Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Isu tentang penularan HIV/AIDS di Kota Bandung, Jawa Barat, pada pekan ini tiba-tiba menghangat. Bahkan isu tersebut sempat viral di dunia maya. Jumlah penderita dari kalangan mahasiswa dan ibu rumah tangga menjadi sorotan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator Advokasi Rumah Cemara, Subhan H. Panjaitan, merasa bingung dengan fenomena itu. Rumah Cemara adalah lembaga masyarakat yang memberikan pelayanan kepada pengidap HIV. Menurut Subhan, sejak 2019 jumlah penderita HIV/AIDS di Kota Bandung tidak menunjukkan lonjakan yang signifikan. “Kenapa ramainya baru sekarang, ya?” kata dia, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan catatan Komisi Penanggulangan AIDS Kota Bandung, saat ini terdapat 5.943 orang yang mengidap HIV/AIDS. Dari jumlah itu, sebanyak 1.842 orang berstatus karyawan swasta. Adapun penderita yang berstatus mahasiswa sebanyak 414 orang dan ibu rumah tangga 653 orang. “Sejak 2019 angkanya enggak jauh dari itu,” kata Subhan.
Subhan menjelaskan, penularan HIV berbeda dengan penularan virus corona. HIV membutuhkan waktu infeksi yang lebih lama dan ada fase jendela yang harus dilewati. Fase jendela adalah fase sejak masuknya HIV ke dalam tubuh hingga tubuh membentuk antibodi terhadap HIV. Fase tersebut membutuhkan waktu tiga hingga enam bulan. “Jadi, kalau skemanya terjadi penularan HIV dalam beberapa hari terakhir, itu kayaknya enggak mungkin,” kata Subhan.
Berdasarkan pengamatan Subhan, penyebaran HIV di Kota Bandung paling banyak disebabkan oleh hubungan seks heteroseksual yang tidak sehat. Disusul kemudian oleh hubungan homoseksual dan penggunaan narkotik dengan jarum suntik. “Yang terkonfirmasi memang betul mayoritas usia produktif,” kata dia. “Rentang usia antara 20 sampai 40 tahun.”
Anggota Rumah Cemara Boxing Camp berlatih di Rumah Cemara, Bandung. TEMPO/Aditya Herlambang Putra
Rumah Cemara sejak 2018 telah memberikan pendampingan kepada pengidap HIV/AIDS. Bentuk pendampingan yang dilakukan antara lain memberikan advokasi kebijakan, pelayanan, dan penganggaran. Saat pandemi Covid-19 mulai muncul pada 2020, mereka turun langsung ke lapangan untuk membantu pengidap HIV mendapatkan obat antiretroviral (ARV). Obat ini berfungsi mencegah HIV berkembang biak dalam tubuh, sekaligus melindungi dan memperkuat sistem imun. “Saat itu kan ada pembatasan kegiatan masyarakat, orang dengan HIV sulit mendapatkan obat ARV,” katanya. “Kami dukung pengantaran obat, terutama untuk penderita dari ekonomi menengah ke bawah.”
Setelah penularan Covid-19 mereda, kata Subhan, bantuan pengiriman obat dihentikan. Namun sekarang muncul tantangan baru. Motivasi penderita HIV untuk mendapatkan obat ARV sekarang justru menurun. Padahal obat tersebut harus dikonsumsi seumur hidup. “Kadang mereka ada perasaan pesimistis, demotivasi, jenuh,” kata Subhan. “Dan itu tugas kami untuk terus memotivasi agar mereka enggak putus obat.”
Wali Kota Bandung Yana Mulyana mengatakan jumlah pengidap HIV/AIDS di Kota Bandung memang tidak banyak berubah dalam beberapa tahun terakhir. Namun jumlah itu belum tentu menunjukkan fakta yang sebenarnya di lapangan. Menurut dia, fenomena itu seperti puncak gunung es, karena hanya ribuan kasus itu yang baru terdeteksi. Tidak tertutup kemungkinan ada penderita yang tidak tercatat. "Mungkin saja (jumlahnya) lebih besar,” kata Yana.
Yana menegaskan, pemerintah telah menetapkan kebijakan, untuk tes HIV/AIDS di Kota Bandung tidak akan dipungut biaya. Namun tidak semua pengidap HIV/AIDS bisa terbuka untuk menjalani tes atau sekadar berkonsultasi.
Untuk mencegah HIV/AIDS, kata Yana, ia akan mengumpulkan dinas terkait guna merumuskan solusi atas persoalan tersebut. Yana juga mengimbau para pengidap HIV/AIDS agar tidak ragu untuk berobat ke layanan kesehatan terdekat untuk mendapatkan obat ARV secara gratis. “Kemarin, waktu pandemi, sempat agak sulit untuk mendapatkan akses ARV,” ujar Yana.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Pusat, Eko Maryadi, menyebut kasus HIV/AIDS di Indonesia dalam tujuh tahun terakhir cenderung fluktuatif. PKBI mencatat, pada 2019 kasus HIV mengalami kenaikan dari 46.650 menjadi 50.282 kasus. Sedangkan kasus AIDS menurun dari 10.190 menjadi 7.036 kasus. “HIV itu bagaimana virus menginfeksi tubuh manusia. Kalau AIDS, terjadinya gejala atau situasi menurunnya daya tahan tubuh manusia karena HIV,” kata Eko.
Menurut Eko, ada faktor yang menyebabkan penularan HIV terbilang kompleks. Namun penyebab paling dominan memang hubungan seksual yang tidak aman, seperti tidak menggunakan kondom dan berganti-ganti pasangan. “Keterbukaan seks masih belum dibarengi dengan pemahaman seks yang aman,” kata dia.
RIRI RAHAYUNINGSIH | ANT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo