SIANG itu, kantor koran tabloid Monitor betul-betul porak-poranda. Kaca jendela pecah berserakan. Pintu kantor bolong di sana-sini. Perabot kantor, seperti meja redaksi, mesin ketik, dan komputer, jungkir balik. Foto-foto wanita berpakaian minim -- yang merupakan ciri khas penampilan tabloid itu selama ini -- yang banyak menempel di dinding kantor, juga jadi sasaran: dirobek dan dirusak. Begitulah keadaan kantor Monitor, di Jalan Palmerah Barat, Jakarta Barat, setelah diamuk oleh sejumlah demonstran, Senin siang pekan ini. Mengapa mereka marah? Inilah ekor kehebohan yang ditimbulkan oleh angket "Kagum 5 Juta" yang dimuat Monitor, edisi 15 Oktober 1990. Angket untuk mencari tokoh yang dikagumi itu menghasilkan Presiden Soeharto pada peringkat pertama, Iwan Fals di peringkat 4, sementara Nabi Muhammad saw. berada di peringkat 11, persis di bawah Arswendo Atmowiloto, Pemimpin Redaksi Monitor, yang menduduki peringkat ke-10. Setelah Monitor yang memuat hasil angket itu tersebar, heboh pun meletus. Reaksi terbuka pertama kali pecah di Medan. Waspada, koran berpengaruh di sana, memuat reaksi keras Ketua F-PP di DPRD Sumatera Utara Hasrul Azwar di halaman pertama edisi Kamis pekan lalu, hanya sehari setelah Monitor beredar di kota itu. Tokoh PPP tersebut menuduh angket itu tak valid, dan menghina Islam. "Anak saya yang masih kelas dua SD bertanya pada saya, kenapa Iwan Fals lebih beken dari Nabi Muhammad. Saya sulit menjawabnya," kata Hasrul. Di Jakarta, Mohammad Natsir, bekas tokoh utama Masyumi itu, menilai tindakan Monitor melanggar budaya, mengganggu kerukunan beragama di sini. "Kalau mau menjaga kerukunan beragama, jangan singgung perasaan agama orang lain, meski Anda tak senang pada agama itu," katanya. Lebih keras lagi, pernyataan Saleh Aljufri, Ketua Umum Lembaga Penelitian Laboratorium Islam Sunan Ampel, Surabaya. Ia menuduh perbuatan Arswendo, sebagai Pemimpin Redaksi Monitor, sama dengan Salman Rushdie: menghujat Islam. "Nabi itu utusan Allah yang tak bisa disamakan dengan manusia biasa yang mana pun," katanya. Maka, menurut Saleh, Arswendo harus ditangkap dan diajukan ke pengadilan. Tak kepalang tanggung, Senin lalu, Saleh Aljufri (atas nama lembaga yang dipimpinnya) mengirim surat kepada Presiden Soeharto, menyarankan agar Monitor diberi sanksi hukum yang setimpal. Banyak lagi kelompok Islam yang membuat pernyataan serupa, mulai dari ormas-ormas pemuda seperti HMI, Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Muslimin Indonesia, dan ormas Islam Persis. Pernyataan juga bermunculan dari berbagai organisasi lokal, seperti Pemuda dan Mahasiswa Islam Bandung (PMIB) dan Kelompok Pembela Islam Yogyakarta. Selain mengutuk Monitor, umumnya pernyataan itu berupa saran kepada umat Islam untuk memboikot Monitor. Sikap senada ditempuh DPW PPP DKI Jakarta. Senin pekan ini, sebuah delegasi dipimpin Ketua DPW PPP DKI Jakarta H.M. Djufrie Asmoredjo menyampaikan pernyataan sikap mereka kepada Deppen, Kodam Jaya, dan pimpinan Monitor. "Rakyat tak tahu apa arti peringatan keras yang diberikan Deppen itu. Makanya, Monitor itu dibredel saja, supaya rakyat jadi puas," kata Djufrie. Tak cuma tokoh ormas Islam. Mensesneg Moerdiono sendiri secara pribadi keberatan pada Monitor. "Saya ikut protes, karena Nabi Muhammad ditulis di peringkat yang lebih rendah. Secara pribadi Moerdiono ikut protes, yang sebetulnya lebih dari protes.... Inikah wujud kebebasan yang diinginkan? Beginilah jadinya," ujar Moerdiono kepada wartawan TEMPO Linda Djalil, Senin pekan ini. Pemuda Muhammadiyah, selain menganjurkan anggotanya memboikot Monitor, juga mencoba menempuh jalur hukum. Senin pagi pekan ini, enam pengurus pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah dipimpin ketua umumnya, M. Din Syamsuddin, berdelegasi ke Kejaksaan Agung di Kebayoran Baru, Jakarta. "Konsep kenabian sangat penting bagi akidah Islam. Tak Islam seseorang bila tanpa pengakuan kepada Muhammad sebagai rasul Allah. Karena Nabi Muhammad diremehkan dan dihina Monitor, kami menuntutnya ke pengadilan," kata M. Din Syamsuddin. Tugas untuk itu diserahkan kepada Lembaga Pengkajian Hukum Pemuda Muhammadiyah yang dipimpin Patrialis Akbar. Menurut Patrialis, selain menuntut pidana, timnya juga akan menggugat Monitor secara perdata di pengadilan. "Selain minta maaf, mereka juga harus mengganti kerugian moril yang diderita umat Islam. Besarnya sedang kami pikirkan," kata Patrialis. Rupanya, tak semua orang bisa mengontrol marah seperti itu. Seperti diungkapkan sebuah sumber di kantor Monitor, sejak Rabu pekan lalu suasana di kantor tabloid itu sudah tegang. Soalnya, kantor itu terus-terusan menerima ancaman melalui telepon dari orang-orang yang mengaku sebagai "umat Islam". Sang penelepon mengaku tak cuma berasal dari Jakarta, tapi juga dari Lampung, Aceh, Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di hari Jumat dan Sabtu lalu, delegasi-delegasi kecil sudah mengunjungi kantor tabloid itu: memprotes pemuatan "Kagum 5 Juta" itu. Di hari Sabtu pagi yang lalu, misalnya, seorang yang mengaku ulama dari Jombang, Jawa Timur, menyampaikan protes langsung kepada Arswendo Atmowiloto. Setelah itu, muncul tujuh mahasiswa yang menamakan diri Komite Aksi Protes Monitor (KAPM). Menurut sumber itu, dua di antaranya sempat diterima Arswendo. Siangnya, sejumlah siswa sebuah SMA Islam dari Tanah Abang, Jakarta Pusat, datang ke sana dipimpin oleh dua guru sekolah itu. Sorenya datang pula sejumlah mahasiswa Universitas Nasional Jakarta. Mereka tak diterima Arswendo, lalu membacakan petisi di kantor itu. Isinya: menuntut agar Arswendo diadili dan dipecat dari jabatannya di Monitor. Sejak Minggu malam, sejumlah karyawan Monitor dikerahkan untuk mengungsikan barang-barang penting dari kantor itu, seperti film, naskah-naskah berita, buku, dan berbagai dokumen penting lainnya. Rupanya, diperoleh informasi akan ada orang yang berdemonstrasi ke kantor itu Senin paginya. Ternyata betul. Sekitar pukul 10 pagi, lebih kurang 50 demonstran mencari Arswendo di kantor Kelompok Kompas Gramedia (KKG) di Jalan Palmerah Selatan, yang terpaut sekitar setengah kilometer dari kantor Monitor. Selain memimpin Monitor, Arswendo adalah wakil direktur kelompok majalah di KKG. Mereka yang konon sebagian adalah mahasiswa IAIN, pelajar SMA dan SMEA, menuntut agar dipertemukan dengan Arswendo. Tapi Arswendo tak ada di sana. Maka, satpam di kantor itu menyuruh mereka langsung saja ke kantor Monitor. Sambil meneriakkan "Allahu Akbar", atau yel-yel lainnya yang menghantam Arswendo, ramai-ramai mereka berjalan kaki menuju kantor Monitor. Di tengah jalan, sejumlah pemuda menggabungkan diri sehingga ketika sampai di kantor Monitor jumlah mereka membengkak jadi sekitar 150 orang. Mereka berhasil melintasi pagar besi kantor, lalu berdesak-desakan dengan polisi dan satpam yang menghalangi mereka memasuki pintu kantor. Ketika itu sudah pukul 11.00, matahari mulai menyengat. Lalu, batu-batu terlihat beterbangan dari arah kerumunan demonstran, menerpa jendela-jendela kantor. Malah salah satu batu mengenai Letnan Satu Ismiah, Komandan Koramil Tanah Abang. Kepala sang letnan mengeluarkan darah dan ia terpaksa dirawat di poliklinik KKG tak jauh dari tempat itu. Akhirnya, sekitar 10 demonstran berhasil menerobos barikade petugas keamanan, lalu mengamuk di dalam kantor yang ternyata sudah kosong. Untung, 15 menit kemudian mereka dapat dihalau petugas, dan tampaknya situasi bisa dikendalikan, walau tak sepucuk pun senapan petugas yang meletus. Cuma beberapa demonstran memang sempat kena pukulan rotan para petugas. Karena para mahasiswa itu tetap bersikeras untuk bertemu dengan Arswendo, akhirnya, tujuh wakil demonstran (seorang di antaranya wanita) diperkenankan memasuki kantor untuk berdialog. Mereka diterima oleh Bambang Suwondo, staf Litbang Divisi Majalah KKG. Di hadapan Bambang, delegasi itu melepas unek-unek: agar Arswendo diseret ke pengadilan. Bambang Suwondo menegaskan, peristiwa ini semata-mata karena kekhilafan, yang terjadi pada saat data hasil angket itu dicetak sebagai berita di Monitor. "Kekhilafan itu terjadi karena kebodohan. Karena itu, jauh sebelum Saudara datang kemari, kami sudah minta maaf," kata Bambang. Sebenarnya, Kamis pekan lalu, Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika Subrata telah memberikan surat peringatan keras kepada Monitor. Keesokan harinya, Arswendo Atmowiloto tampil di TVRI, meminta maaf pada masyarakat, terutama umat Islam, yang tersinggung oleh "Kagum 5 Juta" di Monitor. Permohonan maaf yang sama dimuat pula di Kompas, Minggu lalu. Lalu seluruh halaman depan Monitor edisi Senin pekan ini diisi oleh iklan permohonan maaf yang sama. Usai pertemuan itu, tujuh orang wakil delegasi tadi dibawa ke kantor Polres Jakarta Pusat. Pada pukul 14.00, Arswendo Atmowiloto tampak datang ke kantor Polres Jakarta Pusat. Ia tampak lusuh dan kurang tidur. Sampai Senin malam pekan ini, baik ketujuh mahasiswa itu maupun Arswendo masih berada di kantor polisi. "Polda Metro Jaya saat ini sedang melakukan pemeriksaan atas pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap pemberitaan tersebut, serta tindakan lain yang telah menimbulkan kerusakan-kerusakan," begitu keterangan pers yang diberikan Kadispen Polda Metro Jaya Letnan Kolonel Latief Rabar kepada wartawan, Senin malam, di kantor Polres Jakarta Pusat. Selain itu Latief menyerukan agar masyarakat tak terpancing isu-isu dan hasutan dari orang-orang yang tak bertanggung jawab yang akhirnya bisa mengganggu keamanan. Belum ada ketegasan dari polisi tentang status Arswendo dan para mahasiswa, kecuali bahwa mereka sedang dalam proses pemeriksaan. "Polisi berhak memeriksa tersangka sampai 1 kali 24 jam. Setelah itu baru kami lihat apakah penahanan perlu dilakukan," kata Kapolres Jakarta Pusat Letnan Kolonel Hamami Nata. Kerepotan yang bergaung hampir ke semua pelosok Indonesia ini memang bermula cuma dari penyebaran angket yang terkesan tidak sungguhan. Ide itu berasal dari Arswendo Atmowiloto sendiri. "Untuk mencari siapa sih tokoh yang dikagumi pembaca Monitor, kita pengin tahu," kata pemred tabloid itu kepada TEMPO, Sabtu pekan lalu. Maka di Monitor edisi 2 September 1990 (halaman 23) dimuat pengumuman berjudul "Kagum 5 Juta", menggantikan rubrik "Teka-Teki Televisi" yang biasanya mengisi halaman itu. "Nomor ini, tebakannya mudah, hadiahnya gagah. Jumlah total seluruhnya 5 juta rupiah, terbagi dalam 100 pemenang", begitu bunyi pengumuman "Kagum 5 Juta". Artinya, setiap pemenang yang 100 orang itu akan dapat Rp 50.000. Selanjutnya, pembaca Monitor diminta menjawab dua pertanyaan yang sederhana. Pertama, siapa tokoh yang paling dikagumi (bisa politisi, pejabat, artis, pengusaha, olahragawan, pribadi, bisa pria, wanita, atau siapa saja). Kedua, alasan kenapa memilih tokoh tersebut, dalam kalimat singkat. Di akhir pengumuman disebutkan batas waktu pengiriman angket 30 September 1990. Sebelumnya, para pembaca Monitor sedikit dirayu dengan menyebutkan bahwa kesempatan untuk menang dan meraih hadiah lebih gampang karena mereka boleh mengirimkan lebih dari satu jawaban, asal dalam setiap jawaban dilampirkan sebuah kupon "Kagum 5 Juta" yang bisa digunting dari koran tersebut. Maka, sepanjang bulan September, pengumuman "Kagum 5 Juta" terus dimuat di Monitor (beredar setiap Senin) dan Monitor Minggu (beredar Sabtu). Hasil angket "Kagum 5 Juta" itu diumumkan di Monitor 15 Oktober 1990. Cukup banyak jawaban yang sampai ke meja redaksi: 33.963 kartu pos. Dari jumlah itu, 5.003 kartu pos memilih Soeharto, sehingga Presiden RI itu menduduki peringkat pertama, disusul Menristek B.J. Habibie (2.975), bekas Presiden Soekarno (2.662), penyanyi Iwan Fals (2.431), mubalig terkemuka Zainuddin Mz. (1.633), Pangab Jenderal Try Sutrisno (1.447), Presiden Irak Saddam Hussein (847), Nyonya Hardiyanti Indra Rukmana (800), Menpen Harmoko (797), dan pada peringkat sepuluh diduduki oleh Arswendo Atmowiloto (663). Satu undakan di bawah Arswendo, tertera nama Nabi Muhammad saw. Ada 50 nama yang diumumkan di Monitor itu. Misalnya, penyanyi dangdut terkemuka Rhoma Irama menduduki peringkat 16, Menteri KLH Emil Salim (peringkat 20), pengusaha Liem Sioe Liong (28), bekas Wapres Mohammad Hatta (29), dan sebagai penutup, peringkat 50, diisi oleh artis Widyawati. Seperti disebutkan di dalam pengumuman angket, hasil pilihan pembaca Monitor tersebut mengesankan gado-gado: ada tokoh politik, presiden, menteri, artis, penyanyi, atau juru dakwah. Ada tokoh dalam negeri, ada luar negeri (semisal Saddam Hussein dan Margaret Thatcher), ada pria dan ada pula wanita. "Semua kartu pos masih kami simpan sebagai bukti nyata" tulis Monitor. Malah seperti dikatakan Bambang Suwondo, jawaban atas sayembara "Kagum 5 Juta" itu sebenarnya menghasilkan ratusan tokoh. Ada yang memilih pacar, ayah, istri, atau suami sendiri, sebagai tokoh yang ia kagumi. "Ada tiga suara yang memilih Yesus," katanya. Tapi karena terbatasnya halaman, maka yang diumumkan cuma 50 tokoh. Kalau angket Monitor ini menimbulkan heboh, tak lain karena tercantumnya nama Nabi Muhammad itu. Tampaknya, sebuah kerja santai dan tak serius, dan mungkin bertujuan menggenjot penjualan, ternyata telah berakibat luas karena menyinggung agama yang dianut mayoritas rakyat Indonesa. Namun, menggembirakan, tak semua orang yang tersinggung lantas mau mengamuk. Ternyata, tak sedikit yang ingin menyelesaikan kasus ini secara proporsional: mengadili pemimpin redaksi Monitor sesuai dengan undang-undang yang ada, bukan menuntut tabloid itu dibredel. Artinya, mereka masih tetap menyadari pentingnya kebebasan pers. Amran Nasution, G. Sugrahety Dyan K., Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini