INI bukan guyonan ala mingguan tabloid Monitor. Tetapi, benar Senin pekan ini Arswendo Atmowiloto, 42 tahun, berurusan dengan polisi di Polres Jakarta Pusat. Pemimpin redaksi Monitor itu duduk lunglai di ruang Kasat Intelpam menghadapi tim pemeriksa. Bisik seorang perwira polisi, "Kalau terbukti melakukan delik pers, ia akan diajukan ke pengadilan." Wendo, begitu biasanya ia dipanggil, memprakarsai penyebaran angket "tokoh yang dikagumi" untuk pembaca Monitor. Namun, gara-gara hasil angket yang disiarkan itu menunjukkan nama Nabi Muhammad saw. di urutan ke-11, di bawah nama Arswendo sendiri, Departemen Penerangan terpaksa menegur keras Monitor. Bahkan, kantornya dilempari batu oleh sekelompok mahasiswa Islam, Senin siang lalu. Nama Nabi Muhammad saw. ditempatkan di bawah namanya itu bukan berarti Wendo ingin menjadi nabi. Ia ini, seperti kisah dalam cerita pendek Anton P. Chekov dari Rusia, memang gemar mencandai dirinya sendiri -- untuk mencari ketawa. Pada 1971, ketika masih bermukim di Solo, ayah tiga anak ini pernah mengusulkan dirinya untuk ditulis dalam rubrik Pokok dan Tokoh majalah TEMPO. Wendo mengirim fotonya sendiri yang bertelanjang dada, dengan mengenakan dasi kumal. Rupanya, ia enteng menghadapi hidup, serta bersikap cuek saja melihat orang lain. Contohnya, ketika menyusupkan "pendidikan seks" di majalah remaja Hai yang diasuhnya, Wendo tak peduli terhadap reaksi yang mungkin timbul. "Kalau ada orangtua, atau guru-guru memaki saya, itu urusan belakangan," katanya. Juga, ia tak ngotot ketika ada yang mengkritik penampilan Monitor agak norak. "Mengapa dibilang agak norak. Padahal kan norak," ujarnya. Dan, hal sukses oplah Monitor sekitar 600 ribu eksemplar per minggu itu, lantas ia mengakui, "Secara sadar saya memang benar mengeksploitasi seks dan kriminal dalam jurnalistik." Baginya, kritik itu tidak perlu dihadapi dengan kening berkerut. Ada seorang pengarang yang tampaknya kesal dengan karya-karyanya, lalu menyindirnya lewat harian Kompas. Dikatakan, Arswendo itu "telanjur disebut sastrawan". Maksud sebenarnya: Wendo kurang pantas disebut sastrawan. Kritik tadi dibiarkannya berlalu. Ia tak membela diri. "Saya tak pernah berpikir saya ini sastrawan atau bukan. Bagi saya, menulis ya menulis saja. Dan karena tulisan itu tidak langsung ditujukan kepada saya, jadi saya tidak perlu menjawab," ujar Arswendo dalam wawancara dengan majalah sastra Horison edisi Januari 1989. Tapi Wendo adalah penulis yang produktif. Menulis sejak duduk di kelas dua SMA di Solo, 1966. Ia menulis cerpen, antara lain, untuk majalah anak-anak Si Kuntjung di Jakarta, dan koran bahasa Jawa Dharma Kanda di Solo. Ia sudah melepas lebih 200 buah cerpen, 10 novel, serial panjang cerita silat Senopati Pamungkas, belasan naskah drama dan sinetron seperti serial TV Jendela Rumah. Kita. Ia juga menulis kolom, kritik, dan esai. Keyakinannya yang bulat atas jurnalistik "paha dan dada" itu membuat dirinya kemudian jadi Pemimpin Redaksi Monitor. Pemegang SIUPP tabloid ini adalah PT Gema Tanah Air. Nama-nama Arswendo Atmowiloto, Jakob Oetama, M. Sani, dan H. Harmoko, di situ tertulis sebagai pendirinya. Dalam struktur kepengurusannya, Jakob Oetama menjadi direktur utama, Wendo sebagai wakil direktur, dan Harmoko sebagai komisaris utama. Sedangkan posisinya sebagai Wakil Direktur Kelompok Majalah dan Tabloid PT Gramedia, kini Wendo mengurus 22 SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Di antaranya, ia menangani majalah Hai, Jakarta-Jakarta, Tiara, Senang, Kawanku, Nova. Dan lewat saluran ini -- kendati tak semuanya -- ia juga menerapkan kiat bisnis pers yang diimaninya: eksploitasi seks dan kekerasan. Sukses Arswendo di pentas media itu tidaklah diraih sekejap. Di awal karier sebagai penulis, ia memakai nama Sarwendo. Namun, nama Sarwendo dikatakannya tak membawa berkah komersial. Dengan memasang nama asli, katanya, "Tulisan saya tak dimuat." Lalu ia memasang nama baru: Arswendo. Dan belakangan, nama almarhum ayahnya diikutkan di belakangnya, menjadi Arswendo Atmowiloto. Sebenarnya, memilih jalan hidup sebagai pengarang jauh dari angan-angannya. Ketika itu, ia bercita-cita jadi dokter. Tapi, karena kesulitan ekonomi, keinginannya terpaksa digantung di awang-awang. Dengan bekal ijazah SMA, kemudian ia melamar ke Akademi Postel di Bandung. Diterima. Tapi ia urung berangkat karena tak punya ongkos. Anak ketiga dari enam bersaudara ini sempat mampir tiga bulan di IKIP Negeri Solo (kini tergabung dalam UNS). "Saya cuma ingin menyandang jaket perguruan tinggi," katanya. Sejak 1969 ia mencoba menjadi wartawan Dharma Kanda. Karena bosan, kemudian Wendo pindah ke Dharma Nyata. Lantas, pada 1972, ia hijrah ke Jakarta. Tak lama setelah itu Wendo bergabung dengan Astaga. Tapi majalah humor ini berumur pendek, setahun. Kemudian ia bekerja di majalah remaja Midi, yang kini sudah ganti nama menjadi Hai. Sambil memimpin Hai, Wendo aktif sebagai wartawan di koran Kompas. Dan sejak 1980-an ia mulai dikenal sebagai pengamat TVRI yang jeli. Kritik-kritiknya terus mengalir, tanpa peduli ditanggapi atau tidak. Pada akhirnya toh ia dipercayai memimpin Monitor. Agaknya, kisah Arswendo seperti sandiwara di TVRI. Ia pernah menggambarkan betapa pahit kehidupan masa kecilnya. Suatu saat, untuk membeli beras saja bahkan keluarganya terpaksa mencongkel beberapa lembar genting untuk dijual. Setelah menerobos jalan berliku-liku, Arswendo kemudian meraih sukses yang dikejarnya. Namun, kekurangarifannya, kini, membuat dirinya justru terjeblos sebagai "tokoh" yang tidak dikagumi. "Semua ini akibat kebegoan saya. Saya memang salah. Saya kapok," ujarnya. Putut Trihusodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini