Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari pintu ke pintu kucoba tawarkan nama.
Demi terhenti tangis anakku dan keluh ibunya.
Tetapi nampaknya semua mata memandangku curiga.
Seperti hendak telanjangi dan kulit jiwaku.
Apakah buku diri ini selalu hitam pekat?
Apakah dalam sejarah orang mesti jadi pahlawan...
Mantan napi". Sebutan itu sungguh tak enak didengar sekaligus kerap merepotkan penyandangnya. Salah satu kerepotan yang didapat adalah orang tersebut susah mencari kerja selepas dari penjara. Cuplikan syair lagu Kalian Dengarkah Keluhanku milik penyanyi balada Ebiet G. Ade di atas cukup mewakili perasaan para mantan narapidana tersebut.
Toh, tak semua bekas narapidana mengalami nasib sekelam itu. Mas Arifin salah satu contohnya. Begitu keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Surabaya di Porong, Sidoarjo, pertengahan Desember lalu, ia cepat mendapat pekerjaan sebagai tukang cat di sebuah proyek di kawasan Graha Family Surabaya. Status mantan narapidana kasus narkotik tak membuat pria 59 tahun ini berlama-lama menganggur.
"Di LP, saya pernah bekerja di PT Bahari Mitra Surya," kata Arifin kepada Tempo, Rabu pekan lalu. PT Bahari adalah perusahaan yang bergerak di bidang produksi furnitur. Perusahaan yang bermarkas di Gedangan, Sidoarjo, ini menyewa lahan di lingkungan LP seluas satu hektare, lalu mendirikan bangunan dan bengkel lengkap dengan mesin penghalus kayu serta alat untuk mengecat dan mengepak.
Menurut Arwan, General Manager PT Bahari, nota kesepahaman dengan LP Porong diteken tiga tahun lalu. Kerja sama dilakukan untuk memberdayakan narapidana agar mereka punya bekal keterampilan plus mental sebagai pekerja setelah bebas. Di sisi lain, ia blak-blakan menyatakan, "Perusahaan juga butuh tenaga untuk mengerjakan order yang kita terima."
Mebel buatan PT Bahari diekspor ke Jepang, Korea Selatan, dan Eropa. Perusahaan ini memang hanya menerima order dari luar negeri. Dalam sebulan, Bahari mengirim 1-2 kontainer ke pasaran ekspor. Satu kontainer bisa memuat 150-350 unit furnitur berbagai ukuran, tergantung bentuknya: rak, kursi, meja, atau lemari kecil.
Ada lima divisi di PT Bahari yang bisa diisi para narapidana, yaitu bagian proses, perakitan, penggosokan, pengecatan, dan pengepakan. Ada 30 orang yang siap melatih dan berbagi ilmu kepada para narapidana yang tertarik menekuni usaha mebel.
Di perusahaan ini, Arifin bekerja di bagian penggosokan, satu proses sebelum pengecatan. Maklum, sebelum masuk penjara, ia mengaku pernah bekerja di bidang penggosokan dan pengecatan atau politur. Nah, pengalaman kerja di PT Bahari membuat kemampuannya semakin kinclong. "Saya semakin terlatih. Jadi, begitu keluar, langsung bisa dapat kerja lagi," katanya.
Harapan bisa langsung bekerja setelah lepas dari penjara juga diungkap oleh Agus Widodo, narapidana kasus narkoba, dan Abda Alif, narapidana kasus pencurian dengan kekerasan. Kini keduanya juga bekerja di PT Bahari. Bahkan, tak hanya menjadi pekerja, Agus dan Abda juga ingin punya usaha sendiri setelah lepas dari jeruji besi. "Kalau ada modal inginnya sih bikin usaha sendiri seperti ini," kata Agus, juga Abda, yang akan bebas tahun depan, saat ditemui Tempo di LP Porong pada akhir Desember lalu.
Laiknya bekerja di sebuah perusahaan, selain mendapat ilmu dan keterampilan, ketiganya mengantongi upah dari PT Bahari. Bahkan Arifin, terpidana dua tahun sembilan bulan, diangkat menjadi pegawai tetap dalam sembilan bulan terakhir sebelum bebas. Untuk itu, ia berhak mendapat upah Rp 120 ribu. Namun, begitu bebas, bapak satu anak ini memilih berhenti dan bekerja di tempat lain. Maklum, iming-iming upah di tempat baru lebih asyik. Dalam sehari, ia mengantongi upah Rp 65 ribu plus uang makan Rp 5.000. Cukup untuk membiayai hidupnya bersama istri karena putri semata wayangnya sudah berkeluarga.
Kepala Bidang Kegiatan Kerja LP Kelas I Surabaya, Pudjiono Gunawan, menyatakan ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh seorang narapidana agar bisa bekerja di LP. Setelah menjalani orientasi selama sebulan untuk persiapan mental dan disiplin, mereka diberi pembinaan rohani. Hal ini dilakukan hingga sepertiga masa hukuman. "Selepas itu, barulah narapidana ditempatkan di bidang kerja yang sesuai dengan bakat dan minatnya," katanya.
Saban hari para narapidana bekerja mulai pukul 07.30 hingga 16.30. Tak semua pekerjaan menggandeng pihak ketiga. Ada juga usaha swadaya, seperti laundry, potong rambut, budi daya sayur-mayur, peternakan bebek petelur, budi daya buah naga, pertanian, beternak ikan, dan budi daya tanaman hias. Hasil usaha swadaya biasanya dipakai sendiri untuk keperluan internal LP. Sedangkan hasil kerja sama pihak ketiga, seperti PT Bahari, dijual ke pihak luar.
Kepala LP Kelas I Surabaya Bambang Sumardiyono menyatakan kegiatan kerja dengan menggandeng pihak ketiga memang menjadi program LP. Kebijakan itu semakin digiatkan lantaran Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan mencanangkan 2013 sebagai tahun bengkel kerja produktif. Untuk itu, semua LP harus menyediakan bengkel kerja bagi warga binaan-sebutan untuk narapidana. Tujuannya, selain memberdayakan warga binaan, agar mereka mendapat keterampilan dan penghasilan
Satu kali kontrak dengan pihak ketiga minimal enam bulan dan bisa diperpanjang. Nota kesepahaman di antara kedua belah pihak mencakup sewa lahan dan pemberdayaan warga binaan. Untuk LP, dana bagi hasil dari pihak ketiga dimasukkan sebagai penerimaan negara bukan pajak. Hasilnya disetor ke kas negara.
Selama ini, Bambang mengakui, tak semua pihak ketiga bersedia memperpanjang nota kesepahaman. PT Bahari merupakan salah satu perusahaan yang bisa bertahan lama. Selain furnitur, di LP ini ada produksi sandaran kursi dan pemecahan batu. Dalam waktu dekat, pengelola LP akan merintis usaha pembuatan sandal, jahit, dan sablon. "Sudah ada pihak ketiga yang ingin meneken nota kesepahaman, mungkin awal 2014 ini," kata Bambang.
Saat ini LP Kelas I Surabaya yang berkapasitas 1.050 orang itu dihuni 1.129 narapidana. Dari jumlah itu, hanya 300-400 orang yang terserap bekerja dengan pihak ketiga. Sisanya ditempatkan di pekerjaan massal dan rutin, seperti membersihkan lapangan, masjid, dan area lain di LP yang luasnya total 13 hektare itu.
Bambang berharap ada keberlanjutan setelah para warga binaan itu bebas. Bekal keterampilan yang diperoleh selama di LP bisa dijadikan modal kerja ketika mereka kembali ke lingkungan masing-masing. Yang menarik, tidak tertutup kemungkinan pihak ketiga yang sudah digandeng tetap mempekerjakan mantan narapidana itu. Dengan begitu, perusahaan tidak perlu mendidik tenaga baru. Namun, ia mengakui, urusan tempat tinggal para mantan narapidana kerap menjadi kendala.
"Para mantan napi itu kan tinggalnya jauh, di Situbondo, Bondowoso, dan sebagainya. Sedangkan pabriknya di sini," ujar Bambang. Hal itu diakui oleh Arwan. Walhasil, kata Arwan, "Mereka yang sudah keluar dari penjara memilih pulang dan berkumpul dengan keluarga di daerah asal."
Berkumpul dengan keluarga dan bekerja dengan pihak di luar PT Bahari, seperti dijalani Arifin, adalah pilihan. Yang penting, mantan narapidana tersebut bisa hidup normal di tengah masyarakat. Untuk itu, Bambang mengimbau tokoh masyarakat dan tokoh agama turun tangan membantu menghapus stigma yang melekat pada mantan napi. Walhasil, mantan narapidana tak perlu gelap mata, seperti harapan Ebiet G. Ade dalam syair lagu Kalian Dengarkah Keluhanku:
...Tuhan, bimbinglah batin ini agar tak gelap mata
dan sampaikanlah rasa inginku kembali bersatu....
Dwi Wiyana, Agita S. Listyanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo