"INI Kamis berkabung," ujar Kardinal Albert Decourtray, Ketua Konperensi Wali Gereja Prancis. Ucapan itu terlontar setelah Kamis pekan lalu muncul skisma agung dan paling dramatis dalam Gereja Katolik. Itu setelah 118 tahun silam, pada 1870, terjadi gerakan serupa. Uskup Agung Marcel Lefebvre, pemimpin Persaudaraan Santo Pius X, hari itu menahbiskan empat uskup tanpa izin Paus Yohanes Paulus II. "Seorang Katolik sejati tak mesti patuh pada seorang Paus tertentu atau berada di bawah hirarki Gereja Katolik Roma," begitu alasan Lefebvre dalam jumpa pers sebelum gerakan yang menghebohkan itu. "Malah untuk menjadi sejati, dia harus tidak menaati dikte-dikte dari Roma." Setelah berita Lefebvre akan menahbiskan empat uskup, dua jam kemudian Vatikan mengingatkan, penahbisan itu bisa menimbulkan skisma: suatu perpecahan resmi dengan Takhta Suci. Jika niat itu diteruskan, Lefebvre dan keempat uskup tadi dikenai hukuman ekskomunikasi alias pengucilan. Masih bernada peringatan, semalam sebelum upacara, Paus mengirim telegram kepada Lefebvre. Paus mengharapkan, ia mau datang ke Roma dan tidak mengkhianati jabatannya. Sebaliknya, Lefebvre bahkan makin tidak acuh. Sehari sehabis menahbiskan 16 imam tradisionalis, pada 30 Juni, uskup yang hampir berusia 83 tahun itu menahbiskan empat uskup pengikutnya. Acaranya menelan 4 jam 45 menit. Berjalan khidmat, diiringi doa dalam bahasa Latin, upacaranya di lapangan rumput dekat seminari di Desa Econ, di lembah Pegunungan Alpin, Swiss. Hadir 8 ribu umat, 180 imam tradisionalis, serta 150 seminaris. Sinar matahari menyiram mereka, setelah menunggu usai hujan semalaman. Di altar Lefebvre berdiri dalam jubah kebesaran putih dengan renda emas, berkilau disorot puluhan kamera televisi yang meliputnya secara akbar. Ketika tiba di puncak upacara Lefebvre meletakkan tangannya yang terbungkus kaus putih itu, di kepala empat uskup yang ditahbiskan. Kemudian dia mencungkukan mitra putih di kepala Richard William, pemimpin seminari Ridgefield, Connecticut, yang lahir di Inggris 48 tahun silam. Lalu di kepala Bernard Tissier de Mallerais, 43 tahun Sekretaris Jenderal Persaudaraan Santo Pius. Setelah itu menyusul kepada Alfondo de Galarreta, 31 tahun, pemimpin seminari di Argentina, kelahiran Spanyol. Dan terakhir pada seorang Swiss, Bernard Fellay, 30 tahun, administratur di Persaudaraan. Mereka ditahbiskan untuk meneruskan perjuangan Lefebvre yang masih panjang. Di Persaudaraan Santo Pius X itu mereka mengutuk modernisme dalam ensiklik tahun 1907. "Dan hari ini kami mulai bangkit, bukan bunuh diri," kata Lefebvre dalam khotbah. Halus suaranya, tapi tegas. Tongkat perak tergenggam erat di tangan dan mitra putih bersulam emas di kepalanya. "Pertemuan ini bukan sengaja melahirkan skisma. Kami bukan skismatis," tutur Lefebvre, menjawab tanggapan pihak Vatikan. Roma modern, menurut dia, tak lagi berpegang pada iman Kristen dan tak berhak mengucilkannya. "Kami dikucilkan kaum modernis, yang malah seharusnya dikucilkan." Menurut Lefebvre, dengan penahbisan itu ia justru menghendaki kelangsungan hidup dan kesinambungan gereja. "Kami yakin, kita sedang mengikuti panggilan Tuhan," serunya lagi. Dia ingin menyelamatkan gereja yang dituduhnya telah menerima modernisme, liberalisme, komunisme, dan zionisme itu. "Semua kesalahan ini telah ditolak oleh para paus terdahulu, tapi kini diterima oleh pemimpin-pemimpin gereja." Paus Yohanes Paulus II dianggapnya culas dan anti-Kristen, karena menerima itu semua. Acara itu, menurut seorang peserta dari Belgia pada Reuters, diharap diikuti Paus di Roma. Tetapi ada yang menilai pertemuan akbar tersebut sebagai pertunjukan politik. Lefebvre, tulis Newsweek 4 Juli lalu, ternyata pendukung para politikus sayap kanan -- seperti Augusto Pinochet di Chili dan Jean Marie Le Pen di Prancis. Pidato Marcel Lefebvre setiap kali disambut tepuk tangan gemuruh. Dan hadirin terkakah-kakah saat dia melawak, Paus mengirim mobil resmi Dubesnya di Prancis, bakal menjemput untuk membawa dia ke Roma malam itu juga. Hanya seorang wanita, di tengah jubelan massa, berteriak sendirian, mendukung Paus, yang prihatin pada ulah Lefebvre -- hingga membatalkan acara konser khusus pada Kamis itu. Gereja Katolik Roma makin sibuk. Antara lain berjuang beberapa lama untuk mendamaikan perpecahan uskup agung. Di Eropa Barat, kehadiran gereja dan pelayanan keuskupan telah runtuh beberapa dasaI warsa ini. Beberapa Gereja Katolik tua, meskipun tetap loyal ke Vatikan, tak setuju pada anjuran Konsili Vatikan II agar bahasa daerah dipergunakan dalam misa. Selama 18 tahun Persaudaraan Santo Pius X berdiri Lefebvre telah mengangkat sendiri 260 imam. Lebih dari 200 pemuda kini belajar di lima seminari yang didirikannya di Italia, Prancis, Jerman Barat, AS, dan Argentina, di samping sekolahnya di Econe. Di Prancis kelompok Persaudaraan yang tradisional itu memiliki 500 tempat ibadat. Peter Jean-Michel di Falco, juru bicara Keuskupan Agung Paris, memperkirakan ada setengah juta pengikut gerakan Lefebvre di seluruh dunia -- 30 ribu ada di Prancis. Syahdan, ada yang menganalisa bahwa gerakan tradisionalis Lefebvre itu ancaman berat bagi Vatikan. Dan ini diakui Mgr. Francesco Canalini, Duta Besar Takhta Suci Vatikan di Indonesia. "Dia menentang wewenang utama gereja dalam soal iman dan liturgi," kata Canalini pada TEMPO pekan lalu. Pengikut Lefebvre yang tradisionalis militan itu, menurut Canalini, ada seratus ribu, yang menyebar di berbagai kota di Amerika dan Eropa, tetapi sepertiga di antaranya diperkirakan menolak skisma. Canalini menyayangkan perpecahan yang melanda gereja. "Kami menginginkan harmoni, bukan perpecahan." Di Prancis krisis di kalangan gereja ditanggapi dengan prihatin -- seperti diungkap Kardinal Albert Decourtray tadi. Karena itu, dia terus mengajar gereja agar tetap menerima umat yang menolak ikut Lefebvre dalam skisma yang dramatis itu. Lefebvre telah melangkah jauh. Dia lahir di kalangan keluarga menengah yang taat, di Tourcoing, Prancis, 29 November 1905. Empat dari tujuh saudaranya mengabdi penuh di gereja. Mereka semua tradisionalis Adiknya, Marie Christiane dalam waktu dekat segera mendirikan biara suster tradisionalis di Genewa. Lefebvre menjadi imam setelah meraih gelar doktor teologi dan filsafat, 1929. Selama 13 tahun, sejak 1932, ia berkarya dan sebagai misionaris di Gabon, yang dijajah Prancis. Kedudukannya, 1955, menanjak menjadi uskup agung Dakar di Sinegal. Lalu dia dipercayai Paus Yohanes XXII menjadi anggota komisi persiapan Konsili Vatikan (1962-1965). Tapi sejak di sini tampak konservativismenya. Ia menandatangani 14 dokumen. Dan dua dokumen yang ditolaknya adalah Kebebasan Beragama dan Gereja di Dunia Modern. Selain makin konservatif dan menawarkan "gereja sejajar" kepada mereka yang tidak puas, ia juga mengancam melenyapkan proses modernisasi dan demokratisasi yang bermula pada Konsili Vatikan II. Bahkan uskup tua ini gencar mencerca sikap gereja yang ogah bergema terhadap masalah seks. Sebaliknya, dia minta agar gereja bersikap ramah terhadap mereka yang non-Kristen. Karena itu, Paus Paulus VI mengecamnya bandel dan berbuat bid'ah. Lalu pada 1976 Paus mencopot jabatan keimaman dari dia. Namun, Lefebvre bahkan menahbiskan 220 imam khusus untuk Persaudaraan Santo Pius X, yang kemudian disebut antimodernis itu. Penahbisan imam cara begitu memang tak biasa, tapi tetap dianggap sah menurut hukum gereja. Paus Yohanes Paulus II memang berusaha merangkul Lefebvre dan kelompok tradisionalis lainnya, sejak ia menduduki Takhta Suci Petrus pada 1978. Dan Lefebvre sedikit bersikap melunak ketika para teolog mengira Paus itu memihak konservatif. Mei lalu Kardinal Joseph Ratzinger, Kepala Kongregasi Doktrin Iman (jabatan paling berpengaruh di bawah Paus) di Vatikan, mengajak menyelesaikan perbedaan pandangan atas dokumen-dokumen Vatikan II. Skisma barangkali tak terjadi jika perjanjian yang disodorkan Ratzinger tidak menetapkan wakil Vatikan jadi mayoritas di komisi penyelesaian itu. Padahal, Ratzinger menghendaki kembalinya gereja ke sumber-sumber asli. Karena merasa bahwa dengan suara minoritasnya dia tak bakal berhasil mengegolkan suaranya dalam komisi, lalu dia mundur. Sikapnya kembali keras, dan puncaknya melangkah ke penahbisan sendiri uskup-uskupnya. Dan menahbiskan uskup tanpa izin Paus itu jelas kesalahan amat besar. Gereja mengajarkan, suksesi para uskup harus menuruti garis bersambung sejak masa para rasul. Dan uskup yang baru hanya bisa ditahbiskan setelah kata oke dari Paus. Jika ia melangkahi aturan main itu? Lefebvre bukan buta hukum "Tapi situasi sedang darurat." katanya. Maksudnya, gereja berada di ambang kehancuran disusupi ekumenisme, komunisme, sosialisme, modernisme, dan zionisme. Karena itu, hukum gereja membolehkan dia melakukan penahbisan itu. Dan keempat uskup tadi kelak menahbiskan para imam. Dan dampaknya di Indonesia? "Di sini tidak ada gerakan tradisionalis semacam itu," kata Mgr. V. Kartasiswaya Pr., Pro Sekretaris Konperensi Wali Gereja Indonesia. Tapi, menurut Jean-Michel di Falco, juru bicara Keuskupan Agung Prancis, gerakan Lefebvre itu akan mengubah peta keuskupan di masa mendatang. "Misa dengan bahasa Latin dan pengakuan pribadi akan semakin banyak ketimbang kini," begitu Di Falco meramal. Sedang Kepala Humas Vatikan, Joaquin Navarro-Valls, baru menjelaskan kemungkinan dampak ulah Lefebvre itu atas para imam dan anggota kongregasi Jumat pekan ini. Jadi, bakal ada daftar sempalan batu lagi? Ahmadie Thaha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini