kebanyakan dijalani dengan cara begitu, tidak pernah terencana, hanya sesaat-sesaat, dengan mengambil satu pijakan." Kehidupan beragama Arswendo juga menarik. Waktu kecil ia ikut pengajian Islam. "Kemudian di SMP saya ikut Protestan. SMA saya ikut Konghucu-Konghucu itu. Kemudian saya kawin dengan seorang Katolik dari lahirnya, dan anak-anak saya dididik Katolik. Tapi kok ya belum ada panggilan bahwa saya ikut Katolik, atau ikut Islam, atau yang lain...," katanya dalam Horison. Kalau Arswendo akhirnya dibaptis masuk Katolik, tampaknya itu tak mengakhiri pencariannya. Terbukti dalam wawancaranya dengan TEMPO, Desember 1989, ia mengakui masih sering berdebat dengan pastor, dan tiap kali merasa lebih pintar daripada pastor. Jika sekarang ia menganut agama, katanya, itu tanda menjadi orang yang optimistis. "Percaya pada hal yang abstrak, agama misalnya, itu artinya kita optimistis. Kalau nanti ternyata surga itu ada, saya kan sudah percaya. Kalau ternyata nggak ada, ya nggak apa-apa." Mungkin hal inilah, kekurangpekaannya akan agama (juga kecenderungannya untuk mengejutkan dan menarik perhatian), yang membuat Arswendo terpeleset. Ia rupanya kurang menyadari, mensejajarkan Nabi Muhammad saw. dengan sejumlah tokoh, sangat tidak layak. Ia tidak sadar, buat banyak umat Islam, hal ini merupakan penghinaan. Ia mungkin tidak tahu, inilah masalah akidah. Arswendo sendiri sudah menyadari kekhilafannya. Ia sudah minta maaf, tapi tampaknya tidak semua orang menganggap hal ini cukup. Lalu terjadilah unjuk rasa, tuntutan-tuntutan, bahkan juga ancaman-ancaman. Kasus ini bisa membesar, bisa pula mereda, semuanya bergantung pada akal sehat kita. Yang jelas, ternyata masih cukup banyak di antara kita yang dengan pikiran jernih meminta agar persoalan ini diselesaikan lewat jalur hukum. Bukan lewat pembredelan. Atau kekerasan. Susanto Pudjomartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus