Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJUMLAH petinggi partai koalisi pendukung Joko Widodo terlihat panik di selasar ruang rapat Badan Musyawarah Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu petang pekan lalu. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Aria Bima, berjalan cepat menuju ruang rapat konsultasi antarfraksi. Di situ sedang dibahas apakah rapat paripurna pemilihan pemimpin Dewan dilanjutkan atau ditunda hingga esoknya.
Tak lama kemudian, Aria Bima kembali bergegas menuju ruang Badan Musyawarah, tempat berkumpul anggota fraksi koalisi pendukung Jokowi-PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai NasDem, dan Partai Hanura. Wajahnya kusut. Ia mengunci mulut. Dari dalam ruang yang sama, keluar politikus Partai Kebangkitan Bangsa, Marwan Ja'far. Telepon selulernya berdering. Ia kemudian berbicara setengah berbisik.
Mungkin merasa tidak nyaman di tengah lalu-lalang orang, Marwan buru-buru menuju sudut musala kecil tak jauh dari situ. Khawatir pembicaraannya masih bisa didengar orang di dalam musala, ia pindah ke ruang lain. "Bentar bos, bentar bos," ujarnya. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo juga tergesa-gesa ke luar ruang rapat. "Kami terus berkomunikasi politik," katanya.
Petang itu, koalisi partai pendukung Jokowi berusaha mengulur waktu. Mereka berusaha menghambat usaha fraksi-fraksi pro-Prabowo Subianto-menamai diri mereka "Koalisi Merah Putih"-memilih pemimpin Dewan malam itu juga. Koalisi pro-Prabowo mencegah peta politik berubah, terutama berkaitan dengan sikap politik Partai Demokrat yang berayun-ayun.
Di rumahnya di Jalan Teuku Umar 27, Jakarta Pusat, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menerima Joko Widodo dan wakilnya, Jusuf Kalla, serta Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh. Mereka berupaya melobi Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono agar anggota fraksi itu bergabung dalam koalisi pendukung Jokowi untuk pemilihan pemimpin Dewan dan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Rupanya, lobi politik tingkat tinggi itu gagal total. Demokrat ternyata masuk paket koalisi pro-Prabowo. Para politikus kubu Jokowi di DPR pun kalang-kabut.
Sebaliknya, pemimpin fraksi-fraksi pro-Prabowo-Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan-justru menguasai rapat konsultasi. Situasi menguntungkan mereka karena rapat konsultasi dipimpin anggota tertua, yaitu Popong Otje Djundjunan, 76 tahun, dari Partai Golkar, dan anggota termuda, Ade Rezki Pratama, 26 tahun, dari Partai Gerindra.
Hasilnya, pemilihan pemimpin Dewan dilakukan pada malam itu juga. Setelah konsultasi, sidang paripurna dilanjutkan pada pukul 22.30. Ketika itu, enam dari sepuluh fraksi sudah berada dalam satu barisan: Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP, plus Demokrat.
Kesempatan koalisi pro-Jokowi mengajukan paket lain calon pemimpin pun tertutup. Sebab, paket harus terdiri atas lima fraksi untuk menempati satu kursi ketua plus empat wakil ketua. Itu sebabnya koalisi ini meninggalkan ruang sidang begitu "pemilihan" paket calon pemimpin hendak dilakukan.
Walhasil, koalisi pro-Prabowo yang dikomandoi Golkar memenangi panggung. Kursi ketua ditempati Bendahara Umum Golkar Setya Novanto, dengan wakil Fadli Zon dari Partai Gerindra, Fahri Hamzah dari PKS, Taufik Kurniawan dari PAN, dan Agus Hermanto dari Demokrat.
Agus merupakan adik mantan Ketua Umum Partai Demokrat Hadi Utomo, adik ipar Ani Yudhoyono. Demokrat awalnya sempat mengajukan Edhie Baskoro Yudhoyono untuk Wakil Ketua Dewan. Itu sebabnya, dalam berkas pencalonan Partai Golkar, nama Sekretaris Jenderal Demokrat itu masih tercantum. "Setelah kami konfirmasi ulang, ternyata Agus Hermanto," kata Setya Novanto kepada Tempo.
Masuknya Demokrat membuat PPP tidak menempatkan wakil di kursi Wakil Ketua DPR. Sebagai kompensasi, menurut sejumlah informasi, mereka akan memperoleh kursi lebih banyak di komisi-komisi Dewan. Seperti pemimpin Dewan, penentuan posisi ketua-wakil ketua komisi dilakukan dengan sistem paket.
BANDUL Demokrat berayun-ayun menjelang pemilihan Ketua DPR itu. Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menerima Jokowi di rumahnya di Puri Cikeas, Bogor, pada Selasa malam pekan lalu. Pada pertemuan ini, menurut sejumlah sumber, Yudhoyono menawarkan barter.
Yudhoyono meminta dukungan PDI Perjuangan untuk penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, yang menghapuskan pemilihan langsung. Yudhoyono juga menyatakan keinginannya bisa bertemu dengan Megawati. Hubungan keduanya membeku sejak mereka bersaing pada pemilihan presiden 2004. "Demokrat berulang kali menyatakan SBY ingin bertemu dengan Mega," ujar politikus PDIP, Pramono Anung.
Imbalannya, Demokrat mendukung paket koalisi PDI Perjuangan. Partai pemenang pemilu legislatif ini akan mendapat posisi Ketua DPR, yang akan diisi Puan Maharani. Sedangkan Demokrat memperoleh kursi Ketua MPR untuk Sjarifuddin Hasan plus Wakil Ketua DPR. "Jokowi juga menjanjikan kursi kabinet untuk Demokrat, yang akan dibicarakan dengan Megawati," kata Pramono.
Bandul dukungan Demokrat untuk koalisi pro-Jokowi kian menguat karena pada Rabu pagi Yudhoyono bertemu dengan Jusuf Kalla di Jakarta Convention Center. Mereka merancang pertemuan Megawati dan Yudhoyono. Pada Rabu siang, Jokowi, Jusuf Kalla, dan Surya Paloh berkumpul di rumah Megawati. Megawati luluh dan menyatakan bersedia bertemu dengan Yudhoyono.
Sinyal positif itu diteruskan Jokowi, Jusuf Kalla, dan Surya Paloh ke orang-orang dekat Yudhoyono. Puan Maharani, yang berada di gedung DPR, juga berusaha mengontak Presiden. Namun pintu tertutup. Semua usaha gagal. Jokowi, Jusuf Kalla, Surya Paloh, dan Puan mendapat jawaban sama: Yudhoyono sedang mengadakan rapat.
Yudhoyono memang menggelar sejumlah rapat di Jakarta Convention Center, termasuk mengumpulkan anggota Fraksi Partai Demokrat. Buntunya komunikasi dengan Yudhoyono membuat Puan Maharani berang. "Dari siang, saya, Jokowi, Jusuf Kalla, dan Surya Paloh berusaha bertemu dengan Pak SBY, tapi mungkin Tuhan berkehendak lain," ujar Puan, Kamis dinihari pekan lalu, setelah Setya Novanto resmi memimpin Dewan. Puan mengatakan diutus ibundanya melanjutkan pembicaraan dengan Yudhoyono.
Yudhoyono sebaliknya menyatakan sungguh ingin bertemu dengan Megawati. Pertemuan itu belum terlaksana karena "satu dan lain hal yang melatari". Alasan lebih terang ihwal gagalnya pertemuan disebutkan politikus Partai Demokrat, Ruhut Sitompul. Menurut dia, Yudhoyono ingin bertemu langsung dengan Megawati, bukan berjumpa dengan utusannya. "Jangan Pak SBY dipertemukan dengan utusan, dong," kata Ruhut.
Pramono Anung mengecam alasan itu. Menurut dia, Demokrat mereduksi persoalan krusial di DPR ke masalah buruknya hubungan Yudhoyono dan Megawati. Pramono menuding Yudhoyono memang tidak berniat mendukung koalisi partai pendukung Jokowi.
Pramono mencontohkan, Yudhoyono menyatakan dukungannya terhadap calon presiden Prabowo Subianto menjelang pemilihan presiden Juli lalu. Setelah itu, Demokrat walk out menjelang pemungutan suara untuk Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. "Saya tak melihat adanya perubahan sikap Demokrat," ujarnya.
DEMOKRAT memang bermain di dua kaki. Selain memberikan harapan kepada koalisi partai pendukung Jokowi, Demokrat menawarkannya ke koalisi pro-Prabowo. Mereka meminta posisi yang sama: Wakil Ketua DPR dan Ketua MPR. Tawaran Demokrat dibahas di rumah Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional Amien Rais di daerah Gandaria, Jakarta Selatan, Senin malam hingga Selasa dinihari pekan lalu.
Menurut seorang peserta, Demokrat juga meminta dukungan untuk penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. "Syaratnya terlalu berat," kata seorang peserta. Pertemuan malam itu gagal membuat kesepakatan. Ketua Umum PAN Hatta Rajasa, yang ditemui di Hotel Mulia, Jakarta, hanya tersenyum ketika ditanyai ihwal pertemuan di rumah Amien Rais ini.
Peta politik bergoyang setelah pertemuan Jokowi dengan Yudhoyono di Cikeas. Seorang politikus di koalisi pendukung Prabowo menuturkan, awalnya, mereka ingin mengabaikan tawaran Demokrat. Artinya, komposisi pemimpin DPR tetap Golkar sebagai ketua, dengan wakil dari Gerindra, PAN, PPP, dan PKS.
Kisruh internal PPP membuyarkan rencana ini. Partai berlambang Ka'bah itu terbelah ke dalam kubu Ketua Umum Suryadharma Ali dan kubu Sekretaris Jenderal Romahurmuziy. Dua kubu ini baru mencapai kompromi bersatu kembali menjelang sidang paripurna untuk memilih Ketua dan Wakil Ketua DPR.
Hingga Rabu siang pekan lalu, peta politik belum bisa dipastikan. Ketika itu, politikus Demokrat di DPR masih mendekat ke kubu koalisi Jokowi. Dalam rapat konsultasi, Demokrat masih bersepakat menunda jadwal pemilihan pemimpin DPR hingga Kamis besoknya. Menjelang magrib, Demokrat berbalik arah mendukung koalisi penyokong Prabowo. Demokrat minta pemilihan dilakukan malam itu juga.
Keputusan Demokrat disampaikan melalui telepon Ketua Harian Demokrat Sjarifuddin Hasan kepada ketua-ketua fraksi. Sjarifuddin mengatakan partainya sudah menunjuk Agus Hermanto sebagai Wakil Ketua DPR. Ketua MPR diplot untuk Sjarifuddin. Pemilihan Ketua-Wakil Ketua MPR dijadwalkan berlangsung Senin pekan ini. Sjarifuddin membantah informasi itu. "Enggak ada," ujarnya.
PAKET koalisi pro-Prabowo menempatkan Setya Novanto di posisi Ketua Dewan. Padahal Bendahara Umum Partai Golkar ini selalu dalam sorotan karena beberapa kali dimintai keterangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia antara lain disebut dalam perkara korupsi pembangunan sarana Pekan Olahraga Nasional di Riau dan pengadaan kartu tanda penduduk elektronik. Penyidik komisi antikorupsi pun pernah menggeledah ruang kerjanya dalam perkara PON itu.
Keputusan mengajukan Setya diambil Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie pada Ahad malam pekan lalu. Setya menyingkirkan dua pesaingnya, Fadel Muhammad dan Ade Komarudin. Ade kemudian ditunjuk menjadi Ketua Fraksi Golkar.
Setya mengatakan tak mengerti alasan namanya dikaitkan dengan berbagai perkara korupsi. "Nanti masyarakat akan melihat bagaimana hasil kerja kami," ujarnya. Adapun Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad menyatakan Setya berpotensi menghadapi masalah hukum.
Sunudyantoro, Widiarsi Agustina, Wayan Agus Purnomo, Muhammad Muhyiddin, Indra Wijaya
Aneka Perangkap Lain di Senayan
SEMUA berjalan cepat setelah Mahkamah Konstitusi menolak membatalkan sejumlah pasal dalam Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Senin pekan lalu.
Gugatan terhadap aturan yang lebih populer dengan Undang-Undang MD3 2014 itu diajukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Yang digugat, antara lain, Pasal 84: pimpinan Dewan dan alat kelengkapannya dipilih melalui sistem paket perwakilan dari lima partai.
Dalam undang-undang sebelumnya, pimpinan DPR dan alat kelengkapannya diberikan secara proporsional kepada partai pemenang pemilu legislatif. Itu sebabnya, pada 2009, kursi Ketua Dewan diserahkan kepada Marzuki Alie, yang merupakan perwakilan Partai Demokrat, pemenang pemilihan legislatif.
Aturan baru itu merupakan perangkap pertama bagi PDI Perjuangan, yang berkoalisi dengan Partai Kebangkitan Bangsa, Partai NasDem, dan Partai Hanura mencalonkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada pemilihan presiden. PDI Perjuangan, yang memenangi pemilihan legislatif, harus gigit jari ketika pekan lalu paket Setya Novanto dan kawan-kawan didukung enam dari sepuluh fraksi di Dewan.
Jokowi mengatakan mulai menduga-duga permainan di balik akrobat politik serba cepat di Senayan pasca-putusan Mahkamah Konstitusi. "Apa ujung permainan serba cepat dan tergesa ini?" ujar presiden terpilih itu.
Digagas dan disahkan dalam kurun waktu singkat-kurang dari enam bulan-menurut politikus Partai NasDem, Ferry Mursyidan Baldan, undang-undang ini sengaja disiapkan oleh koalisi pro-Prabowo Subianto untuk menguasai Dewan. Aturan-aturan baru dirancang setelah Jokowi terpilih sebagai presiden pada pemilihan Juli 2014.
Menurut Ferry, yang memimpin Panitia Khusus Undang-Undang Pemilu DPR 2003, pemilihan pimpinan dengan sistem paket membuat koalisi pro-Prabowo menyapu bersih semua kursi. "Lalu apa jadinya dengan program-program pemerintahan Jokowi-JK?" kata politikus PDI Perjuangan, Pramono Anung.
Menurut Pramono, anggota kabinet Jokowi akan direpotkan oleh urusan DPR. Apalagi ada perubahan diksi dalam aturan baru. Dalam aturan lama disebutkan Dewan berhak meminta pejabat negara memberikan keterangan. Kalimat itu diubah menjadi Dewan "berhak memanggil". "Kata 'memanggil' bermakna harus. Padahal menteri itu bawahan presiden," ujar Ferry.
Permainan politik belum selesai. Sebab, dalam undang-undang ini hak DPR mengajukan interpelasi kepada presiden jauh lebih mudah. Dalam aturan lama, usul hak menyatakan pendapat dan interpelasi harus disetujui dua pertiga anggota Dewan. Syarat itu dimudahkan dengan hanya menjadi separuh anggota. "Dengan peta saat ini, semangat balas dendam bisa saja dilakukan," kata Ferry.
Koalisi pro-Prabowo-yang menamakan diri Koalisi Merah Putih-plus Demokrat memiliki 353 dari 560 anggota DPR. Adapun koalisi Jokowi-yang menamakan diri Koalisi Indonesia Hebat-hanya punya 207 kursi.
Politikus Gerindra, Ahmad Muzani, menolak tudingan bahwa koalisi pro-Prabowo menggalang kekuatan untuk menjegal Jokowi. Ia mengatakan koalisinya hanya menjadi penyeimbang pemerintah. Jokowi, kata dia, seharusnya tak mempermasalahkan kekuatan di parlemen.
Meski hanya memiliki dukungan sekitar 30 persen kursi DPR, Jokowi mengatakan tak gentar. Termasuk jika ada upaya Dewan menyandera pemerintahannya. "Yang menilai rakyat, dan mereka yang akan mengawal saya," ujarnya.
Agustina Widiarsi, Muhyiddin, Reza Aditya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo