BARANGKALI bukan kasus besar 'penyegelan" rumah Benyamin S.
oleh penduduk Kemayoran Serdang, Jakarta, 14 September lalu.
Alasan mereka seperti dikemukakan seorang ustaz di sana rumah
itu dipakai shalat Jum'at, padahal di dekat situ sudah ada
masjid jami', bahkan dua biji.
Kelihatannya alasan kuat--meski tidak menyebut nama Islam
Jama'h. Lain dengan yang terjadi di Karawang (di Kampung
Badami, Margakaya, Telukjambe) yang memang resminya harus Islam
Jama'ah. Kompleks itu, yang dinamai Pondok Sumber Barokah di
tanah seluas sekitar 7 Ha (plus 15 Ha kebun), dan dihuni sekitar
80 orang (15 kk, di senja hari sebelum peristiwa di rumah
Benyamin, mengalami perusakan. oleh sekitar 30 pemuda kampung.
Alasan: mereka sudah lama "sebal" melihat "konsentrasi"
orang-orang menyendiri yang semuanya pendatang itu.
Toh peristiwa Margakaya itu sebuah "kesalahfahaman", seperti
dikatakan pihak Kejaksaan Negeri Karawang. Menurut pengakuan
Mumun (25 tahun, disebut sebagai tokoh perusakan) kepada TEMPO,
para pemuda itu datang katanya hanya untuk "memasang pamflet".
Tapi seorang penghuni kompleks yang melihat mereka, tiba-tiba
membakar tikar dan karung goni dan diletakkan di dekat dinding
sebuah gubuk mereka. Mumun dan kawan-kawan kaget mereka lari
memadamkan api--"sebab kalau tidak, kami yang celaka," katanya.
Lantas mereka merusak tiga buah rumah.
Ali Moertopo
Kasus-kasus yang "tidak terlalu pen ting", barangkali. Lebih
penting adalah kebijaksanaan apa yang akan diambil pihak
berwenang. Menteri Penerangan, Ali Moertopo, sudah diketahui
menyatakan di Yogya bahwa Islam Jama'ah telah melanggar
peraturan dengan dua hal: bai'at kepada seorang "amir", dan
mengusik perasaan umat beragama. Namun masalahnya: diakuikah
bahwa yan disebut Islam Jama'ah adalah mereka yang tergabung
dalam YAKAI, LEMKARI, KADIM--yang semuanya dalam "asuhan"
Golkar?
Bachroni Hartanto, Ketua Direktorium Lembaga Karyawan Islam
(LEMKARI), yang mengelola pondok Burengan Kediri yang dulu
pernah bernama "Darul Hadits' itu, berkata kepada TEMPO: "Yang
mereka hebohkan itu sebenarnya isyu lama yang sekarang sudah
tidak ada lagi." Ia mengambil contoh soal mengkafirkan orang
Islam lain. "Saya jamin sekarang tidak ada lagi. Kalau masih
saja, akan terus kami arahkan." Bagaimana dengan sistim keamiran
dan bai'at? "Juga sudah tidak ada. Haji Nurhasan sendiri sudah
menyerahkan pondok ini kepada yang mudamuda." Ia juga
menyebutkan, ke pondoknya itu sering datang Keenan, Ida Royani,
Benyamin dan Christine.
Jadi sekarang ini sudah "bersih"-kecuali mungkin satu-dua. KH
Turmudai, Wakil Ketua DPP Golkar yang membidangi Budaya &
Kerohanian, juga menguatkan hal itu. "Di Pondok Burengan sendiri
sekarang 'kan sudah berubah," katanya. "Saya sendiri misalnya,
sekarang boleh saja menjadi imam di sana."
Tapi ia juga menceritakan bahwa dalam musyawarah kerja LEMKARI
di Kediri, Pebruari lalu, "Pak Amir Murtono marah sekali
sampai-sampai dalam pidatonya berkata: 'Saya merasa dikibulin!'.
Dan dia tidak tersenyum sedikit pun," katanya. Bahkan Amir
Murtonolah, menurut sumber lain, yang mengatakan "Kalau LEMKARI
selalu mengatakan golongan-golongan Islam lain masuk neraka, ya
saya ini bersama LEMKARI di neraka paling bawah !".
Sedang Hartanto sendiri, dari LEMKARI di pondok Kediri itu,
berkata: "Pokoknya apa-apa yang dilarang Pemerintah tidak akan
dikerjakan lagi. Tapi," katanya, "apanya yang dilarang
sebenarnya kami sendiri tidak tahu. Bahkan timbulnya pelarangan
itu sendiri kami tidak dipanggil untuk dimintai keterangan.
Tahu-tahu dilarang." Tapi sementara itu memang kabarnya cukup
sulit untuk mendapatkan jawaban terbuka dari para pengikut IJ.
Ada yang mengaku, "saya memang tadinya Islam Jama'ah tapi
sekarang sudah tobat." Ditanya: kapan? Jawabnya "Kemarin"
.......
Keenan Nasution sang musikus muda itu juga membantah ia seorang
pengikut IJ meskipun Korp Muballigh. Kemayoran, Jakarta
menyatakan punya bukti.
Korp Muballigh Kemayoran, karena itu berani bicara: "Suruh
Keenan membuka masjidnya dengan mendatangkan para muballigh dari
berbagai kalangan Islam. Suruh Keenan sembahyang di
masjid-masjid umum, begitu juga anggota pengajiannya.Kalau tidak
mau, ya serahkan kepada Kejaksaan Agung yang punya keputusan."
Presiden, lewat Menteri Agama, terakhir sudah menasehatkan agar
menyelesaikan soal Islam Jama'ah ini dengan cara "seperti
menarik rambut dari tepung." Rambutnya kena, tepungnya tak
kacau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini